Rilis Media
Jakarta, 12 Februari 2024. WALHI mengungkapkan bahwa tidak ada satupun dari ketiga koalisi partai politik pendukung calon presiden dan wakil presiden yang bebas dari jejak kejahatan ekologis. Semua partai politik terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penghancuran hutan serta dampak-dampak ekologis yang harus ditanggung oleh rakyat. Meski begitu, dari ketiga koalisi, Koalisi Indonesia Maju yang menjadi pengusung pasangan Prabowo-Gibran, menjadi koalisi yang paling besar jejak kejahatan kehutanannya. Seluas 31,9 juta hektar hutan diserahkan kepada korporasi untuk dihancurkan. Jumlah ini setara dengan lebih dari 2 kali luas pulau Jawa atau setara dengan 37 kali luas pulau Bali.
Jejak penghancuran ini dapat dilacak dari besarnya penerbitan izin sektor kehutanan serta pelepasan kawasan hutan yang terjadi dari rezim ke rezim. Rezim Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang merupakan ketua partai Demokrat saat itu, melalui kedua Menteri Kehutanannya: MS. Kaban (Ketum PBB saat itu) dan Zulkifli Hasan (Ketum PAN) menerbitkan izin kehutanan sebesar 21,9 juta hektar. Di era GOLKAR berkuasa (Soeharto dan Habibie), seluas 10 juta hutan yang telah diserahkan kepada korporasi untuk dihancurkan. Partai-partai tersebut saat ini menjadi pendukung pasangan Prabowo Gibran.
Lihat juga, Lembar Fakta Jejak Kejahatan Ekologis Tiga Koalisi
Bukan hanya itu, “Keberlanjutan” sebagai tagline koalisi juga sarat dengan keberlanjutan kebijakan-kebijakan yang diterbitkan rezim Jokowi, dan ditujukan untuk menghancurkan lingkungan. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja; Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara; Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang KPK; Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara; Undang-Undang No. 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara; Perpres 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon; Perpres 14 Tahun 2024 tentang Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS); PP 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah; Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate; Perpres yang kemudian menjadi Peraturan Menteri Perekonomian tentang Proyek Strategis Nasional (PSN); Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Perpres No. 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional.
Penerbitan paket kebijakan yang meliberalisasi sumber-sumber penghidupan rakyat, juga merupakan langgam yang dulu dilakukan oleh Soeharto. Maka tidak berlebihan jika Walhi menyebut rezim Jokowi sama dengan rezim Soeharto, bahkan jauh lebih buruk.
Di Koalisi Perubahan yang menjadi koalisi pendukung Anis dan Muhaimin, Partai NASDEM merupakan partai pendukung rezim Jokowi yang telah menerbitkan paket kebijakan yang meliberalisasi hutan dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Bahkan partai NASDEM merupakan partai Siti Nurbaya, Menteri LHK yang juga menerbitkan 1,4 juta hektar hutan untuk izin-izin korporasi. Sedangkan partai PKB adalah partai yang juga mendukung Jokowi dari periode pertama hingga periode kedua.
Sedangkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Ganjar Pranowo dan Mahfud MD didukung oleh PDIP, PPP, HANURA, dan PERINDO. Sama dengan Koalisi Perubahan dan Koalisi Indonesia Maju, koalisi partai pendukung Ganjar-Mahfud juga memiliki jejak kejahatan ekologis di sektor kehutanan. PDIP, PPP, HANURA adalah partai pendukung rezim Jokowi dan seharusnya bertanggungjawab atas kehancuran hutan serta ekosistem lainnya.
Narahubung:
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eknas WALHI (+62 821-8261-9212)