Ilusi Kemerdekaan bagi Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil
Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Pulau Kecil
Di tengah hingar bingar perayaan 17 Agustus 2024 yang diselenggarakan oleh Pemerintah di Ibu Kota Nusantara, sejumlah perwakilan dari Pulau Rempang mendatangi Jakarta untuk mempertahankan kampung adat mereka dari ancaman penggusuran proyek strategis nasional (PSN), Rempang Eco City. Tak hanya itu, kehadiran masyarakat Rempang di Jakarta bertujuan untuk mempertanyakan kemerdekaan, sekaligus menagih keadilan sosial yang telah dimandatkan oleh Konstitusi Republik Indonesia.
Mereka melakukan aksi di depan Kedutaan Besar China, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, lalu mendatangi Ombudsman Republik Indonesia, dan juga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Setelah satu tahun melakukan perlawanan terhadap penggusuran akibat PSN Rempang Eco City, Masyarakat Pulau Rempang belum menemukan titik terang. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Koordinator Perekonomian, menegaskan bahwa proyek tersebut akan tetap dilanjutkan dengan sokongan investasi dari Perusahaan China. Proyek ini diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus tahun lalu.
Dalam satu tahun terakhir, mereka konsisten memperjuangkan hak atas ruang hidup, baik di darat maupun di laut, yang dilindungi oleh Konstitusi Republik Indonesia. Tak sedikit dari mereka ditangkap karena dianggap terlibat dalam perlawanan terhadap rencana penggusuran. Setidaknya lebih dari 7.500 warga setempat bakal dipindahkan ke Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang, Batam.
Pulau Rempang sebenarnya masuk ke dalam kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di pulau seluas 16.583 ribu hektare itu akan dibangun kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata.
Apa yang terjadi di Pulau Rempang juga terjadi di banyak wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Di Pulau Wawonii, masyarakat harus terus berhadapan dengan pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP). Sampai dengan tanggal 10 Agustus 2024, penulis menerima informasi bahwa aktivitas pertambangan nikel di Pulau ini masih terus berjalan. Padahal, pada 23 Maret 2024 lalu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah menolak gugatan mereka yang meminta kawasan pesisir dan pulau kecil boleh dijadikan wilayah pertambangan, sebagaimana yang tertulis dalam putusan MK No. 35 Tahun 2024.
Menurut amar putusan MK, berdasarkan aspek kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta secara sosiologis, kegiatan penambangan dapat merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Putusan Mahkamah juga menyatakan bahwa penambangan di pulau-pulau kecil merupakan Abnormally Dangerous Activity.
Sebelumnya, pada 22 Desember 2022, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Putusan MA Nomor 57 Tahun 2022, yang mengabulkan gugatan materiil 30 warga Pulau Wawonii terhadap terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041.
Di dalam putusan tersebut, MA menyatakan putusan di antaranya berikut:
Pertama, bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan adalah terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Kedua, Bahwa secara yuridis, Pasal 4 huruf a UU 27/2007, yang dengan jelas mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengobservasi, merehabilitasi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan”. Ketentuan tersebut, secara expressive verbis menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, in casu Pulau Wawonii setidak-tidaknya dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjaga sistem ekologis secara berkelanjutan;
Ketiga, Bahwa secara sosiologis, pemberlakuan objek permohonan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan melahirkan kebijakan yang kontraproduktif, seperti kebijakan kegiatan usaha pertambangan. Jelas, hal ini sangat tidak sesuai dengan landasan sosiologis, karena masyarakat di wilayah kecamatan Wawonii telah lama bertani/berkebun (menangkap ikan, PR);
Keempat, Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU 27/2007 Juncto UU 1/2014, Kabupaten Konawe Kepulauan termasuk kategori pulau kecil, yang prioritas pemanfaatannya sebagaimana termuat dalam Pasal 23 ayat (2), tidak satu pun menempatkan kegiatan pertambangan sebagai salah satunya;
Kelima, Bahwa secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil termasuk wilayah yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam teori hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan, karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya. Bahkan juga mengancam kehidupan sekitar.
Hal serupa terjadi di Pulau Sangihe. Masyarakat harus berhadapan dengan ancaman pertambangan emas yang akan memakan lebih dari 42 ribu hektar yang menjadi rumah bagi 131 ribu orang. PT Tambang Mas Sangihe (TMS) lewar skema Kontrak karya adalah Perusahaan yang akan menambang di Pulau Ini. Perusahaan ini merupakan gabungan dari perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation yang menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 70%, dan tiga perusahaan Indonesia.
Beberapa tahun lalu, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Putusan No. 650 Tahun 2023 yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta sekaligus membatalkan Surat Keputusan Menteri ESDM tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di Sangihe, Sulawesi Utara, sekaligus mewajibkan Menteri ESDM mencabut surat keputusan tersebut.
Namun, meski putusan tersebut sudah final, PT TMS tetap melanjutkan operasi pertambangan emas di Pulau Sangihe ini, dengan alasan bahwa izin lingkungan yang digugat oleh 56 perempuan warga Sangihe atas Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Sulawesi Utara tentang Pemberian Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Emas TMS, dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 22 Desember 2022.
Dengan kata lain, Mahkamah Agung menolak kasasi izin lingkungan dan dimenangkan oleh PT TMS. Atas dasar ini, Perusahaan tersebut tetap akan melanjutkan penambangan emas karena dinilai memiliki legitimasi.
Di tempat lain, khususnya di Pulau Pari, masyarakat juga harus berhadapan dengan ancaman pencaplokan tanah oleh korporasi pariwisata, PT Bumi Pari Asri, yang tidak berhenti sampai dengan hari ini. Perusahaan ini, pelan-pelan membeli rumah warga satu per satu sebagai strategi jangka panjang merebut tanah Pulau Pari, yang luasnya tidak lebih dari 42 hektar.
Pada masa lampau, sejumlah orang mengalami kriminalisasi akibat melakukan perlawanan terhadap pencaplokan oleh PT Bumi Pari Asri. Mustaghfirin atau Bobi harus mendekam di balik jeruji besi lebih dari lima bulan, adalah salah satu warga asli Pulau Pari yang berjuang mempertahankan tanahnya.
Lebih jauh bahaya datang dari UU Daerah Khusus Jakarta yang akan menjadi Kepulauan Seribu sebagai wilayah PSN pariwisata skala besar yang akan meniru Maladewa (Maldive). Dalam situasi ini, masyarakat Pulau Pari terancam menjadi tamu di tanah dan lautnya sendiri.
Selain menghadapi ancaman perampasan tanah oleh korporasi pariwisata dan Maldivikasi, masyarakat Pulau Pari terancam oleh krisis iklim yang menenggelamkan pulau mereka. Saat ini, lebih dari 11 persen Pulau Pari sudah hilang akibat kenaikan air laut. Setiap tahun banjir rob menghantam rumah dan menghancurkan ekonomi mereka. Hasil tangkapan ikan berkurang lebih dari 70 persen, budidaya rumput laut telah mati, serta budidaya ikan kerapu terancam gagal karena pemanasan air laut.
Menghadapi situasi itu, empat orang Pulau Pari menempuh gugatan iklim internasional melawan Holcim, Perusahaan semen terbesar di dunia. Ironisnya, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden dan Menteri-menterinya tidak ada yang memberikan dukungan untuk upaya gugatan iklim ini. Padahal, dalam berbagai pidatonya di forum global, pemerintah kita selalu menyampaikan narasi keseriusan mengatasi krisis iklim.
Ilusi Kemerdekaan dan ancaman kolonialisme baru
Prahara yang terjadi di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Pulau Sangihe, dan Pulau Pari, menjadi nyata bahwa kemerdekaan yang selama ini didengung-dengungkan adalah ilusi besar. Ilusi bermakna, sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sesuatu yang ada dalam angan-angan atau khayalan.[1]
Sementara itu, kemerdekaan yang berasal dari kata “maharddhika”, secara leksikal bermakna seseorang atau sesuatu yang memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia. Diteropong dari makna itu, kemerdekaan merefleksikan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari beragam bentuk ketidakadilan dalam distribusi kehormatan dan kepemilikan. Orang-orang dari setiap kelas dan kelompok sosial berbagi impian untuk diperlakukan sebagai warga kelas satu.[2]
Pada titik ini, kita dapat menyebut bahwa setelah 79 tahun berhasil merebut kemerdekaan dari pemerintah kolonial, kemerdekaan tidak dirasakan oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil. Tak ada upaya pemerintah untuk menempatkan mereka dalam posisi terhormat sebagai warga negara kelas satu yang sejajar dengan kelompok masyarakat lain. Kemerdekaan yang sesungguhnya,-dalam makna sosial, ekonomi, politik, budaya, dan ekologi-, tidak ada dalam kehidupan kehidupan mereka sampai dengan hari ini.
Lebih jauh, masyarakat pesisir akan terus berhadapan dengan ancaman kolonialisme baru, berupa reorganisasi ruang yang melayani kepentingan modal dan investor. Dalam situasi ini, agenda integrasi tata ruang darat dan laut dapat dilihat sebagai instrumen penting melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat, baik di darat maupun di laut.
Sebelumnya, kajian WALHI mengenai tata ruang laut, menyebutkan bahwa dalam 28 Peraturan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau kecil (RZWP3K) alokasi pemukiman nelayan jauh lebih kecil dengan luasan proyek reklamasi sekaligus dengan tambang pasir laut. Jika pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 1.256,90 hektar, maka luasan reklamasi dengan tambang pasir laut tercatat seluas 3.590.883,22 hektar. Sungguh suram masa depan nelayan dan masyarakat pesisir di Indonesia yang sering disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia ini.[3]
Secara umum, RZWP3K mengandung sejumlah persoalan besar sebagai berikut, pertama, tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan; kedua, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya. Ketiga, penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis; keempat, dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut. Kelima, mencampuradukkan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko kapal nelayan ditabrak kapal-kapal besar.[4]
Inilah potret kolonialisme baru dari negara yang sedang dihadapi oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil di Indonesia. Pesisir, laut, dan pulau kecil dianggap ruang kosong sekaligus dianggap tanpa pemilik yang sah. Di atas anggapan itulah negara dan pemodal mengatur ruang untuk memuluskan investasi, tetapi pada saat yang sama menggusur masyarakat serta menghancurkan lingkungan hidup.
Situasi ini mengingatkan kita pada ungkapan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”.
***
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Entri Ilusi: https://kbbi.web.id/ilusi
[2] Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. 384-385
[3] Parid Ridwanuddin dan Fikerman Saragih, Negara Melayani Siapa? : Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, (WALHI, 2023): https://www.walhi.or.id/negara-melayani-siapa-potret-ocean-grabbing-di-pesisir-laut-dan-pulau-pulau-kecil-dalam-28-rzwp3k-di-indonesia
[4] Parid Ridwanuddin, Dampak Omnibus Law terhadap Masyarakat Pesisir, dalam Koran Tempo, Jumat, 24 Januari 2020. Dapat diakses di tautan: https://kolom.tempo.co/read/1298983/dampak-omnibus-law-terhadap-masyarakat-pesisir