Hentikan Promosi dan Implementasi Carbon Capture Storage: Teknologi Gagal yang Dipakai untuk Memperpanjang Hidup Industri Bahan Bakar Fosil

Pernyataan Bersama Organisasi Masyarakat Sipil di Indonesia
Terkait Pelaksanaan The International and Indonesia CCS Forum 2024

Melalui pelaksanaan The International and Indonesia CCS Forum 2024, CCS (Carbon Capture Storage) tengah dipromosikan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca dan bagian dari aksi iklim untuk mencegah krisis akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Melalui teknologi ini karbon dioksida (CO₂) dari berbagai sumber industri (PLTU batubara, PLTG, industri baja, industri migas, dll) akan dipisahkan, diolah, dan disimpan ke dalam lokasi penyimpanan jangka panjang, biasanya ke dalam formasi geologi di bawah tanah. Para promotor teknologi ini menyebut tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan dengan demikian memitigasi perubahan iklim.

Namun sesungguhnya teknologi ini adalah teknologi yang sepanjang sejarahnya gagal mencapai tujuannya, atau gagal memenuhi ekspektasi, memberi tambahan beban finansial dalam operasinya, serta berpotensi memberi dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan komunitas.

Permasalahan pertama yang sangat nampak adalah bahwa CCS memiliki sejarah panjang tantangan teknis dan finansial yang signifikan yang mengakibatkan proyek-proyek CCS berakhir dengan kegagalan, memiliki kinerja buruk dan mengakibatkan pembengkakan biaya. Pada proyek CCS Gorgon di Australia, misalnya, guna mengimbangi kekurangan target karbon dioksida sebesar 5,23 juta ton, Gorgon akhirnya Gorgon harus menambah lebih banyak pembiayaan antara US$100 juta dan US$184 juta.[1]

Cerita kegagalan lain bisa dilihat pada proyek CCS di Aljazair di mana upaya menginjeksikan CO₂ ke lapangan gas yang telah terkuras sejak tahun 2004, akhirnya harus dihentikan pada tahun 2011 ketika timbul kekhawatiran akan kemungkinan kebocoran, karena ditemukan adanya pergerakan pada lapisan tanah yang seharusnya mampu mencegah kebocoran CO₂ ini.[2] Peristiwa serupa terjadi pada proyek CCS Sleipner di Norwegia, di mana CO₂ yang telah disuntikkan jauh ke dalam perut bumi, bermigrasi naik ke lapisan atas lebih cepat dari yang diperkirakan.[3]

Sebuah Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), bahkan menunjukkan bahwa dari 13 proyek CCS/CCUS “andalan, berskala besar” di seluruh dunia yang bertanggung jawab terhadap lebih dari separuh operasi CCS/CCUS hanya menghasilkan total 39 juta ton CO₂ per tahun. Angka ini hanya sekitar 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer pada tahun 2021.[4]

Permasalahan kedua yang muncul dari operasi proyek CCS/CCUS adalah dampak lingkungan dari peningkatan tekanan air, pengasaman laut, dan kemungkinan proyek CCS memicu gempa bumi akibat penginjeksian CO₂ ke bawah tanah, serta risiko kesehatan akibat risiko kebocoran CO₂.[5]

Meskipun dikatakan teknologi CCS telah dikembangkan sejak tahun 1970-an, namun sebetulnya penggunaannya secara umum dipakai untuk meningkatkan perolehan minyak (enhanced oil recovery/EOR), yaitu proses di mana CO₂ yang ditangkap disuntikkan ke ladang minyak untuk meningkatkan jumlah minyak mentah yang diekstraksi. Sehingga alih-alih menurunkan emisi karbon, praktek ini sesungguhnya justru mendorong peningkatan produksi bahan bakar fosil, yang pada akhirnya menyebabkan emisi karbon tambahan, karena lebih dari 80% proyek CCS digunakan untuk EOR, atau untuk produksi minyak dan gas.[6]

CO₂ yang terkompresi juga sangat berbahaya jika bocor dan terlepas ke permukaan, karena dapat mengakibatkan sesak napas pada manusia dan hewan.[7] Pada tahun 2020, misalnya, jaringan pipa transportasi CO₂ yang merupakan bagian dari proyek EOR di Mississippi, AS mengalami kerusakan, yang kemudian mengakibatkan lebih dari 200 orang harus dievakuasi, dan 45 orang harus menjalani rawat inap karena keracunan karbon dioksida.[8]

Permasalahan ketiga dari proyek-proyek CCS/CCUS adalah bahwa pendekatan ini akan melanggengkan inefisiensi energi karena besarnya konsumsi energi yang dibutuhkan dalam fase-fase tertentu operasi CCS.

Fase yang paling membutuhkan energi adalah penangkapan dan kompresi karbon, dengan sejumlah tambahan lain lagi yang dibutuhkan untuk transportasi dan penyimpanan, terutama karena CO₂ butuh untuk dicairkan lebih dahulu untuk transportasi dan penyimpanan yang efisien.[9] Energi yang dibutuhkan pada fase penangkapan dan kompresi saja dapat mencapai 330–420 kWh per ton CO₂ yang ditangkap. Secara rata-rata proyek CCS akan mengakibatkan peningkatan permintaan energi hingga sebesar 15%–25% bagi fasilitas penangkapan karbon mereka.[10]

Permasalahan keempat dari proyek-proyek CCS/CCUS adalah masalah memastikan penyimpanan permanen. Agar CCS menjadi pilihan yang layak untuk dekarbonisasi, penting untuk memastikan bahwa karbon dapat disimpan dalam keadaan stabil secara permanen. IPCC menggunakan kata “durably” atau “awet/tahan lama” untuk menggambarkan penyimpanan CO₂ di reservoir geologis, baik di daratan maupun di laut, atau dalam produk untuk Penghapusan Karbon Dioksida/Carbon Dioxide Removal (CDR). Tidak ada definisi yang jelas mengenai jangka waktu yang dimaksud dengan "awet/tahan lama" ini, tetapi beberapa pihak menyebut setidaknya dibutuhkan 200-300 tahun untuk menyimpan CO₂.[11]

Secara praktis, hampir mustahil untuk memastikan ada mekanisme dan sistem legal yang memadai untuk dapat menjamin pertanggung jawaban dari penyimpanan karbon dalam jangka waktu yang begitu lama. Setelah periode operasi korporasi penyimpan karbon berakhir, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap CO₂ yang diinjeksi ke dalam tanah serta berbagai permasalah yang sebelumnya telah disinggung? Pada akhirnya, besar kemungkinan pemerintahan negara di mana CO₂ itu diinjeksikan yang akan mengambil alih tanggung jawab tersebut dan membiayai pengelolaan sejumlah besar upaya penyimpanan karbon dengan biaya publik hingga bergenerasi-generasi mendatang.

Namun semua cerita kegagalan dan ketidakefektifan teknologi CCS/CCUS ini tidak menghentikan minat pemain industri fosil untuk menggunakannya, karena teknologi ini bisa dipakai sebagai dalih operasi mereka. Peta jalan Badan Energi Internasional menunjukkan bahwa untuk selaras dengan target menahan peningkatan suhu global dibawah 1.5C sesuai Perjanjian Paris, penggunaan bahan bakar fosil harus turun sebesar 25% pada tahun 2030, dan 80% pada tahun 2050. Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi proyek-proyek hulu migas baru yang akan beroperasi dalam jangka waktu lama, begitu pula dengan pertambangan batubara baru, perluasan tambang, atau pembangkit listrik tenaga batubara baru.

Dengan menyatakan akan menerapkan teknologi CCS/CCUS, industri bahan bakar fosil masih akan meneruskan operasi-operasi mereka bersandar pada perhitungan-perhitungan penyerapan karbon di masa depan yang sudah terbukti gagal di masa sekarang. Di Indonesia sendiri Kementerian ESDM menyebut setidaknya 16 proyek CCS/CCUS akan dijalankan, termasuk pada proyek-proyek gas baru seperti di Blok Masela. Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, yang akan memberi insentif lebih kepada industri fosil untuk menerapkan teknologi ini, dan juga memperbolehkan impor karbon dari luar negeri untuk diinjeksikan di Indonesia. Praktik membuang karbon dari satu negara ke negara lain semacam ini, tidak ubahnya bentuk lain dari kolonialisme limbah.

Oleh karena itu, kami para penandatangan pernyataan bersama ini meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk berhenti mempromosikan CCS/CCUS sebagai bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca, serta tidak menerapkan CCS/CCUS dalam kebijakan dan program transisi energi serta penanganan krisis iklim. CCS/CCUS tidak lebih adalah solusi palsu dari upaya mencegah pemanasan global dan krisis iklim, yang hanya dipakai dalih oleh para pemain kongsi dagang krisis untuk bisa memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil, terus memenuhi atmosfer dengan emisi gas rumah kaca, dan memperburuk dampak pemanasan global dan krisis iklim.

 

Penandatangan Pernyataan Bersama:

1. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
2. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
3. Oil Change International
4. 350 Indonesia
5. Celios
6. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
7. Sajogyo Institute
8. Yayasan Srikandi Lestari
9. Arise! Indonesia
10. Auriga Nusantara
11. Trend Asia
12. Greenpeace Indonesia
13. Solidaritas Perempuan
14. Aksi! for gender, social and ecological justice
15. Eksekutif Daerah WALHI Aceh
16. Eksekutif Daerah WALHI Riau
17. Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat
18. Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur
19. Eksekutif Daerah WALHI Papua

 

[1] Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) “Gorgon Carbon Capture and Storage: The Sting in the Tail”

[2] MIT, In Salah Fact Sheet: Carbon Dioxide Capture and Storage Project

[3] Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) “ Norway’s Sleipner and Snøhvit CCS: Industry models or cautionary tales?"

[4] Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), "The carbon capture crux: Lessons learned"

[5] Center for International Environmental Law (CIEL) “Deep Trouble: The Risks of Offshore Carbon Capture and Storage”

[6] Zero Carbon Analytics “A closer look at CCS: Problems and potential”

[7] Center for International Environmental Law (CIEL) “Carbon Capture and Storage”

[8] Huffington Post, ”The Gassing Of Satartia”; The Intercept, “Louisiana rushes buildout of carbon pipelines, adding to dangers plaguing cancer ally”

[9] Menurut pendukung CCS, pencairan CO₂ mengurangi volume gas, membuatnya lebih mudah dan lebih hemat biaya untuk diangkut dalam jarak jauh.

[10] Angela Carter, Laura Cameron ”Why Carbon Capture and Storage Is Not a Net-Zero Solution f or Canada’s Oil and Gas Sector The Bottom Line: Unpacking the future of Canada’s oil & gas”

[11] UNFCCC, Information note, Removal activities under the Article 6.4 mechanism