Pernyataan Solidaritas Bersama: Jakarta-Peristiwa di Surabaya, Malang, Semarang, Manokwari, dan Sorong pada tanggal 15-19 Agustus 2019 Agustus menjadi evaluasi penting bagi negara dalam merespon dan menangani persoalan Papua, termasuk dalam merespon aspirasi serta tuntutan Mahasiswa Papua dimanapun mereka berada. Di Surabaya, diduga telah terjadi tindak penyerbuan, kekerasan, pelemparan gas air mata, pelontaran kata-kata bernada rasis seperti anjing dan monyet, dan ujaran kebencian, termasuk kata-kata intimidatif lainnya. Di Malang, diduga terjadi kekerasan yang dibiarkan oleh aparat keamanan terhadap massa Aliansi Mahasiswa Papua yang sedang melakukan aksi unjuk rasa. Dalam peristiwa ini terjadi tindak kekerasan dalam bentuk pemukulan, tendangan, dan lemparan batu yang disertai dengan berbagai ujaran dengan konotasi rasis. Di Semarang, diduga terjadi tindak diskriminasi berupa pemasangan secara paksa spanduk bertuliskan Tidak setuju Asrama West Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pada pemisahan Papua dari NKRI. Pemaksaan pemasangan ini disertai dengan pendataan terhadap seluruh mahasiswa Papua. Peristiwa tersebut di atas diantaranya diduga dilakukan Ormas, Satpol PP, dan anggota TNI.
Sementara itu, anggota Kepolisian melakukan tindakan represif yang tidak proporsional, diantaranya dengan penggunaan gas air mata dan pemukulan saat memasuki asrama mahasiswa Papua di Surabaya, termasuk melakukan penangkapan terhadap 42 orang mahasiswa, termasuk di antaranya 3 orang perempuan. Aparat juga melakukan penyisiran terhadap asrama dan kos-kosan mahasiswa Papua di sejumlah daerah, seperti di Lombok dan Bogor, pada tanggal 19 Agustus. Pada tanggal yang sama, asrama mahasiswa Papua di Makassar juga diserang hingga mengakibatkan bentrok. Tindakan aparat Kepolisian di atas tidak saja gagal dalam memberikan jaminan perlindungan, namun sebaliknya membenarkan tindakan diskriminasi, intimidatif dan rasisme terhadap mahasiswa Papua. Hal ini juga mencerminkan pendekatan negara yang selama ini represif dan militeristik dalam menyikapi berbagai kasus.
Peristiwa Surabaya, Malang dan Semarang akhirnya memicu kekecewaan dan kemarahan yang diwujudkan dalam aksi protes non-kekerasan dari masyarakat Papua, termasuk di Manokwari dan Sorong. Tindakan-tindakan di atas harus dihentikan dan diproses secara hukum untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa, jaminan perlindungan hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, kesetaraan dan keadilan bagi rakyat Papua. Perlakuan diskriminatif, rasis, pendekatan kekerasan dan represif terhadap aspirasi masyarakat dan mahasiswa Papua, termasuk pendekatan keamanan yang tertutup hanya akan membuat penyelesaian permasalahan Papua akan semakin buruk dan memicu eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM. Presiden RI dan seluruh jajaran pemerintah harus membuka diri dan mengambil kebijakan yang nyata, tidak represif serta meminimalisir keterlibatan militer untuk mengakhiri ketidakadilan di Papua. Kembalikan ruang-ruang kemerdekaan hak sipil dan ekspresi politik yang selama ini telah direpresi di Papua, termasuk kepada mahasiswa dan pemuda Papua di berbagai wilayah Indonesia. Hentikan eksploitasi sumber daya alam yang merugikan rakyat Papua dan menghancurkan lingkungan hidup. Stop ekspansi perkebunan monokultur yang menghancurkan hutan sagu yang menjadi sumber kehidupan dan kebudayaan Masyarakat Adat Papua.
Transisi kepemimpinan Jokowi di periode ke-2 ini seharusnya disertai dengan perombakan cara pikir negara yang lebih memanusiakan manusia dengan tidak membedakan rakyat Papua dengan rakyat Indonesia lainnya sebagai Warga Negara yang memiliki hak asasi manusia serta hak konstitusi yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Berkenaan dengan peristiwa dan persoalan di atas, kami mendesak: Pertama, Presiden RI bersama dengan Kepolisian RI untuk memastikan jaminan perlindungan bagi mahasiswa Papua dan masyarakat Papua dari segala bentuk tindakan diskriminatif, rasial, kekerasan, persekusi, intimidatif dan represif. Termasuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak masyarakat Papua dalam berkumpul, berekspresi dan berpendapat. Kedua, Kepolisian RI untuk melakukan proses hukum secara transparan, akuntabel, dan berimbang terhadap siapapun yang melakukan tindakan diskriminatif, rasial, kekerasan, persekusi, intimidatif dan represif terhadap mahasiswa dan masyarakat Papua yang menyampaikan aspirasi dan ekspresi politiknya secara damai. Termasuk proses pemeriksaan etik dan pidana bagi aparat Kepolisian di lapangan yang terbukti menyalahi aturan.
Kepolisian sebagai institusi penegak hukum memastikan tidak menggunakan kekuatan berlebihan dalam menangani situasi yang berkembang akibat peristiwa ini. Ketiga, Komnas HAM untuk proaktif mengambil peran, tanggung jawab dan tindakan atas peristiwa yang terjadi di Surabaya, Malang dan Semarang, diantaranya dengan segera melakukan pemantauan dan penyelidikan atas dugaan tindakan diskriminatif, rasial, kekerasan, persekusi, intimidatif dan represif serta pelanggaran HAM lainya Jakarta, 20 Agustus 2019 AMAN, AJAR, Asosiasi Seni Kreasi Perempuan, Imparsial, INFID, AII, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta,Greenpeace, JATAM, JSKK, KontraS, KIARA, KPA, LeIP, Perempuan Mahardhika, PUSAKA, PSHK, Purplecode Collective, Solidaritas Perempuan, WALHI, Yayasan Perlindungan Insani, YLBHI, Youth Proactive, Peace Women across The Globe Indonesia, VIVAT Indonesia,