KARHUTLA LEBIH DARI SEKEDAR PERSOALAN ASIAN GAMES

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 5 Juli 2018 Fakta Lapangan Jelang Asian Games, Kebakaran hutan dan Lahan (Karhutla) menjadi kekhawatiran tersendiri, Hingga 17 juli 2018 tercatat titik api yang hampir merata di pulau sumatera, sebagian Kalimantan, dan Papua. Tercatat Jambi 31 titik api, Riau 208, Sumsel 24, Kalbar 155, Kalteng 66, Kalsel 53, dan Papua 2 titik api (Sumber : Sensor VIIRS). Untuk Sumatera Selatan sendiri dari 1-31 Juli 2018, ada 257 titik api dalam lokasi konsesi korporasi. Diantaranya: 68 dalam konsesi pertambangan, 118 perkebunan, 78 kebun kayu (Konsesi Kehutanan, HPH HTI).[1] Besarnya izin konsesi pada ekosistem rawa gambut juga memperbesar ancaman kebakaran hutan dan lahan (KARHUTLA). Di Sumatera Selatan sendiri izin konsesi yang masuk dalam KHG (Kawasan Hidrologi Gambut) cukup besa. Tercatat : 269.969,12Ha izin perkebunan, 690.079,83 Ha IUPHHK Hutan Tanaman (HTI), dan 27.513,25 Ha IUPHHK Hutan Alam (HPH). Bahkan dari total 10.842.974,90 ha IUPHHK-HT (HTI) di Indonesia; 2,5 juta Ha diantaranya berada di ekosistem gambut dan lebih dari 1 juta hektar berada di gambut fungsi lindung. Melihat kondisi seperti ini, bisa dipahami mengapa KARHUTLA menjadi persoalan yang tak pernah usai. Melihat fakta diatas, nampaknya butuh kerja sangat keras untuk mewujudkan janji  Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang memastikan ancaman kebakaran hutan dan lahan tidak akan terjadi menjelang Asian Games 2018, pesan itu disampaikan saat  apel Komando Operasi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) sebelum pelaksanaan Asian Games 2018 di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat 3 Agustus 2018 lalu, yang juga dihadiri oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Upaya yang disampaikan membasahi gambut dengan TMC (Teknik Modifikasi Cuaca), tidak akan berdampak signifikan tanpa mengembalikan fungsi ekologisnya sebagai Ekosistem Rawa Gambut. Penegakan Hukum Dalam pekan terakhir, pemberitaan media diwarnai penangkapan dan penahanan 2 warga di Banyu Asin Sumatera Selatan yang dituduh membakar lahan, pada pekan yang sama juga ditetapkan seorang kepala surveyor sebuah perkebunan sebagai tersangka pembakar lahan seluas 5.500 Ha. Proses penegakan hukum hanya berjalan cepat ketika berhadapan dengan Individu, dan terkesan terlalu berhati-hati ketika berhadapan dengan korporasi, seringkali berdalih dengan lemahnya alat bukti, padahal kebekaran yang terjadi sebagian besar berada dalam kawasan konsesi korporasi. Dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 32/2009, Pertanggungjawaban mutlak melekat pada pemegang izin konsesi . Pasal 88 Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Pada sisi lain penegakan hukum masih berkutat pada individu, masih sedikit yang menyasar pada korporasi, tersangka yang ditetapkan hingga saat ini masih menyasar operator lapangan saja, tanpa meminta tanggung jawab korporasi. Peluang penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi sangat dimungkinkan namun sayangnya masih minim dimanfaatkan (Pasal 116 Undang-undang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup).  Penutup dan Rekomendasi Berkaca dari fakta kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan hidup, WALHI merekomendasikan dan mendesak Presiden untuk memperpanjang dan memperkuat kebijakan moratorium dengan rentang waktu minimal 25 tahun bagi perizinan di semua sektor sumber daya alam seperti perkebunan sawit, kebun kayu, dan industri tambang. WALHI menilai jeda pemberian izin dalam kurun waktu minimal 25 tahun yang dalam periode pemerintahan artinya berada dalam 5 periode pemerintahan, merupakan waktu yang cukup untuk melakukan pembenahan tata kelola sumber daya alam Indonesia dan menyelesaikan konflik struktural sumber daya alam. Dalam kurun waktu minimal 25 tahun, WALHI mendorong langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap atau paralel, yakni sebagai berikut:

  • Mengeluarkan kebijakan penundaan pemberian izin baru perkebunan kelapa sawit dan sektor lainnya seperti HPH, HTI dan tambang dalam bentuk Peraturan Presiden.
  • Memperkuat perlindungan hutan alam dan lahan gambut  melalui audit perizinan seluruh industri/usaha berbasis lahan. Audit perizinan untuk melihat aspek pelanggaran hukum dan konflik. Dari hasil audit perizinan ini, akan diklasifikasikan pada upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan dan perundang-undangan dan penciutan wilayah konsesi korporasi, serta penyelesaian konflik
  • Mendorong ekosistem rawa gambut yang sudah mendapatkan izin usaha tetapi belum ada kegiatannya segera diambilalih oleh negara, sebagai langkah perlindungan dan penyelamatan ekosistem rawa gambut. Memastikan korporasi yang melakukan pengrusakan hutan alam, lahan gambut serta kawasan ekosistem esensial lainnya untuk melakukan pemulihan sebagai tanggung jawab mereka, tanpa mengurangi kewajiban hukumnya
  • Melakukan perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia disertai dengan rencana aksi dan indikator capaian yang terukur, mencakup: (a)Membentuk Tim Independen untuk melakukan audit perizinan dan merekomedasikan pencabutan atau penciutan izin-izin perkebunan yang melanggar hukum, (b)Penguatan kerangka regulasi perkebunan kelapa sawit dan sinkronisasi dengan regulasi sektor lainnya (kehutanan, pertambangan, penataan ruang,  dan lain-lain), serta (c) Melakukan upaya-upaya intensifikasi perkebunan kelapa sawit yang sudah ada khususnya pekebunan skala kecil,  inventarisasi kebun sawit non skema, dan penataan hilirisasi industri sawit.

Melihat kondisi tersebut Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Selatan menyampaikan “Penegakan hukum jangan hanya tajam kepada petani kecil namun tumpul terhadap korporasi”. Hairul sobri menilai terkait KARHUTLAH penegakan hukum yang dilakukan negara hanya mengejar aktor pelaku pembakar saja. Belum maksimal menyetuh sanksi terhadap badan usaha. Kalau hanya mengejar aktor siapapun yang tingkat ekonomi rendah akan rela melakukan apapun demi mendapatkan sebuah upah. Di tahun-tahun sebelumnya bencana ekologis (kabut asap) di Sumatera Selatan, kearifan lokal seperti sonor (pertanian tradisional yang memanfaatkan abu bekas kebakaran sebagai penetral asam) yang dilakukan petani selalu dijadikan kambing hitam penyebab kebakaran. Satu perusahaan yang telah melakukan pembakaran ribuan hektar terkadang tidak diproses hukum, sedangkan petani kecil tidak lebih dari 2 hektar diadili. Jika perilaku negara terus seperti ini akan berdampak hilangnya kepercayaan rakyat. Bahwa negara akan hadir untuk melindungi, bukan untuk melindungi kepentingan korporasi. Korporasi yang faktanya merupakan milik dari negara peserta asian games. Ancaman tembak ditempat bagi pelaku pembakaran menurut kami tidaklah tepat. Ini terlihat pasca kebakaran besar ditahun sebelumnya hanya 1 atau 2 perusahaan saja yang dicabut izin dari total ratusan perusahaan yang terpantau titik api. Bahkan masih banyak juga perusahaan yang belum membuat dokument rencana pemulihan ekosistem gambut serta masih banyaknya perusahaan yang belum memenuhi kepatuhan yang diatur dalam undang-undang seperti tower pemantau, alat pemadam kebakaran dll. Wahyu A. Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air & Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional WALHI menyampaikan “KARHUTLA bukan hanya terkait Asian Games, lebih luas dari itu merupakan Hak Asasi warga negara untuk mendapatkan Lingkungan Hidup yang sehat dan baik, pemenuhan hal tersebut hanya mungkin diwujudkan jika ada penegakan hukum terhadap korporasi yang menyebabkan kerusakan Lingkungan hidup, diikuti dengan melakukan review izin konsesi (terutama pada korporasi yang kawasan konsesinya terbakar), selanjutnya juga melakukan review pada kebijakan-kebijakan yang tidak tepat, seperti kebijakan landswap[2] pada kawasan ekosistem gambut, yang tidak efektif dan justru memberi keistimewaan pada korporasi. Terbukti hingga saat ini KARHUTLA masih terus terjadi pada kawasan konsesi”. Terjadinya kebakaran hutan bukan hanya tolok ukur gangguan terhadap Asian Games, lebih dari itu menjadi penilaian dunia bagaimana kita menghargai lingkungan hidup dan ketegasan negara menegakkan hukum pada korporasi perusak lingkungan hidup. Narahubung Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan - M. Hairul Sobri (081278342402) Manajer Kampanye Pangan, Air & Ekosistem Esensial Wahyu A. Perdana (082112395919) Catatan Editor [1] Olah data Eksekutif Daerah WALHI Sumsel [2] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 40/Menlhk/Setjen/KUM. 1/6/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (Permen LHK Nomor 40/ 2017)

 width=  width=  width=