Setelah Perjanjian Paris diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016, pekerjaan besar pemerintah selanjutnya adalah bagaimana membuat peta jalan penurunan emisi di beberapa sektor penyumbang emisi sesuai dengan komitmen yang disampaikan oleh presiden Joko Widodo sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan Internasional di tahun 2030. Komitmen tersebut juga telah dituangkan dalam National Determined Contribution (NDC) Indonesia. Kelima kategori sektor tersebut dengan proporsi penurunan emisi masing-masing adalah kehutanan 17,2%, energi 11%, pertanian 0,32%, industri 0,10% dan limbah 0,38%. Lokakarya Keadilan Iklim dalam Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Di Sektor Energi ini dilaksanakan pada hari Senin, 11 September 2017, Pukul 09.00-15.00 bertempat di Ke:Kini Ruang Bersama, Peserta kegiatan ini adalah Eksekutif Daerah WALHI, Organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional yang bekerja terkait isu energi dan perubahan iklim Untuk mencapai target penurunan emisi di masing-masing sektor tersebut, NDC harus diturunkan menjadi rencana aksi nasional supaya target penurunan emisi di masing-masing sektor tercapai dengan menitikberatkan pada beberapa provinsi penyumbang emisi terbesar terutama di sektor kehutanan dan energi. Dalam konteks ini penting disusun peta jalan dan rencana aksi yang mengarah pada pembangunan yang rendah karbon dalam perencanaan pembangunan nasional maupun daerah terutama di beberapa provinsi penyumbang emisi terbesar.
Di sektor energi, program 35.000 megawatt pemenuhan energi nasional masih didominasi penggunaan batubara. Produksi batubara ditargetkan dibatasi sebesar 400 juta ton per tahun pada 2019 dengan asumsi 60% digunakan untuk kebutuhan energi nasional, kondisi ini tidak cukup sinergis dengan target penurunan emisi di sektor energi, karena meski target produksi batubara bukan sepenuhnya untuk ekspor, meningkatkan penggunaan batubara di dalam negeri akan meningkatkan emisi. Hal strategis lainnya adalah kajian kerentanan yang harus menjadi dasar dalam penyusunan prioritas pembangunan nasional dan daerah, Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah menyusun Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang bisa digunakan sebagai dasar rencana aksi adaptasi dan mitigasi secara nasional maupun daerah. Perlu prespektif lebih luas dalam memandang perubahan iklim, sehingga tidak dimaknai hanya sebagai upaya penurunan emisi semata, ada sisi keselamatan dan daya lenting rakyat dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang harus menjadi arus utama penyusunan kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Model mitigasi dan adaptasi yang selama ini dipraktekkan oleh masyarakat melalui pengelolaan hutan dan lahan gambut secara lestari, model pertanian skala kecil dengan sistem agroekologi maupun pengelolaan energi bersih berbasis komunitas belum mendapat ruang dalam rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim baik di nasional maupun daerah. Menuju COP23 yang akan dilaksanakan pada bulan November tahun ini di Bonn, perlu disusun upaya strategis dalam mengatasi dampak buruk perubahan iklim. Demikian juga dengan pemerintah daerah yang perlu mengintergasikan kebijakan daerah yang mengutamakan keselamatan rakyat dan sesuai dengan target penurunan emisi nasional.