Jakarta, 8 Mei 2017 - Komitmen Presiden Joko Widodo yang akan memberlakukan moratorium sawit perlu didukung. Namun setahun setelah komitmen diucapkan belum juga ditindaklanjuti dengan kebijakan dan aksi yang nyata. Padahal moratorium sawit diharapkan dapat melengkapi kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut yang terlebih dahulu telah dikeluarkan oleh Presiden Jokowi melalui Inpres (Instruksi Presiden) 8/2015. Inpres tersebut adalah perpanjangan dari Inpres 10/2011 dan Inpres 6/2013. Berdasarkan hasil evaluasi Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, antara lain WALHI, Sawit Watch, TuK Indonesia, Auriga dan Kemitraan, selama enam tahun pelaksanaan moratorium hutan dan lahan gambut, luas areal hutan alam primer dan lahan gambut yang dimoratorium cenderung mengalami penurunan dari 69,14 juta hektar pada Juni 2011 menjadi 66,44 juta hektar di November 2016. Meski diakui dalam dua tahun terakhir luas areal moratorium mengalami peningkatan sebesar 2,42 juta hektar. “Kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut belum mampu memperbaiki tata kelola hutan Indonesia, karena pada saat yang bersamaan terus saja terjadi pelepasan kawasan hutan, baik melalui revisi tata ruang maupun pelepasan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan kelapa sawit,” ungkap Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI. Perubahan peruntukan kawasan hutan melalaui mekanisme revisi tata ruang cenderung mengalami peningkatan selama masa moratorium. Tahun 2011 terjadi pelepasan kawasan hutan seluas 159.300 hektar, dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan lebih dari 10 kali lipat yakni seluas 1,8 juta hektar. Tahun 2013 kembali dilepaskan kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar, dan puncaknya tahun 2014, dimana terjadi pelepasan kawasan hutan hingga 3,2 juta hektar.
Selama masa moratorium, Pemerintah telah melepaskan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan seluas 1.677.217 hektar, dengan rincian 944.071 hektar pada masa moratorium 2011-2013, seluas 645.005 hektar pada masa moratorium 2013-2015, dan terus terjadi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan pada masa moratorium 2015-2017 meski angkanya lebih kecil yakni 88.140 hektar. Merujuk pada data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 2016 seluas 11,7 juta hektar, yang menghasilkan 33,5 juta ton minyak sawit (crude palm oil/CPO). Dari total luas areal perkebunan kelapa sawit tersebut, perusahaan milik negara menguasai 0,75 juta hektar, perusahaan besar milik swasta menguasai 6,15 juta hektar, dan perkebunan rakyat seluas 4,76 juta hektar. “Sayangnya produktivitas kebun sawit Indonesia masih rendah, hanya sekitar 2,79 ton CPO per hektar per tahun. Padahal pemerintah telah mencanangkan produktivitas kebun sawit Indonesia bisa mencapai 9 ton CPO per hektar per tahun. Dari pada terus menambah luas areal, lebih baik pemerintah berkonsentrasi para peningkatan produktivitas kebun sawit,” ujar Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch. Selain masalah produktivitas, realisasi penanaman kebun sawit juga terbilang masih rendah. Hasil analisis Auriga terhadap data luas areal perkebunan kelapa sawit di empat provinsi, yakni Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa dari 11,26 juta izin usaha perkebunan di empat provinsi tersebut, realisasi penanaman baru mencapai 3,67 juta hektar atau sekitar 32,59 persen dari total luas izin yang diberikan. Sementara analisis TuK Indonesia terhadap penguasaan kebun sawit oleh 25 grup perusahaan yang dimiliki oleh para taipan menunjukkan bahwa dari 5,07 juta hektar kebun yang mereka kuasai, realisasi penanaman baru sekitar 3,07 juta hektar atau sekitar 60,33 persen. Penguasaan kebun oleh 25 grup perusahaan ini hampir setengah dari luas areal pekerbunan kelapa sawit Indonesia saat ini. “Areal perkebunan kelapa sawit ternyata masih banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Ini merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius. Kami berharap Pemerintah segera memberlakukan moratorium sawit sembari memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia,” pinta Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Kemitraan. Mencermati berbagai persoalan tersebut, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia mendesak Pemerintah untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Mengimpleentasikan kebijakan moratorium sawit dengan secepatnya mengeluarkan kebijakan penundaan pemberian izin baru perkebunan kelapa sawit dalam bentuk Peraturan Presiden.
- Melakukan perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia disertai dengan rencana aksi dan indikator capaian yang jelas dan terukur, mencakup: (a) Membentuk Tim Independen untuk melakukan audit kepatuhan dan merekomendasikan pencabutan atau penciutan izin-izin perkebunan yang melanggar hukum, (b) Penguatan kerangka regulasi perkebunan kelapa sawit dan sinkronisasi dengan regulasi sektor lainnya (kehutanan, pertambangan, penataan ruang, dan lain-lain), serta (c) Melakukan upaya-upaya intensifikasi perkebunan kelapa sawit yang sudah ada khususnya pekebun skala kecil, inventarisasi kebun sawit non skema, dan penataan hilirisasi industri sawit. (d) Mempercepat upaya-upaya dukungan dalam replanting (penanaman kembali) bagi pekebun skala kecil.
- Memperkuat perlindungan hutan alam dan lahan gambut melalui audit kepatuhan seluruh industri/usaha berbasis lahan dan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan.
- Mempercepat pelaksanaan Kebijakan Pemerataan Ekonomi, melalui pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial untuk mengurangi kesenjangan penguasaan tanah antara usaha skala besar dengan rakyat dan petani miskin.
Narahubung:
- Nur Hidayati (WALHI): 0813-16101154
- Achmad Surambo (Sawit Watch): 0812-8748726
- Edi Sutrisno (TuK Indonesia): 0877-11246094
- Syahrul Fitra (Auriga)
- Monica Tanuhandaru (Kemitraan)
Koalisi Masyarakat Sipil: WALHI, Sawit Watch, TuK - Indonesia, Auriga, dan Kemitraan.