slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsa
Krisis di Tingkat Tapak Semakin Nyata, Penguatan Ambisi Iklim Indonesia Harus Dibarengi Mekanisme Partisipasi Publik yang Lebih Inklusif | WALHI

Krisis di Tingkat Tapak Semakin Nyata, Penguatan Ambisi Iklim Indonesia Harus Dibarengi Mekanisme Partisipasi Publik yang Lebih Inklusif

Bilingual Version

Siaran Pers

Krisis di Tingkat Tapak Semakin Nyata, Penguatan Ambisi Iklim Indonesia Harus Dibarengi Mekanisme Partisipasi Publik yang Lebih Inklusif

For immediate release.

Jakarta, 29 September 2022. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, dan IESR menyambut baik keputusan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada 2030 dari 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional. Peningkatan target ini cukup menunjukkan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim global. Penguatan tersebut seharusnya disertai mekanisme partisipasi publik yang bermakna dan inklusif serta memperhatikan berbagai sektor agar pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia benar-benar berjalan efektif dan tidak menimbulkan dampak yang lebih buruk bagi kelompok rentan.

Krisis yang dihadapi masyarakat Indonesia akibat perubahan iklim semakin nyata. Berbagai pilihan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ternyata sebagian malah memperburuk kapasitas adaptif ekosistem dan masyarakat serta apabila dilakukan secara membabi buta seringkali melupakan dampak sosial dan lingkungan.

Di Kota Kupang, NTT, misalnya, pembangunan infrastruktur penahan gelombang sebagai pilihan aksi perubahan iklim mengabaikan kebutuhan nelayan tradisional. Di Kabupaten Malaka, NTT, infrastruktur pencegah banjir justru meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap banjir. Di Pekalongan, Jawa Tengah, tanggul yang dibangun untuk menahan air laut justru menghambat aliran nutrisi sehingga mangrove tidak bisa berkembang dengan baik.

Pulau Obi, Maluku Utara, yang luasnya hanya 2500 km persegi telah dibebani 19 izin pertambangan nikel, yang sebagiannya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik. Pertambangan dan smelter pun masih tergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menghasilkan banyak emisi.

“Subyek utama dari aksi penanggulangan perubahan iklim adalah manusia dan ekosistem yang sebetulnya tidak terpisahkan. Intervensi aksi perubahan iklim harus seimbang dan dalam konteks Indonesia, aksi adaptasi seharusnya mendapatkan porsi yang setara atau lebih besar daripada mitigasi. Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah harus melibatkan aksi partisipatif masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan yang perlu dipenuhi dalam melakukan pilihan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ujar Dewi Rizki, Direktur Program Kemitraan.

Koalisi Keadilan Iklim menyoroti penguatan ambisi iklim Indonesia di sektor hutan dan lahan (FOLU) serta energi yang saat ini menjadi penyumbang utama pengurangan emisi dalam Enhanced NDC.

“Peningkatan target pengurangan emisi ini patut diapresiasi, terutama karena besarnya dana dan kolaborasi multi pihak yang dibutuhkan untuk mencapainya,” ujar Nadia Hadad. “Namun, ambisi ini dapat lebih ambisius mengingat target Indonesia dalam FOLU Net Sink 2030 jauh lebih besar. Target ini semestinya diadopsi ke dalam NDC selanjutnya,” tambah Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dalam Enhanced NDC, angka deforestasi total periode 2020-2030 dalam skenario upaya sendiri justru meningkat menjadi 359 ribu ha per tahun, lebih tinggi dibandingkan total deforestasi dalam First NDC Indonesia 2016 dan Updated NDC 2021 sebesar 325 ribu ha. Padahal, Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat deforestasinya selama 4 tahun berturut-turut.

Di sektor energi, Koalisi mengapresiasi peningkatan penurunan emisi yang lebih tinggi dari sektor energi yakni 44 MtCO2e atau naik 14% dari target di Updated NDC. Hanya, disayangkan, kenaikan tersebut masih belum selaras dengan upaya yang dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan target global menahan kenaikan temperatur di bawah 2°C/1,5°C.

“Penurunan emisi dari sektor energi masih dapat ditingkatkan lagi apabila ada kenaikan target bauran energi terbarukan menjadi 42% di 2030,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. “Penurunan emisi yang lebih tinggi juga bisa didapatkan dengan memasukkan pensiun dini PLTU serta akselerasi penggunaan kendaraan listrik, serta penerapan efisiensi energi dari bangunan serta industri, hal yang saat ini belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi di NDC.”

Berkaitan dengan adaptasi, seharusnya aksi adaptasi sejalan dengan agenda pembangunan dan tidak boleh menyebabkan sesuatu yang lebih buruk atau maladaptasi.

“Meskipun NDC telah menyebutkan integrasi lintas-sektor, pada aras implementasi di tingkat nasional, koordinasi dan kolaborasi antar sektor masih menjadi pertanyaan besar mengingat aksi-aksi pembangunan yang bernuansa iklim maupun tidak bernuansa iklim masih saling berbenturan dan berdampak negatif bagi keselamatan warga,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.

Koalisi menyoroti minimnya konsultasi dan partisipasi publik, terutama masyarakat sipil dan masyarakat adat dalam penyusunan Enhanced NDC. Padahal, masyarakat adalah kelompok terdepan dan langsung terdampak perubahan iklim. Selain itu, Persetujuan Paris mengafirmasi pentingnya partisipasi publik dan akses publik terhadap informasi serta pelibatan seluruh aktor dalam seluruh proses penanganan perubahan iklim, termasuk penyusunan NDC. Penyusunan dan implementasi NDC seharusnya didasari semangat “no one left behind” dalam penanganan perubahan iklim dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Penguatan mekanisme konsultasi dan pelibatan yang bermakna bagi seluruh pihak dalam proses penyusunan maupun implementasi NDC adalah hal yang mutlak.

"Hanya dengan memiliki mekanisme partisipasi publik yang bermakna, Indonesia dapat benar-benar menyatakan aksi yang ada di dalam NDC mampu menyelamatkan rakyat Indonesia dari krisis iklim yang telah terjadi dan akan semakin dirasakan saat ini,” tutup Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional.

***

Narahubung:

  1. Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  2. Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, hadijatmiko@walhi.or.id
  3. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, HP 0811-949-759
  4. Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, HP 0811 383 270
  5. Dewi Rizki, Direktur Program Sustainable Governance Strategic, HP 0811-8453-112

Notes to editor:

  1. Dalam Enhanced NDC, target penurunan emisi di sektor Kehutanan dan Lahan atau FOLU yang akan dicapai secara mandiri naik 0,6% dari Updated NDC atau sebesar 3 MtonCO2e dari 497 MtonCO2e menjadi 500 MtonCO2e. Sementara itu, target pengurangan emisi dengan dukungan internasional meningkat 5,35% atau 37 MtonCO2e hingga menjadi 729 MtonCO2e dari sebelumnya 692 MtonCO2e.
  2. Menurut kajian IESR bersama Universitas Maryland (2022), agar penurunan emisi selaras dengan jalur 1,5°C, maka pada 2030 harus dipensiunkan 9,2 GW PLTU. Sayangnya, dalam NDC ini, aksi pensiun dini PLTU masih belum dimasukkan dalam perhitungan penurunan emisi.
  3. Koalisi merekomendasikan beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah:
    1. Melindungi hutan alam sekunder yang masih baik dan belum terlindungi ke dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru.
    2. Membatasi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan di hutan alam hanya untuk kegiatan yang bersifat restoratif seperti jasa lingkungan dan restorasi ekosistem.
    3. Mempercepat realisasi target Perhutanan Sosial - terutama hutan adat - dan memperkuat pendampingan masyarakat agar dapat berkontribusi mengurangi emisi, melindungi ekosistem esensial dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.
    4. Mempertegas keberadaan co-firing dalam aksi mitigasi Enhanced NDC hanya sebagai strategi pengurangan emisi jangka pendek sembari menunggu PLTU dipensiunkan, bahkan lebih awal.
    5. Co-firing biomassa perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti keekonomian dari biaya bahan bakar biomassa, dan juga aspek keberlanjutan dari penyediaan bahan bakar biomassa, agar tidak sampai punya dampak pada penambahan emisi di sektor lahan. Penggunaan co-firing biomassa juga tidak boleh jadi justifikasi perpanjangan umur PLTU dari umur yang ada saat ini.
    6. Mengutamakan aksi adaptasi dalam setiap intervensi perubahan iklim.
    7. Menurunkan Rencana Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) sampai ke daerah agar bisa diimplementasikan melalui RPJMD dan didanai APBD
    8. Memastikan partisipasi publik dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim atau RAD-API untuk mendorong aksi adaptasi yang partisipatif dan memenuhi aspek keadilan dalam penanganan dampak yang ditimbulkan.
  4. Informasi lebih lanjut terkait contoh maladaptasi dan pemilihan aksi mitigasi yang berdampak terhadap sosial dan lingkungan:
    1. Kota Kupang, NTT: https://pikul.id/maladaptasi-dan-adaptasi-efektif-di-ntt/
    2. Kabupaten Malaka, NTT: lihat laporan Herman Seran, “Sungai Adalah Sahabat, Banjir Adalah Rejeki: Temuan Studi Survei Etnografis Dataran Banjir Benenai Wesiku-Wehali,” 2021.
    3. Pekalongan, Jateng: https://www.kemitraan.or.id/program-tiap-provinsi/adaptation-fund-project-pekalongan
    4. Pulau Obi, Maluku Utara: https://www.walhi.or.id/berebut-ruang-dengan-investasi

----- ----- -----

Press Release

Crises on the Ground Becoming More Evident, Indonesia’s Enhanced Climate Ambition Requires More Inclusive Public Participation Mechanism

For immediate release.

Jakarta, 29 September 2022. A civil society coalition, consisting of Yayasan Madani Berkelanjutan, Kemitraan, WALHI, Yayasan PIKUL, and IESR, welcomes the Government of Indonesia’s decision to enhance the country’s Greenhouse Gas Emissions reduction target by 2030 from 29% to 31.89% with its own efforts and from 41% to 43.2% with international support. This enhancement reflects the Government of Indonesia’s earnestness in tackling global climate change. This enhancement should have been made with meaningful and inclusive public participation and taken into account various sectors, so that options for climate change mitigation and adaptation actions in Indonesia are effective and do not cause adverse impacts on vulnerable groups.

Crises faced by the Indonesian people due to climate change are becoming more evident. Some adaptation and mitigation options may worsen the adaptive capacity of the ecosystems and communities if carried out recklessly without full consideration of social and environmental impacts.

In the city of Kupang, East Nusa Tenggara, the construction of breakwater infrastructure as an option to tackle climate change has undermined the needs of traditional fisherfolk communities. In Malaka District, East Nusa Tenggara, flood prevention infrastructure has increased communities’ vulnerability to floods. In Pekalongan, Central Java, an embankment built to prevent seawater from flooding the land has blocked the flow of nutritions, hindering the growth of mangroves.

Pulau Obi in North Maluku is a 2,500 km2 island and currently bears 19 nickel mining concessions, some of which are intended to fulfill the demand of electric vehicles. Mining and smelting activities there also rely on coal power plants, which are emission intensive.

“The main subjects in actions to combat climate change are people and ecosystems, which cannot be separated from one another. Climate change actions must be balanced, and in the context of Indonesia, adaptation must be given the same or even a greater portion than mitigation. Both central and regional governments must involve communities’ participation and identify their needs when choosing and carrying out climate change mitigation and adaptation actions,” said Dewi Rizki, Program Director of Kemitraan.

The Climate Justice Coalition highlights Indonesia’s enhancement of climate ambition in the forestry and land use (FOLU) and energy sectors, which contribute the biggest emissions reduction in Enhanced NDC.

“This enhancement in climate ambition deserves appreciation, especially due to the amount of funds and multi-stakeholder collaboration required to achieve it,” said Nadia Hadad. “But this target could have been made more ambitious considering that Indonesia has decided to pursue a greater target of Indonesia FOLU Net Sink by 2030,” added Nadia Hadad, the Executive Director of Yayasan Madani Berkelanjutan.

In Enhanced NDC, total deforestation in 2020-2030 under the own-efforts scenario increases to 359 thousand ha per year, higher than the previous target of 325 thousand ha per year as stipulated in the First NDC Indonesia of 2016 and the Updated NDC Indonesia of 2021, even though Indonesia has consecutively reduced deforestation in the last 4 years.

In the energy sector, the Coalition appreciates the raising of emissions reduction target to 44 MTCO2e, a 14% increase from the Updated NDC. Unfortunately, the increase has yet to be made aligned with the global target of preventing temperature rise below 2°C/1,5°C.

“Emissions reduction in the energy sector can be further improved with a target of renewable energy blending of 42% by 2030,” explained Fabby Tumiwa, the Executive Director of IESR. “Further emissions reduction can be achieved with the early retirement of coal power plantsa target that remains to be included in Indonesia’s NDC emissions reduction calculation.”

With regard to climate adaptation, actions must be made aligned with development and prevent the worsening of conditions or maladaptation.

“Even though NDC has mentioned cross-sectoral integration, at a national level, coordination and collaboration between sectors remain a big challenge because many development initiatives that are eco-friendly tend to collide with the non-eco-friendly ones, adversely affecting the safety of peoples,” said Torry Kuswardono, the Director of Yayasan PIKUL.

The Coalition highlights the lack of public consultation and participation, especially from civil society organizations and Indigenous Peoples or customary communities in the formulation of Enhanced NDC even though they are the ones that are in the frontline of and are directly impacted by climate change. The Paris Agreement has affirmed the importance of public participation and public’s access to information as well as the involvement of all actors in all processes to tackle climate change, including when planning NDCs. The formulation and implementation of NDC should be based on the “no-one-left-behind” principle, both in climate change actions and efforts to achieve sustainable development goals. Therefore, strengthening the mechanisms for meaningful consultation and involvement of all stakeholders is an absolute necessity, both in drafting and implementing NDC.

“Only by having a meaningful public participation mechanism can Indonesia truly claim that actions listed in NDC are able to save the Indonesian people from the climate crisis that is already occurring and will be increasingly felt,” said Hadi Jatmiko, Head of Campaign Division of National WALHI.

***

Contact Persons:

  1. Nadia Hadad, Executive Director, Yayasan Madani Berkelanjutan, Ph. 0811 132 081
  2. Hadi Jatmiko, Head of Campaign Division of National WALHI, hadijatmiko@walhi.or.id
  3. Fabby Tumiwa, Executive Director, IESR, Ph. 0811-949-759
  4. Torry Kuswardono, Executive Director, Yayasan PIKUL, Ph. 0811 383 270
  5. Dewi Rizki, Program Director, Sustainable Governance Strategic, Ph. 0811-8453-112

Notes to Editor:

  1. In Enhanced NDC, the emissions reduction target in the Forestry and Land Use (FOLU) sector that must be achieved with Indonesia’s own efforts increased by 0.6% or 3 MTCO2e from 497 MTCO2e in Updated NDC to 500 MTCO2e. Meanwhile, the emissions reduction target that will be met if there is international support increased by 5.35% or 37 MTCO2e from 692 MCO2e to 729 MTCO2e.
  2. According to a study by IESR and University of Maryland (2022), to align emissions reduction with 1.5C pathways, Indonesia needs to retire 9.2 GW of coal-fired power plants by 2030. Unfortunately, in NDC, early retirement of coal-fired power plants is not yet taken into account in the calculation of emissions reduction.
  3. The Coalition recommends the following to be taken into consideration by the government:
    1. Protect the remaining unprotected secondary natural forests by including them in the Indicative Map of Prohibition of New Permits Issuance;
    2. Limit Forest Utilization Business Permit in natural forests only for restorative activities such as environmental services and ecosystems restoration;
    3. Accelerate the realization of Social Forestry targets - especially customary forests - and strengthen assistance to communities to enable the program to contribute to reducing emissions, protecting essential ecosystems, and increasing communities' resilience to climate change impacts;
    4. Affirm co-firing as a mitigation action in Enhanced NDC only as a short-term emissions reduction strategy while retiring coal-fired power plants even earlier;
    5. Co-firing with biomass must take into consideration the following aspects: the economic viability of the cost of biomass fuel and prevention of increased emissions in the land sector. The utilization of co-firing with biomass cannot justify the extension of coal-fired power plants;
    6. Prioritize adaptation actions in every climate change intervention;
    7. Operationalize Climate-Resilient Development Plan to the regional and local level so that it can be implemented through the Regional Development Plan and the Regional Budget;
    8. Ensure public participation in the formulation of Regional Action Plan on Climate Change Adaptation or RAD-API to push for participatory adaptation actions that fulfill the justice aspect in handling the impacts caused.
  4. Further information regarding examples of maladaptation and mitigation options that cause adverse social and environmental impacts can be found below:
    1. Kupang, NTT: https://pikul.id/maladaptasi-dan-adaptasi-efektif-di-ntt/
    2. Malaka District, NTT: see report by Herman Seran, “Sungai Adalah Sahabat, Banjir Adalah Rejeki: Temuan Studi Survei Etnografis Dataran Banjir Benenai Wesiku-Wehali,” 2021.
    3. Pekalongan, Central Java: https://www.kemitraan.or.id/program-tiap-provinsi/adaptation-fund-project-pekalongan
    4. Pulau Obi, North Maluku: https://www.walhi.or.id/berebut-ruang-dengan-investasi