25 Oktober 2022
Rilis WALHI NTT
Jaringan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di NTT Terbentuk
Perwakilan rakyat pulau-pulau kecil di NTT bergabung di Pulau Solor, Flores Timur NTT. Perwakilan pulau-pulau kecil ini menyelenggarakan Musyawarah dan Festival Rakyat Pulau-Pulau Kecil di NTT bersama WALHI NTT. Perwakilan yang hadir berasal dari Pulau Semau, Pulau Rote, Pulau Sabu, Pulau Adonara, Pulau Besar, Pulau Alor, Pulau Lembata dan Pulau Solor. Kegiatan ini berlangsung sejak 20 hingga 22 Oktober 2022 di Desa Bubu Atagamu.
Kegiatan dimulai dengan diskusi publik bertemakan “Tantangan Wilayah Kelola Rakyat di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil”. Kegiatan selanjutnya adalah musyawarah rakyat pulau-pulau kecil yang bertujuan untuk,
- Refleksi pengalaman antar nelayan tradisional, petani, pemuda, perempuan, tokoh adat dan tokoh masyarakat, pemerintah desa tingkat akar rumput terkait tata kelola alam pesisir dan pulau-pulau kecil, dampak serta peluang dan tantangan untuk menjadi pembelajaran bersama.
- Menemukan format yang tepat tentang sistem perlindungan SDA sesuai kebutuhan lokal yang tidak bertentangan dengan regulasi formal tata kelola SDA pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Merumuskan hasil refleksi pengalaman dan merekomendasikan pada pihak Pemerintah dan DPR di semua level termasuk di level desa.
- Menyepakati poin-poin penting untuk diperbincangkan dengan para pemangku kepentingan di wilayah masing-masing.
- Menyepakati musyawarah masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai agenda rutin memperbincangkan tantangan dan solusi pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT.
Hasil yang diperoleh dari musyawarah ini yakni adanya rekomendasi buat WALHI NTT, rekomendasi untuk pemerintah hingga pembentukan jaringan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT. Selanjutnya jaringan ini akan melakukan pertemuan lanjutan untuk melakukan kerja advokasi perlindungan dan penguatan pulau-pulau kecil. WALHI NTT dipercaya untuk menjadi dinamisator untuk penguatan kerja advokasi jaringan ini.
Sonya Belleh, perwakilan dari Pulau Semau menyambut baik kegiatan dan rencana tindak lanjut ini. Dalam musyawarah, dia menyampaikan bahwa keterbatasan-keterbatasan di pulau kecil seharusnya dipandang pemerintah untuk melakukan pembenahan dalam memastikan keselamatan ekologis di pulau-pulau kecil.
Penihas Wila Huky, Perwakilan dari Pulau Sabu mengutarakan bahwa ada banyak kearifan lokal di pulau-pulau kecil sebagai bagian untuk penguatan daya tahan pulau-pulau kecil dari ancaman krisis. “Ada banyak peristiwa di masa lampau dan masa kini. Di mana kearifan lokal yang digunakan sungguh bermanfaat untuk menjaga pulau-pulau kecil dari kerusakan bahkan kehancuran,” ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan Yohanes N. Hayon, perwakilan dari Pulau Solor. Dia menambahkan pentingnya membangun kesadaran masyarakat untuk perlindungan pesisir, laut dan pulau kecil di NTT. Menurutnya kesadaran masyarakat ini agar mampu menjaga pulau-pulau kecil dari ancaman dampak perubahan iklim dan pembangunan yang tidak pro pada lingkungan hidup dan aspirasi rakyat pulau kecil.
Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengatakan bahwa musyawarah dan pembentukan jaringan ini sebagai momentum untuk melakukan kerja bersama bagi pulau-pulau kecil yang sering diabaikan dalam pembangunan di NTT. “Kalau kita lihat RPJMD dan RPJP propinsi NTT, soal soal keselamatan pulau-pulau kecil praktis sangat minim dan samar. Padahal kita tahu pulau-pulau kecil di NTT mengalami keterancaman yang luar biasa. Mulai dari perubahan iklim, pemanasan global, krisis ekologi lain hingga rencana ekspansi investasi yang abai pada daya dukung dan daya tampung lingkungan pulau kecil,” ungkapnya.
Berikut naskah Deklarasi Jaringan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di NTT,
DEKLARASI BUBU ATAGAMU
Kami, Jaringan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusa Tenggara Timur, menyadari kerusakan lingkungan telah memberikan dampak terhadap keseimbangan alam dan mengancam kehidupan. Kerusakan yang diawali dari kegagalan negara memberikan pengaturan yang adil, mengobral sumber daya alam, pengasingan terhadap nilai-nilai lokal, pengalihfungsian hutan, proyek mega-infrastruktur, hingga pengelolaan sampah yang buruk. Intrusi air laut, abrasi pantai, mundurnya garis pantai adalah hal paling mengancam keberlanjutan ruang hidup kami. Kami dan anak-cucu harus menanggung beban kerusakan yang tidak pernah kami buat.
Berangkat dari kesadaran bersama, kami berdiri disini demi satu tumpuan cita akan “Kampungku, Masa Depanku”. Untuk itu, perlu perombakan ulang atas tata kuasa, tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi dalam pranata sosial hari ini. Kesatuan cita ini seiring sejalan dengan tegaknya negara untuk mengakui dan melindungi kedaulatan masyarakat adat atas wilayah kelolanya. Perwujudan cita-cita haruslah dilaksanakan dengan mengusung tinggi prinsip Ta’an Tou, Mira Ked’di Hari do memude para lai, Witi Kikir Remah Epak, Tenangeli Mulenoa, Nusi In Dake, Mai Takabubue Ues demi keterlibatan semua pihak baik orang tua, tetua adat, orang muda, anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Sebab kami percaya hanya melalui tutur adat ini, cita-cita itu dapat terlaksana dengan baik dan benar.
Bahwa lingkungan hidup adalah bagian dari jati diri Kami. Kami berkomitmen memperjuangkan kelestarian lingkungan dan pengakuan negara terhadap kedaulatan kami atas wilayah kelola rakyat. Kami berkomitmen untuk mengelola alam secara arif sesuai dengan pengetahuan lokal yang diwariskan leluhur-leluhur kami. Untuk itu, kami akan membangun solidaritas dan kekuatan rakyat pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT.
Bubu Atagamu, 22 Oktober 2022
Jaringan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Nusa Tenggara Timur
(Ama Wila Huky) |
(Sonya Belleh) |
(Yufry Lahaya) |
(Imanuel Yoel Sulumasi) |
(Yohanes N. Hayon) |
(Oktavianus Beda Raran) |
(Philipus Payong) |
(Jamaludin) |