Mendesak KLHK Menuntaskan kasus Konflik Tenurial Kampung Long Insun, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur
Samarinda, 27 Nopember 2017
Kebijakan pemerintahan Jokowi menjawab pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan dengan tiga pilar; akses lahan (hutan, tanah), kesempatan usaha dan sumber daya manusia. Melalui kebijakan tersebut beberapa hal yang hendak dicapai; Pertama, menciptakan dan mempercepat pemerataan akses dan distribusi aset sumberdaya hutan. Kedua, menyelesaikan konflik tenurial di kawasan hutan; dan ketiga adalah mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Arah kebijakan tersebut tampaknya di Kalimantan Timur tidak cukup menggembirakan, mengingat kasus konflik tenurial di dalam kawasan hutan di Kalimantan Timur kian meluas, hal ini berbanding lurus dengan luasan kawasan hutan yang justru telah dikuasai oleh korporasi kehutanan.
WALHI Kalimantan Timur mencatat 642 desa/kampung berada dalam kawasan hutan dengan fungsi produksi, luasnya mencapai 5,9 juta hektar. Jika dibandingkan dengan luas kawasan hutan Kaltim berdasarkan SK.718/2014 Kementrian LHK yang mencapai 8,3 juta hektar. Ini berarti lebih dari 71% hutan Kalimantan Timur telah dikuasai korporasi kehutanan. Sementara 408 desa/kampung yang berkonflik langsung wilayah kelolanya dengan konsesi HPH dan HTI mencapai 3 juta Ha lebih. Konflik tenurial ini telah mencatatkan kriminalisasi masyarakat sepanjang 2014-2017 di dua kabupaten, Kutai Kartanegara dan Mahakam Ulu yang mempertahankan wilayah kelolanya dari gusuran konsesi HPH dan HTI.
Sementara itu terkait konflik tenurial di Kalimantan Timur, kasus Long Isun, Mahakam Ulu sejak 2014 telah memandatkan advokasinya kepada Koalisi Kemanusiaan Untuk Pemulihan Keadaulatan Masyarakat Adat. Advokasi untuk merespon tindakan semena-mena perusahaan yang mengkriminalisai masyarakat, Tekwan Ajat (40 tahun) yang Sejak 29 Agustus 2014 menyandang status tersangka hingga saat ini.
Sejak 18 Januari 2017, konflik tenurial kampung Long Isun resmi dilaporkan melalui Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), sebagaimana kesepakatan dalam rapat kerja bersama WALHI dan KLHK 16-17 Januari 2017, disepakati 3 (tiga) indikator keberhasilan. Pertama konflik tenurial selesai, kedua Pemegang ijin HPH PT KBT harus keluar dari wilayah hukum adat Long Isun, ketiga masyarakat Long Isun mengusulkan skema Perhutanan Sosial. Alih-alih menuntaskan konflik tenurial yang disepakati menggunakan skema Permen LHK No. 84/2015 tentang penanganan konflik tenurial kawasan hutan, justru KLHK melalui Dirjen PSKL terkesan menunda-nunda. Padahal kasus tersebut telah mengakibatkan terjadinya kriminaliasi warga oleh PT KBT atas perilaku buruknya pemegang ijin HPH tersebut.
Atas lambannya penanganan tersebut, WALHI Kaltim akan melayangkan surat protes kepada Menteri LHK dengan beberapa point desakan, antara lain; segera melakukan asessement konflik berdasarkan regulasi yang berlaku, Permen LHK 84/2015 dan Perdirjen PSKL No 6 Tahun 2016 tentang Pedoman Assesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan. Koalisi juga mendesak KLHK untuk segera mereview IUPHHK-HA PT KBT.
Dengan mempertimbangkan bahwa FSC salah satu organisasi nirlaba internasional yang memiliki wewenang menerbitkan sertifikasi produk kehutanan yang bersifat voluntary pun telah mencabut sertifikasi yang diberikan kepada PT KBT pada tanggal 6 Juli 2017. Koalisi telah melakukan complain resmi ke FSC sejak Januari 2017 atas pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan standard dan tidak bertanggungjawab. Atas kondisi tersebut, sudah selayaknya KLHK juga segera mengambil langkah audit sertifikasi PHPL (Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada Pemegang Izin HPH PT KBT. Dengan demikian KLHK memastikan pengelolaan hutan secara lestari dan bertanggungjawab untuk masa depan hutan Kalimantan Timur.
Catatan Redaksi:
1). PT KBT pemegang SK IUPHHK NO. 378/KPTS-IV/1987 TANGGAL 1 DESEMBER 1987 Dan Diperpanjang Dengan SK MENHUT NO. 217/MENHUT-II/2008 TGL 9 JUNI 2008 seluas 82.810 Ha
2). Sertifikasi FSC menyediakan hubungan yang kredibel antara produksi yang bertanggung jawab dan konsumsi hasil hutan, memungkinkan konsumen dan pebisnis untuk membuat keputusan pembelian yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan serta memberikan nilai bisnis yang sedang berlangsung. FSC secara nasional diwakili di lebih dari 50 negara di seluruh dunia. (bersifat voluntary)
3). Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. (bersifat mandatory)
4). Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) merupakan skema sertifikasi hutan untuk memastikan apakah Unit Manajemen Hutan telah mengelola hutan produksi secara lestari. (bersifat mandatory)
Narahubung:
1). Fathur Roziqin Fen (WALHI Kaltim) 0811-544-8002
2). Carolus Tuah (POKJA 30) 0853-5002-6444
3). Fathul Huda Wiyashadi (JAL) 0816-4971-6872
4). Ignatius Hanyang (PNP) 0812-5348-3305
WALHI Kaltim | POKJA 30 | Perkumpulan Nurani Perempuan | Jaringan Advokat Lingkungan Hidup (JAL)
“..Kami hanya bisa melahirkan manusia, tapi tidak bisa melahirkan tanah. Maka jaga dan pelihara tanah yang ada dengan sebaik-baiknya, untuk warisan anak-cucu”
[Serikat Perempuan Dayak, Lung Isun]