Kajian Kebijakan Anti SLAPP di Indonesia: Menakar Kebijakan Perlindungan Pembela HAM & Lingkungan di Indonesia

Kajian Kebijakan Anti SLAPP di Indonesia

Kerusakan lingkungan, baik yang terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, yang diakibatkan aktivitas korporasi dan pemerintah, memicu reaksi perlawanan dari masyarakat. Masyarakat menuntut hak dasar atas lingkungan hidup yang sehat, yang terancam oleh pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Untuk melindungi diri dari pencemaran dan kerusakan, masyarakat aktif melakukan berbagai upaya, seperti menyampaikan keluhan, mengajukan pengaduan, serta memberikan saran dan pendapat.

Upaya yang dilakukan oleh para pejuang lingkungan sejatinya merupakan bentuk partisipasi publik. Partisipasi publik menjadi kunci dalam memastikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang demokratis dan adil. Melalui proses desentralisasi, partisipasi publik menjadi manifestasi demokrasi, di mana perencanaan yang berbasis masyarakat (bottom-up) diprioritaskan, dengan melibatkan mereka secara aktif dalam proses dan tahapannya.

Ironisnya, upaya masyarakat memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat melalui partisipasi publik seringkali dianggap sebagai ancaman dan penghalang pembangunan oleh negara. Sikap defensif negara ini terwujud dalam bentuk pembatasan dan penghalangan terhadap partisipasi masyarakat melalui cara-cara represif seperti kekerasan fisik dan psikis, serta kriminalisasi. Akibatnya, banyak pejuang lingkungan yang dituntut secara pidana atau digugat, hanya karena berani menuntut hak dasar mereka atas lingkungan yang baik dan sehat.

Menurut Soedarto, kriminalisasi merujuk pada proses penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana melalui pembuatan peraturan atau undang-undang, sehingga perbuatan tersebut dapat diancam dengan hukuman pidana. Tindakan kriminalisasi, seperti laporan atau gugatan perdata, yang dialamatkan kepada masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya, disebut sebagai Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP). Pada dasarnya, baik kriminalisasi maupun SLAPP memiliki tujuan yang sama, yaitu membungkam dan menghentikan upaya partisipasi publik.

SLAPP dan kriminalisasi adalah senjata yang digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dan meredam perjuangan untuk keadilan. Akibatnya, pejuang lingkungan dan masyarakat yang memperjuangkan hak-hak mereka terjebak dalam sistem peradilan yang tidak adil dan penuh ketidakpastian, menambah beban penderitaan mereka. Tindakan kriminalisasi kepada masyarakat, khususnya pejuang lingkungan, berbanding lurus dengan posisi Indonesia sebagai negara terburuk yang tidak mematuhi prinsip-prinsip rule of law dalam peradilan pidana maupun perdata. Dengan kata lain, sistem peradilan yang buruk akan menambah kesengsaraan bagi masyarakat yang dikriminalisasi.

Kajian ini memiliki urgensitas mengidentifikasi sejauh mana efektivitas hukum Anti SLAPP dapat memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak asasi manusia pada aspek lingkungan hidup. Selain itu, kajian ini hendak menelusuri bagaimana SLAPP berdampak signifikan kepada korban atau targetnya, termasuk keluarga dan ruang lingkup kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam konteks gender dan inklusivitas, dampak SLAPP berdampak negatif terhadap kelompok rentan. Pada saat perempuan terlibat dalam perjuangan membela hak atas lingkungan hidup terdapat situasi dan dampak yang berbeda, misalnya ancaman kekerasan seksual yang dijadikan alat membungkam perlawanan individu maupun kelompok perempuan dalam HAM lingkungan.

Penelitian ini melandaskan 3 (tiga) pertanyaan yang secara holistik akan dijawab secara eksploratif-naratif meliputi:

  1. Apakah instrumen hukum tentang kebijakan Anti-SLAPP di Indonesia sudah efektif memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam partisipasi publik.
  2. Apakah perspektif gender tercantum, baik secara implisit maupun eksplisit, dalam instrumen hukum tentang kebijakan Anti-SLAPP di Indonesia.
  3. Lesson learned apa yang didapat dari kajian perbandingan terhadap pengaturan kebijakan Anti-SLAPP di Amerika dan Kanada khususnya ditinjau dari perspektif gender.

Selengkapnya, silahkan unduh dokumen kajian DISINI.