slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot pulsaslot pulsaslot777slot 2025slot terbaik 2025slot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsaslot gacor maxwinslot danasitus slot gacor
Masyarakat Sipil Tuntut Keadilan Ekonomi Bagi Rakyat | WALHI

Masyarakat Sipil Tuntut Keadilan Ekonomi Bagi Rakyat

 Rilis Media Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Perundingan Indonesia-EU CEPA ke-5 di Brussels, 9-13 Juli 2018   Jakarta, 19 Juli 2018. Dari Brussels, Belgia, beberapa perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mendesakan beberapa tuntutan terkait dengan perundingan Indonesia-EU CEPA (IEU CEPA) ke-5 di Brussels pada 9-13 Juli 2018. Perwakilan koalisi tersebut terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ), KIARA, KPRI, dan KSBSI.  Beberapa tuntutan dari masyarakat sipil (CSOs) tersebut diarahkan pada beberapa isu hangat yang sedang dirundingkan saat itu, seperti isu investasi, isu sustainable development dan kaitannya dengan sawit, perikanan, dan buruh, serta isu kesehatan. Bahkan, tuntutan tersebut turut disampaikan pada saat bertemu dengan negosiator Indonesia dan Komisi Uni Eropa di Brussels.   Aturan Bab Investasi Melemahkan Daya Saing Nasional Paling tidak, ada dua soal utama yang dikritisi oleh masyarakat sipil, yaitu aturan mengenai larangan performance requirements dan aturan perlindungan investor asing yang disertai dengan mekanisme sengketa investasi. Dalam hal larangan performance requirements, aturan IEU CEPA akan melarang penerapan aturan kewajiban TKDN, transfer teknologi, dan melakukan diskriminasi terhadap penggunaan barang yang diproduksi atau jasa yang disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu (terkait dengan pengadaan barang dan jasa khususnya untuk UMKM), dan termasuk larangan untuk memprioritaskan penggunaan tenaga kerja lokal.    Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menegaskan bahwa aturan tersebut akan sangat merugikan ekonomi nasional dan arah kebijakan pemerintah tentang daya saing industry.  “Aturan performance Requirements dalam IEU CEPA akan mempersempit dan menghambat peningkatan daya saing industry lokal termasuk upaya untuk mendorong terjadinya peningkatan nilai tambah produksi dan memperkuat peran industry lokal dan ekonomi rakyat kecil dalam pembangunan ekonomi nasional”, terang Rachmi.     Bahkan, Rachmi menjelaskan di dalam pertemuan resmi antara Negosiator Indonesia dengan CSOs pada 9 Juli 2018 di Brussels lalu, Negosiator Indonesia yang dipimpin oleh Ni Made Ayu Marthini (Direktur Perundingan Bilateral Kemendag) dan Arif Havas Oegroeseno (Dubes Indonesia untuk Jerman), menjelaskan bahwa Uni Eropa tengah mendesakan lebih banyak daftar larangan performance requirements dalam IEU CEPA, yang tentunya hal ini akan semakin mempersulit ruang gerak Indonesia sendiri.   Tentu aturan-aturan investasi dalam IEU CEPA ini tidak adil bagi ekonomi rakyat” tegas Rachmi.  Terlebih, aturan investasi dalam IEU CEPA akan membuka peluang bagi investor asing untuk dengan mudah menyeret Pemerintah Indonesia secara sepihak ke dalam gugatan arbitrase internasional yang bernilai hingga milyaran dollar. Mekanisme ini disebut dengan Investor-State Dispute Settlement (ISDS).   “Mekanisme ISDS di dalam IEU CEPA tentu akan menjadi kemunduran dari kebijakan Pemerintah Indonesia yang pernah diambil untuk melakukan review terhadap ISDS akibat pengalaman Indonesia digugat banyak investor asing di ICSID. Sehingga kami mendesak untuk menghapus ISDS atau apapun namanya yang memberikan hak tunggal kepada investor asing untuk menggugat negara”, terang Rachmi.  Sawit Harus Keluar Dari Meja Perundingan Desakan masyarakat sipil untuk mengeluarkan sawit dalam meja perundingan terus didorong. Hal ini karena persoalan sawit bukan hanya sekedar persoalan perdagangan saja, tetapi ada persoalan lingkungan, sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia yang sampai hari ini belum dapat diselesaikan. Hal ini juga terkait dengan kesepakatan Renewable Energy Directive II yang menyatakan bahwa Uni Eropa secara perlahan akan mengurangi penggunaan biofuel yang bersumber dari bahan pangan termasuk sawit hingga o% pada tahun 2030. Alasan pemerintah Indonesia menolak Renewable Energy Directive II dengan mengatakan ini diskriminatif pada sawit menjadi terbantahkan, karena di 2030 semua bahan makanan tidak hanya sawit itu akan dilarang penggunaannnya sebagai biofuel. Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi mengatakan “keputusan untuk tidak lagi menggunakan sawit untuk biofuel merupakan keputusan tepat. Pertama, bukan alternatif terhadap energi fosil karena emisi karbon tiga kali lipat lebih besar. Kedua, dari sisi ekonomi tidak menguntungkan banyak, tidak ada nilai tambah yang berputar di dalam negeri, karena ekspor sawit dalam bentuk CPO dan kemudian diolah di Belanda dan negara eropa lain menjadi biofuel. Langkah pemerintah untuk terus mendorong agar Eropa menerima sawit dalam perjanjian dagang Indonesia-EU CEPA, dinilai keputusan yang salah dan seharusnya komoditas sawit ini tidak di masukan dalam negosiasi perundingan perdagangan tersebut.”   Selain itu Yuyun juga menambahkan agar pemerintah melakukan langkah koreksi terkait kebijakan sawit di dalam negeri, salah satunya adalah segera menerbitkan kebijakan moratorium sawit seperti yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 lalu.   Peneliti Senior IGJ, Olisias Gultom, memaparkan bahwa isu sawit yang dibahas di dalam perundingan hanya akan merugikan Indonesia terkait dengan posisi rundingnya.  “ketergantungan ekspor Indonesia pada komoditas sawit dan memprioritaskan sawit dalam perundingan IEU CEPA hanya akan merugikan Indonesia dalam perundingan. Ingat IEU CEPA ini isinya comprehensive, prioritas sawit oleh Indonesia hanya akan mendorong adanya “Trade off” kepentingan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak EU. Oleh karena itu secara tegas kami meminta agar sawit harus dikeluarkan dari perundingan”, terang Olisias.    Olisias pun mendesak agar Pemerintah Indonesia segera  menghapuskan ketergantungan ekspor Indonesia pada sawit dan mengalihkan dukungan perdagangan kepada sektor pertanian lain yang lebih potensial dan ramah lingkungan.    Olisias juga menjelaskan bahwa bab Trade and Sustainable Development dalam IEU CEPA akan mengatur mengenai standar dan mekanisme sertifikasi dan labeling untuk produk sawit sebagai salah satu aturan yang akan menentukan apakah produk sawit dari Indonesia itu sustainable atau tidak.  “bagi kami, makna sustainable dalam IEU CEPA yang hanya sebatas pada stempel sertifikasi dan labeling tidaklah cukup untuk menjawab persoalan sawit yang begitu besar. Perlu ada pemaknaan ‘sustainable’ yang sesungguhnya dalam persoalan sawit sehingga muncul mekanisme alternative yang mendukung keberlanjutan ekonomi bagi rakyat”, papar Olisias.    Perlindungan Buruh dan Kepastian Bekerja   Persoalan buruh dalam perundingan harus dilihat dalam konteks bagaimana kerjasama ekonomi tersebut dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia. Namun, bagi Sekjen Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Anwar Ma’ruf, Indonesia-EU CEPA tidak akan bermanfaat bagi rakyat Indonesia karena banyak aturan yang akan membatasi Indonesia untuk membuka industry hilir.   “desakan EU untuk menghapuskan kebijakan larangan ekspor konsentrat tentu akan memberikan dampak terhadap rencana pemerintah untuk membuka banyak lapangan pekerjaan disektor hilir. Selain itu, liberalisasi government procurement akan berdampak terhadap industry lokal yang bergantung pada kegiatan ini, khususnya UMKM. Sehingga, sekali lagi, aturan IEU CEPA hanya akan membawa ketidak-adilan ekonomi bagi rakyat kecil”, tegas Sastro.   Dalam konteks perlindungan buruh, Eduard Marpaung menjelaskan bahwa Perdagangan bebas dilakukan untuk menghapus diskriminasi yang menghambat perdagangan seperti tarif, pajak, UU, subsidi, dll. Organisasi Masyarakat Sipil banyak menolak perdagangan bebas karena tidak siapnya infrastruktur pendukung seperti kesiapan menghadapi derasnya arus modal dan perdagangan yang pada gilirannya menyebabkan terpinggirkannya kalangan masyarakat bawah, buruh, pesisir, penduduk asli, nelayan, petani kecil, umkm, kerusakan lingkungan, dll. Biasanya kesepakatan perdagangan bebas disertai proteksi khusus wilayah-wilayah Export Processing Zone (EPZ ), Special Economic Zone (SEZ), wilayah Bonded Zone dan terakhir OBVITNAS.    “Kami menginginkan perdagangan yang sustainable, menghargai HAM, Konvensi dan Deklarasi ILO tentang Bisnis dan Human Right. Kami juga meminta dalam kesepakatan  perdagangan  bilateral atau multilateral  termasuk EU Indonesia CEPA tidak ada pengecualian hak dasar buruh seperti hak berserikat, berunding bersama, hak mogok, penghapusan buruh anak, maternity protection, OHS, dll. Termasuk di wilayah2 khusus tersebut”, tegas Eduard.   Hak Masyarakat Pesisir & Penegakan Hukum Bagi IUU Fishing   KIARA bersama seluruh masyarakat pesisir di Indonesia yg terdiri dari nelayan, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, pelestari ekosistem mangrove, serta masyarakat adat pesisir dan pulau-pulau kecil, menolak investasi Uni Eropa yg merampas kehidupan masyarakt pesisir serta pulau-pulau kecil, baik dalam bentuk pariwisata, pertambangan, dan kelapa sawit.    ketiga investasi tersebut terbukti merampas ruang kehidupan masyarakat pesisir dan juga merusak keberlanjutan lingkungan   KIARA dan masyarakat pesisir di indonesia meminta Komisi Uni Eropa untuk mengeluarkan ketiga investasi tersebut dalam list investasi IEU CEPA. Keberlanjutan seharusnya dipahami sebagai sebuah kondisi dimana masyarakat pesisir di Indonesia memiliki kedaulatan untuk mengakses dan memanfaatkna sumber daya kelautan dan perikanan tanpa dari generasi ke generasi tanpa dihalangi oleh apapun   Kesehatan: Obat Murah Untuk Rakyat Bukan Monopoli Paten   Dalam proposal Uni Eropa dalam bab Hak Kekayaan Intelektual, terutama dalam bagian hak Paten, menawarkan banyak pengaturan yang meminta komitmen HKI yang lebih tinggi daripada TRIPS (perjanjian HKI dalam WTO). Proposal TRIPs plus antara lain, perpanjangan masa paten sebagai kompensasi proses eksaminasi paten dan pendaftaran obat. Perpanjangan paten akan memparpanjang monopoli perusahaan obat pemilik paten atau originator, memperlambat introduksi obat generik, sebagai kompetitor. Sehingga, akan meningkatkan harga obat dan memperkecil akses masyarakat pada obat.   “Perjanjian ini akan menetapkan perlindungan paten lebih lama, dan itu akan mempengaruhi  akses masyarakat pada obat-obatan,” demikian kata Lutfiyah Hanim, yang melakukan penelitian mengenai proposal Uni Eropa pada bab HKI. Selain dengan perpanjangan paten, Hanim juga menyebutkan UE juga mengusulkan penerapan ekslusifitas data, dimana obat-obatan yang tidak dilindungi paten tidak bisa dibuat versi generiknya karena perusahaan generik dilarang menggunakan data untuk menjual atau membuat versi generiknya.     Karena itu, Hanim mengatakan, sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk menolak proposal UE dalam bab HKI yang meminta penerapan TRIPs Plus. “Tidak ada manfaatnya bagi masyarakat di Indonesia untuk menerapkan TRIPS plus, itu hanya akan mempersulit akses, dan menaikan harga obat, “ demikian Hanim menjelaskan.      **** Tim Delegasi CSOs Indonesia di Brussels, Belgia, 9-13 Juli 2018:  

  1. Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ
  2. Olisias Gultom, Peneliti Senior IGJ Untuk isu Energi dan Digital Ekonomi
  3. Parid Ridwanudin, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA
  4. Anwar Ma’ruf, Sekjen KPRI
  5. Eduard, Sekjen KSBSI
  6. Lutfiyah Hanim, Peneliti IGJ untuk Akses Rakyat Atas Obat
  7. Alvin Siregar, Peneliti IGJ untuk Akses Rakyat Atas Obat

  Informasi lebih lanjut, hubungi:   Rachmi Hertanti: 0817 4985 180 Parid Ridwanudin: 0857 1733 7640 Anwar Ma’ruf: 0812 1059 0010 Eduard: 0813 9828 97278. Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI: 081385072648