SIARAN PERS YLBHI, LBH Semarang, Eknas WALHI, WALHI Jateng, ICEL, Semarang, 15 Februari 2017 Kebijakan Energi Nasional (KEN) dilaksanakan berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional. Adapun untuk kemandirian energi dan ketahanan nasional tidak terlepas dari kebijakan pemanfaatan ruang yang berada dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRW). Saat ini Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah melakukan Revisi RTRW Propinsi Jawa Tengah, terkhusus pemanfaatan ruang untuk sektor Energi terdapat beberapa hal yang bertentangan dalam penyusunan RTRW dan perlu menjadi perhatian bersama, antara lain: Pertama, Penyusunan KLHS RTRW Propinsi Jateng yang dimohonkan persetujuan kepada KLHK pada 31 Agustus 2017 oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah menggunakan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional yang tidak berlaku lagi yaitu RUPTL Tahun 2013-2022. Pada saat permohonan validasi tersebut, terdapat RUPTL yang baru yaitu RUPTL 2017-2026 yang berlaku sejak 31 Maret 2017. Penggunaan RUPTL yang tidak termuktahir akan mengakibatkan inkonsistensi RUPTL dan RTRW dan kacaunya perencanaan energi di propinsi Jawa Tengah, hal ini terlihat jelas dengan beberapa kabupaten yang direncanakan akan dibangun Pembangkit Listrik berdasarkan Rancangan RTRW namun tidak terdapat dalam RUPTL 2017-2026.
Kedua, penyusunan KLHS tidak partisipatif, sebab Kajian Lingkungan Hidup Setrategis merupakan rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatau wilayah dan/atau Kebijakan Rencana dan/atau Program, pelaksanaan partisipasi masyarakat diatur juga dalam Pasal 35 ayat 2 huruf F Permen LHK No 69 Tahun 2017 . Namun saat penyusunan sampai dengan permohonan persetujuan Validasi KLHS, masyarakat dan lembaga masyarakat sipil yang bergerak di bidang lingkungan hidup tidak pernah dilibatkan. Suatu preseden buruk atas penyusunan KLHS yang tentu menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga, pembangunan PLTU Batubara berada diwilayah pesisir sehingga menganggu nelayan terhadap kawasan pesisir mengakibatkan banyak kerugian dialami oleh nelayan, selain itu pembangunan PLTU Batubara di wilayah pesisir menyebabkan rusaknya ekosistem pesisir dan laut seperti terumbu karang, mangrove dan habitat ikan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir ini diakibatkan pembuangan limbah air panas dan pembangunan jetty sebagian bagian dari PLTU Batubara.
Terakhir berkaitan dengan pencemaran, bahwa penambahan PLTU Batubara akan semakin memperburuk penurunan kualitas udara di jawa tengah, sebab sudah ada beberapa PLTU existing, seperti diwilayah tanjung jati B Jepara yang kemudian akan dibangun kembali beberapa PLTU Batubara. Penurunan kualitas udara ini kemudian akan berdampak kepada kesehatan masyarakat yang terkena dampak yaitu menderita penyakit asma, bronchitis dan lainnya. Dampak dari pembangunan pembangkit listrik menimbulkan berbagai konflik lingkungan di Jawa Tengah, seperti konflik pendirian PLTU Batubara di Batang, konflik PLTP Baturraden di Banyumas. Dan jikalau ada penambahan pembangkit listrik berpotensi menambah deretan konflik di masyarakat Besarnya potensi konflik yang terjadi, penting untuk memperhatikan partisipasi dari berbagai elemen masyarakat dalam penyusunan tata ruang, terutama di sektor Energi. sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam mencukupi sumber energi yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Narahubung : Zainal Arifin (085727149369) Ismail Al Habib (0811800763)