slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsa
Memuliakan Gagasan Ekologis KH Ali Yafie | WALHI

Memuliakan Gagasan Ekologis KH Ali Yafie

Memuliakan Gagasan Ekologis KH Ali Yafie

Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi,
Divisi SDA LHKP PP Muhammadiyah

Indonesia telah kehilangan KH Ali Yafie, seorang ulama yang sangat otoritatif dan panutan bagi masyarakat Muslim di negeri ini. Beliau wafat pada Sabtu, 25 Februari 2023.

Semasa hidupnya, beliau telah dipercaya untuk memegang jabatan publik, di antaranya, hakim di Pengadilan Agama Ujungpandang, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Rais Syuriah PBNU, dan Rektor Institut Ilmu Alquran.

KH Ali Yafie juga telah melahirkan sejumlah karya yang menarik dikaji, yaitu, Menggagas Fikih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah (1995); Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan (1997); Beragama Secara Praktis agar Hidup Lebih Bermakna (2002); Fiqih Perdagangan Bebas (2003); dan Merintis Fiqih Lingkungan Hidup (2006).

Melalui buku yang terakhir, KH Ali Yafie telah memberikan kontribusi serius bagi pengembangan diskursus lingkungan hidup atau gagasan ekologis yang berpijak pada ajaran Islam. Dengan penguasaan ilmu agama Islam yang dikuasainya, umat Islam di Indonesia diajak untuk merespons krisis lingkungan hidup dengan menggunakan pendekatan fikih dan ushul fikih.

Maqashidus syariah sebagai perspektif

Maqashidus syariah memiliki sejarah yang sangat panjang. Konsep ini dikembangkan Imam al-Ghazali, lalu diteruskan para ulama seperti Imam asy-Syatibi, serta Thahir Ibnu Asyur.

Maqashidus syariah menyebut, syariah diturunkan untuk menjaga lima hal primer (dharuriyatul khamsah) dalam kehidupan manusia, yaitu kehidupan (nafs), agama (din), harta kekayaan (mal), pemikiran (aql), dan keturunan (nasl).

Pada 2006, melalui buku Merintis Fiqih Lingkungan Hidup, Prof KH Ali Yafie menambahkan perlindungan lingkungan (hifzhul bi’ah) sebagai salah satu poin penting tujuan diturunkannya syariah.

Dengan demikian, maqashid al-syariah mengalami pengembangan dari lima hal yang primer (dharuriyatul khamsah) menjadi enam hal yang primer (dharuriyatus sittah). Di tangan KH Ali Yafie, maqashidus syariah adalah konsep yang berorientasi pada perlindungan lingkungan hidup (hifzhul bi’ah).

Hifzhul bi’ah adalah tujuan yang menjadi jangkar utama dalam maqashid al-syariah dan memandu umat Islam berada pada jalan yang lurus, yaitu melindungi planet bumi, di mana di dalamnya ada beragam generasi yang hidup dan berkembang sekaligus rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati.

Dengan menambahkan hifzhul bi’ah, KH Ali Yafie telah memberikan kontribusi sangat signifikan dalam membangun diskursus ekologi dari perspektif ajaran Islam, yang belum pernah dilakukan ulama-ulama sebelumnya. Ini merupakan ijtihad intelektual yang wajib dilanjutkan.

Keadilan iklim

Rintisan KH Ali Yafie dalam fikih lingkungan hidupnya sangat perlu untuk dilanjutkan, mengingat kita hidup di era krisis ekologis yang tidak berkesudahan. Krisis itu ditandai dengan semakin masifnya bencana iklim, terutama banjir akibat kerusakan lingkungan dan cuaca ekstrem.

Sejak 2000-2019 telah terjadi 9.394 kali banjir yang menyebabkan 5.023 orang meninggal dan memaksa 29.537.476 orang mengungsi. Tak hanya itu, akibat krisis iklim, sebanyak 12 ribu desa pesisir dan lebih dari 200 pulau kecil di negeri ini akan tenggelam.

Gagasan ekologis KH Ali Yafie penting dikontekstualisasikan dalam rangka memerangi krisis iklim yang kini mengancam lebih dari 50 juta orang masyarakat di Indonesia, terutama di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Konsep hifzhul bi’ah yang dirintis KH Ali Yafie adalah dasar konsep keadilan iklim (al-‘adalah al-munakhiyyah) yang menempatkan keselamatan planet bumi sebagai jangkar utama.

Hal ini sejalan dengan seruan dunia internasional yang menuntut penghentian emisi dan menuntut pembatasan temperatur global sebesar 1,5 derajat Celcius dibandingkan era pra revolusi industri. (*)

Tulisan telah dimuat di rubrik Opini Republika.