Siaran Pers
Eksekutif Nasional WALHI
#WALHISelamatkanPulau-PulauKecil
Jakarta, 23 Oktober 2023 – Pada 11 Oktober 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan surat dengan nomor 12.35/PUU/PAN.MK/KPT/10/2023 yang menetapkan WALHI sebagai PIHAK TERKAIT LANGSUNG dalam Perkara Nomor 35/PUUXXI/2023 perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selanjutnya, pada 18 Oktober 2023 lalu, tepatnya pukul 11.00 WIB Eksekutif Nasional Walhi telah mengikuti sidang kedua di Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, pada penghujung April 2023, PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP), anak perusahaan HARITA Grup, yang menambang nikel di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, melalui tim kuasa hukumnya menggugat sejumlah pasal di dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, khususnya pasal 23 ayat 2 dan pasal 35 huruf j.
Pasal 23 ayat 2 berbunyi: Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: a. konservasi; b. pendidikan dan pelatihan; c. penelitian dan pengembangan; d. budidaya laut; e. pariwisata; f. usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; g. pertanian organik; dan/atau h. peternakan.
Selanjutnya, Pasal 35 huruf j berbunyi: Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
Menurut tim ahli PT GKP, dalam hal ini I Nyoman Nurjaya, Pengujian materiil Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k kedua pasal dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 ini, terhadap Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada dasarnya dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum dan jaminan kepastian berusaha sebagai hak konstitusional dari Pemohon sebagai salah satu pelaku usaha pertambangan mineral di wilayah pulau-pulau kecil.
Lebih lanjut, I Nyoman Nurjaya menjelaskan, Pemohon dalam hal ini memandang bahwa dengan formulasi norma ketentuan Pasal 23 ayat (2) sebagaimana dimaksud di atas, dan kemudian dirangkaikan dengan Pasal 35 huruf k seakan-akan pemanfaatan untuk kegiatan selain kepentingan prioritas khususnya penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dilarang secara mutlak, definitif dan tanpa syarat. “Oleh karena itu, Pemohon yang telah memiliki izin penambangan nikel yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, merasa hak konstitusionalnya terganggu dan terancam. Padahal, telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” katanya dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK, Anwar Usman.
Menanggapi pernyataan tersebut, Kuasa Hukum Pihak Terkait, Harimuddin menjelaskan bahwa di dalam memahami UU No. 7 Tahun 2007 tidak bisa dilepaskan dengan Pasal 4 huruf a yang menyebut tujuan utama dari UU ini, yaitu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta sistem ekologinya secara berkelanjutan.
Menurut Harimudin, Ahli tidak bisa membaca undang-undang dalam rangka demi kepastian hukum bagi PT GKP lalu hanya mengambil pasal-pasal tertentu. “Tetapi harus dikaitkan dengan konstitusi atau UUD 1945 terutama pasal 33 ayat 1 sampai dengan 4. Lalu pemahamannya turun ke tujuan utama dibentuknya UU 27 Tahun 2007, sampai kemudian pasal-pasal di bawahnya,” tegasnya.
Pertambangan di Pulau Kecil sebabkan Pengungsi Iklim
Di tempat lain, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menjelaskan bahwa gugatan PT GKP terhadap dua pasal dalam UU 27 Tahun 2007 dilakukan setelah Perusahaan ini mengalami tiga kali kekalahan di Mahkamah Agung, setelah digugat masyarakat Pulau Wawonii.
Salah satu Putusan, yakni putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/HUM/2022 yang diterbitkan pada 28 Desember lalu menyebut bahwa pasal dalam Perda RTRW Konkep 2/2021 itu bertentangan dengan Pasal 4 huruf a, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil atau diubah ke UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. “Dengan demikian, Putusan MA) meminta Pulau Wawonii, yang merupakan Pulau Kecil, tak dijadikan sebagai kawasan pertambangan,” ungkap Parid.
Lebih jauh, gugatan PT GKP yang menginginkan adanya wilayah pertambangan di Pulau kecil, khususnya Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, selain bertentangan dengan mandat konstitusi, juga bertentangan dengan seruan dunia internasional yang saat ini sedang bergerak menyelamatkan pulau-pulau kecil dari ancaman kenaikan air laut akibat krisis iklim.
Pulau Kecil, termasuk masyarakat yang tinggal di dalamnya, merupakan wilayah dan kelompok rentan yang akan terdampak buruk krisis iklim. Pertambangan di Pulau-pulau kecil akan menghancurkan kemampuan masyarakat yang hidup di pulau kecil kehilangan kemampuan adaptasi. “Pertambangan di pulau kecil akan menghancurkan daya dukung lingkungan dan memaksa masyarakatnya menjadi pengungsi iklim,” tutur Parid.
Senada dengan itu, Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Puspa Dewy menyatakan bahwa keterlibatan Walhi sebagai PIHAK TERKAIT LANGSUNG dalam persidangan ini merupakan bentuk kepedulian dan keberpihakan Walhi terhadap keberlanjutan lingkungan hidup dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. “Gugatan yang diajukan oleh PT GKP dinilai oleh Walhi sebagai upaya untuk melemahkan perlindungan lingkungan hidup dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan di pulau-pulau kecil,” tegasnya.
Jika pertambangan di pulau kecil tidak dihentikan, maka lebih dari 13 ribu pulau kecil akan hancur dan ciri khas kepulauan Indonesia akan hilang pada masa yang akan datang. “Untuk itu, Walhi mengajak masyarakat luas untuk mengawal persidangan ini sampai gugatan ini dikalahkan. Masyarakat penting terlibat dalam melawan gugatan yang ditempuh oleh PT GKP ini untuk masa depan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia serta untuk keselamatan generasi yang akan datang,” pungkas Dewy.
Persidangan selanjutnya akan diselenggarakan pada tanggal 1 November 2023 dengan agenda mendengarkan penjelasan saksi ahli hukum perundang-undangan dari pihak Pemohon (*)
Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi,
di email: [email protected]