Konferensi Pers
“Menagih Daulat Hak atas Wilayah Kelola Rakyat Jambi”
Jakarta, 25 Maret 2022. Walhi menggelar Konferensi Pers dengan tema “Menagih Daulat Hak atas Wilayah Kelola Rakyat Jambi” pada Sabtu (25/3/2022). Belasan orang masyarakat dari 9 (sembilan) desa, 6 (enam) kabupaten, Provinsi Jambi menghadiri konferensi pers yang digelar di studio Walhi Nasional tersebut. Mereka adalah masyarakat dari Desa Olak Kemang dan Desa Pemayungan dari Kabupaten Tebo, Desa Pandan Sejahtera dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Desa Sungai Paur dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Desa Rondang dari Kabupaten Muaro Jambi, Desa Simpang Rantau Gedang dari Kabupaten Batang Hari, Desa Tebing Tinggi dan Desa Mekar Sari dari Kabupaten Batang Hari, dan Desa Batu Ampar dari Kabupaten Sarolangun.
Sembilan orang perwakilan di antara masyarakat menjadi narasumber dalam konferensi pers yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB pagi itu. Masyarakat menceritakan konflik agraria yang tengah dihadapi oleh komunitas mereka masing-masing. Periode konflik yang melibatkan sejumlah perusahaan perkebunan dan kehutanan di Provinsi Jambi tersebut cukup beragam. Masyarakat dari Desa Pemayungan menjalani konflik yang berlangsung paling lama, yakni sejak tahun 2012. Sedangkan yang paling baru, yakni Desa Tebing Tinggi sejak tahun 2021. Menurut data Walhi Jambi, selama tahun 2017 hingga 2022, terdapat setidaknya 162 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Provinsi Jambi.
Bukan hanya menghadapi konflik berkepanjangan, masyarakat juga kerap mendapatkan berbagai bentuk intimidasi dan kriminalisasi. Pak Mardani, masyarakat dari Kelompok Tani Jaya Bersama, Desa Simpang Rantau Gedang, menceritakan bagaimana PT Sawit Jambi Lestari melaporkan sejumlah masyarakat dari Kelompok Tani Jaya Bersama ke Polisi atas tuduhan pendudukan lahan secara ilegal. “Kami bingung siapa yang sebenarnya menduduki lahan secara ilegal? Kami masyarakat punya izin, kami menduduki lahan diizinkan oleh Pemda, sebaliknya perusahaan menduduki lahan kami disitu secara premanisme,” ujarnya.
Masyarakat di Desa Pemayungan juga menjadi sasaran intimidasi dan kriminalisasi karena mempertahankan wilayah kelola mereka yang dibebani izin IUPHHK-HTI (Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri) PT Lestari Asri Jaya. Masyarakat Desa Pemayungan kerap kali didatangi preman suruhan dari perusahaan dan mendapatkan surat pemanggilan dari kepolisian untuk menyerahkan lahan yang telah mereka kelola kepada perusahaan. Bahkan Pak Kasim, masyarakat dari Desa Pandan Sejahtera, terjerat upaya kriminalisasi oleh PT Indonusa Agro Mulyo yang menggarap lahan komunitasnya. Pak Kasim dituduh menjadi penggerak ketika masyarakat membersihkan lahan usaha yang mereka dapatkan dari skema transmigrasi pemerintah pada 2020. Proses pemeriksaannya hingga sampai ditetapkan sebagai terdakwa terjadi sangat cepat. Saat ini Pak Kasim telah berstatus sebagai terdakwa dan harus menjalani proses persidangan. Konflik berawal ketika masyarakat menolak tawaran menjadi mitra plasma dari perusahaan. Pak Kasim mengungkapkan, “masyarakat menolak karena harus menyerahkan 50% lahannya kepada perusahaan, sehingga sekarang lahan itu diserobot perusahaan.”
Sejak Senin (21/3/2022), rombongan masyarakat telah mendatangi berbagai instansi pemerintah dan non-pemerintah untuk melakukan audiensi serta menyampaikan laporan kasus, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan Transmigrasi, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut Pak Fadil, masyarakat Desa Ampar, masyarakat mendatangi sejumlah instansi tersebut sebagai upaya mencari penyelesaian konflik yang terjadi. “Karena sudah beberapa kali (kami berupaya) ke kabupaten maupun provinsi, sama dengan desa-desa lainnya, tidak ada menemukan titik terang,” jelas Pak Fadil.
Eksekutif Daerah Walhi Jambi, Ginda Harahap, mengatakan bahwa kunjungan masyarakat ke berbagai instansi selama satu minggu terakhir merupakan bentuk kekecewaan mereka atas belum adanya penyelesaian konkret di daerah, dari tingkat desa, kabupaten, maupun provinsi. Meskipun masyarakat memiliki alas hak yang kuat, mereka hingga hari ini masih terus berjuang, sedangkan perusahaan tidak menggubris dan justru mengintimidasi masyarakat. Ginda mengatakan, “kenyataannya negara ini kalah dengan perusahaan yang ada di wilayah tersebut. Ini bagian dari kelalaian negara dalam memelihara dan memastikan keadilan hukum yang ada di tingkat masyarakat paling bawah.”
Menurut data Walhi, sepanjang tahun 2021 terjadi kriminalisasi sebanyak 58 kasus, yakni 52% di sektor pertambangan dan 34% di sektor kehutanan dan perkebunan. Uli Arta Siagian, Pengkampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan bahwa di berbagai wilayah Indonesia saat ini, rakyat sedang berjuang mempertahankan tanahnya, serta mengalami berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan. “Seharusnya pengurus negara fokus untuk menyelesaikan proses konflik agraria ini karena proses penyelesaian konflik agraria adalah bentuk tanggung jawab pengurus negara untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga negara. Dengan terus mengabaikan persoalan konflik agraria, itu membuktikan bahwa pengurus negara gagal memenuhi hak konstitusi warga negara.”
Narahubung:
Uli Arta Siagian (Eksekutif Nasional Walhi) - 0821 8261 9212
Ginda Harahap (Walhi Jambi) - 0853 7705 8090