Kamis, 23 Maret 2024 merupakan hari yang bersejarah bagi seluruh masyarakat pulau kecil di Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menolak gugatan sebuah perusahaan nikel yang meminta kawasan pesisir dan pulau kecil boleh dijadikan wilayah pertambangan. WALHI dengan tegas menyebut putusan itu harus menjadi dasar pemerintah untuk menghentikan pertambangan di seluruh pulau kecil di Indonesia. “Menolak permohonan pemohon untuk semuanya,” kata ketua majelis hakim konstitusi, Suhartoyo, dalam putusannya yang dia bacakan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, sebagaimana yang tertulis dalam putusan MK No. 35 Tahun 2024.
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan bahwa pertambangan berpotensi memperparah kerusakan ekosistem pulau kecil dan kawasan pesisir. Merujuk ketentuan undang-undang, yang tergolong pulau kecil adalah pulau yang luasnya tidak lebih dari 2.000 kilometer persegi. “Aktivitas tambang bisa berdampak pada ketergantungan masyarakat kepulauan terhadap keanekaragaman hayati hingga berpotensi menghilangkan potensi ekowisata yang dapat memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan masyarakat,” demikian pertimbangan MK.
Sebelumnya, pihak pemohon yaitu PT Gema Kreasi Perdana (GKP) meminta MK membuat penafsiran terhadap Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf K UU 1/2014 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. PT GKP meminta agar penafsiran MK itu memberi lampu hijau kepada aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. PT GKP adalah pemegang izin usaha pertambangan di wilayah Pulau Wawonii di Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Dalam putusannya, MK menyebut dalil pemohon (PT GKP) tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansi antara ketentuan Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 35 huruf K UU PWP3K. Menurut amar putusan MK, berdasarkan aspek kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta secara sosiologis, kegiatan penambangan dapat merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Putusan Mahkamah juga menyatakan bahwa penambangan di pulau-pulau kecil merupakan Abnormally Dangerous Activity.
“Terbukti kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terjadi hingga saat ini, telah merusak lingkungan hidup dan merugikan masyarakat,” demikian pertimbangan MK dalam putusannya.
Respon Masyarakat Pulau Wawoni’i dan WALHI
Menanggapi putusan MK, Wilman warga Pulau Wawonii menilai putusan MK merupakan “kemenangan untuk kita semua”. “Kami mendesak PT GKP untuk segera meninggalkan Pulau Wawoni’i,” tegasnya.
WALHI mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh tuntutan PT GKP. Lebih lanjut, WALHI mendesak pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi dan menghentikan seluruh penambangan di pulau-pulau kecil. Jika pemerintah tidak bisa melakukan hal ini, seluruh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus bersatu untuk menghentikan dan menghilangkan pertambangan dari tempat tinggal mereka.
Selain itu, WALHI sangat menekankan mengapa pulau kecil harus dilindungi. Alasannya sebagai berikut: pertama, pulau-pulau kecil mempunyai daya dukung sumber daya alam yang terbatas dan sangat rentan, terutama terkait kenaikan permukaan air laut sebagai dampak dari krisis iklim. Saat ini tren kenaikan air laut secara global tercatat setinggi 0,8 - 1 meter. Dengan demikian, penambangan skala besar akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Kedua, sejalan dengan poin pertama di atas, masyarakat di pulau-pulau kecil akan semakin menderita karena adanya proyek pertambangan. Terbatasnya daya dukung sumber daya alam jika habis karena proyek pertambangan akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil. Seperti diketahui, masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil memiliki keterbatasan akses dan mobilitas, terutama dalam hal pangan dan air bersih. Jika sumber pangan dan air bersih hilang, bencana kemanusiaan akan meledak.
Ketiga, penambangan di pulau-pulau kecil akan memperparah ancaman bencana. Di Pulau Wawonii misalnya, sejak tahun 2012 masyarakat tidak mempunyai tempat berlindung karena dataran tinggi sudah ditambang sejak tahun 2008. Dengan demikian, proyek pertambangan di Wawonii telah dan akan memperburuk ancaman bencana, terutama gelombang tinggi dan/atau ancaman tsunami.
Berdasarkan argumen tersebut, WALHI mendukung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah mengeluarkan putusan bersejarah tersebut. Lebih lanjut WALHI berharap keputusan ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk melindungi dan menyelamatkan seluruh pulau-pulau kecil serta masyarakat yang tinggal di pulau-pulau tersebut.
Memperkuat Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 Tahun 2023
Sebelumnya, pada 22 Desember 2022, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Putusan MA Nomor 57 Tahun 2022, yang mengabulkan gugatan materiil 30 warga Pulau Wawonii terhadap terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan Tahun 2021-2041.
Di dalam putusan tersebut, MA menyatakan putusan di antaranya berikut:
Pertama, bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan adalah terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Kedua, Bahwa secara yuridis, Pasal 4 huruf a UU 27/2007, yang dengan jelas mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan”. Ketentuan tersebut, secara expressive verbis menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, in casu Pulau Wawonii setidak-tidaknya dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi, memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjaga sistem ekologis secara berkelanjutan;
Ketiga, Bahwa secara sosiologis, pemberlakuan objek permohonan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan melahirkan kebijakan yang kontraproduktif, seperti kebijakan kegiatan usaha pertambangan. Jelas, hal ini sangat tidak sesuai dengan landasan sosiologis, karena masyarakat di wilayah kecamatan Wanonii telah lama bertani/berkebun (menangkap ikan, PR);
Keempat, Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU 27/2007 Juncto UU 1/2014, Kabupaten Konawe Kepulauan termasuk kategori pulau kecil, yang prioritas pemanfaatannya sebagaimana termuat dalam Pasal 23 ayat (2), tidak satu pun menempatkan kegiatan pertambangan sebagai salah satunya;
Kelima, Bahwa secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil termasuk wilayah yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam teori hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan, karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya. Bahkan juga mengancam kehidupan sekitar.
Dengan demikian, tidak Putusan MK No. 35 Tahun 2024 sesungguhnya terbukti sejalan bahkan memperkuat dengan putusan MA No. 57 Tahun 2022. Maka, tak ada alasan lain bagi Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan pertambangan nikel di Pulau Wawonii, dan juga di seluruh Pulau Kecil di Indonesia. Penghentian pertambangan di seluruh pulau kecil akan menyelamatkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Jika tidak, pulau-pulau kecil di Indonesia akan tenggelam lebih cepat. Apabila pulau-pulau kecil selamat, maka Indonesia sebagai negara kepulauan, akan selamat dan abadi. (*)
Dimuat di Koran Rakyat Sultra, Selasa, 30 April 2024. Tautan lengkapnya diunduh: https://www.rakyatsultra.id/opini/504599509/kemenangan-masyarakat-pulau-kecil-melawan-pertambangan-nikel
Parid Ridwanuddin
Manager Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil, WALHI Nasional (Friend of The Earth Indonesia).