SIARAN PERS KOALISI ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL PAPUA Tanah Papua, 09 Maret 2018. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyatakan, “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”.Sejak Papua diintegrasikan ke NKRI, cita-cita kesejahteraan, kebebasan.keadilan sosial dan perdamaian abadi ini masih belum terpenuhi. Hak-hak konstitusional mendasar bagi Orang Asli Papua masih diabaikan dan dibatasi, belum dihormati dan dilindungi secara sungguh-sungguh.Ketidakadilan sosial, diskriminasi dan ketidak bebasan berekspresi masih dirasakan hingga hari ini.Praktik kekerasan, penangkapan, penyiksaan, tindakan brutal hingga korban jiwa yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) masih terjadi dan melibatkan aparatus negara.
Demikian pula, hak-hak Orang Asli Papua untuk menguasai, memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah, hutan dan kekayaan alam lainnya, diingkari dan diabaikan, dibuat prasyarat-prasyarat yang mahal dan sulit dijalankan masyarakat adat. Disini, negara gagal dan mengabaikan tanggung jawabnya untuk memenuhi dan mewujudkan hak-hak konstitusional Orang Asli Papua. Sejak pemerintahan orde baru hingga kini, paradigma, pendekatan dan praktik pembangunan yang diselenggarakan pemerintah belum berubah, yakni menempatkan Orang Asli Papua sebagai objek pembangunan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Para elite politik dan pemimpin negara menggunakan kekuasaan dan posisinya sebagai alat legitimasi untuk menguasai dan merampas hak-hak Orang Asli Papua atas tanah dan kekayaan alam. Kekayaan tersebut diberikan kepada sekelompok penguasa ekonomi lokal, nasional dan transnasional, yang semakin kaya dan melimpah modalnya, melalui usaha komersial pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, perikanan, perkebunan skala besar dan pertambangan, dan sebagainya. Sebaliknya, posisi dan usaha Orang Asli Papua dipinggirkan dan terhisap dalam sistem pasar dan usaha komersial yang tidak adil, usaha Orang Asli Papua dikalahkan, diabaikan dan dibiarkan tanpa perlindungan oleh otoritas negara. Sumber daya alam dikuras, hutan rusak dan hilang. Kebijakan dan status Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 untuk pemerintahan Papua yang dipandang sebagai kebangkitan untuk mewujudkan keadilan, menyelesaikan pelanggaran HAM dan memulihkan korban pelanggaran HAM, menghadirkan pembangunan berkelanjutan, mengentaskan kesenjangan pembangunan antar daerah dan kelompok masyarakat, belum juga menjadi kenyataan. Pemerintah nasional tidak konsisten menghormati dan melaksanakan UU Otonomi Khusus Papua. Pemerintahan baru dibawah Presiden Joko Widodo juga belum menunjukkan perubahan paradigma pembangunan, masih sentralistik dan mengutamakan kepentingan para pemilik modal yang memonopoli sektor-sektor ekonomi dan politik.
Pemerintahan Jokowi belum menunjukkan kesungguhan untuk menghormati hak-hak dan status kekhususan Orang Asli Papua.Pemajuan pembangunan infrastruktur (jalan dan pelabuhan), sesungguhnya tidak dapat menafkahi Orang Asli Papua. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim global sedang terjadi dan semakin di pastikan akan memperparah kondisi Orang Asli Papua yang secara struktural sudah termarjinalisasi, seperti kelompok petani dan nelayan kecil dan tradisional, masyarakat adat dan masyarakat lokal serta perempuan dan anak-anak oleh karena darurat ekologis dimana situasi kegentingan yang diakibatkan hilangnya keseimbangan ekologis atau ekosistem setempat maupun global yang berdampak pada hilanganya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini lebih lanjut mengancam kedaulatan warga atas kebutuhan dasarnya, seperti pangan, air dan energi. Kami, Orang Asli Papua berkeinginan mandiri dan berdaulat diatas tanah sendiri untuk mengelola dan memanfaatkan hasil tanah dan kekayaan alam berdasarkan sistem, cara pandang dan pengetahuan kearifan lokal sendiri.
Idealnya, potensi dan kekayaan alam tersebut dapat menjadi salah satu sumber kesejahteraan dan kemakmuran Orang Asli Papua dan menjaga keseimbangan ekosistem dengan UU Otonomi Khusus sebagai langkah mitigasi agar mampu menghadapi, mengatisipasi perubahan iklim global. Kami koalisi organisasi masyarakat sipil memandang Deklarasi Penyelamatan Sumber Daya Alam (PSDA) di Tanah Papua, yang dinyatakan dan ditandatangani lebih dari separuh (20 orang) Bupati/Walikota di Provinsi Papua, PJS Gubernur, Kapolda dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Gedung Sasana Krida, pada 01 Maret 2018, bahwa: “Kami menghormati filosofi Papua bahwa bumi adalah ibu yang memberikan kehidupan bagi orang Papua dan kami menyatakan tekad untuk: (1) Melindungi bumi, air dan sumber daya alam (SDA) yang ada di Tanah Papua dan mendukung untuk dikelola bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Papua. (2) Mewujudkan tata kelola sumber daya alam (SDA) yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. (3) Menegakkan hukum di sector SDA sesuai dengan kewenangan masing-masing” … seharusnya hal ini diikuti perubahan sikap, kebijakan dan program yang sungguh-sungguh mengedepankan penghormatan dan perlindungan hak-hak dasar Orang Asli Papua. (4). Ikut memelihara keseimbangan alam sebagai langkah mitigasi menghadapi perubahan iklim global. Gubernur Papua juga telah mengeluarkan Surat Rekomendasi Nomor 6601/1017/SET, tertanggal 29 Januari 2018. Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal, SE, MM, atas nama Gubernur, yang menandatangani Surat Rekomendasi, menghimbau kepada seluruh Bupati/Walikota se Provinsi Papua untuk menghentikan Penebangan Hutan, dengan memperhatikan Undang-undang RI dan Peraturan Daerah Khusus yang berlaku di Provinsi Papua. Momentum Deklarasi PSDA dan Surat Rekomendasi Gubernur, harus diikuti dan diperkuat dengan tindakan nyata yang sejalan dengan konstitusi, peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang ada di Provinsi Papua. Karenanya, kami mendesak yakni:
- Pemerintah Provinsi dan Kabupaten melakukan koordinasi dan segera membentuk “Tim Operasi Khusus” melibatkan SKPD terkait, aparat penyidik dan penegak hukum, untuk melakukan audit evaluasi terhadap berbagai kebijakan dan perijinan usaha-usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, usaha perkebunan dan usaha pertambangan, serta memberikan sangsi pencabutan ijin dan menghentikan aktivitas perusahaan dan badan usaha yang terbukti melakukan kejahatan lingkungan, melanggar hukum dan merugikan Orang Asli Papua;.Pemerintah dan perusahaan harus bertanggung jawab memberikan ganti rugi dan pemulihan atas korban masyarakat adat setempat dan melakukan rehabilitasi lingkungan yang rusak
- Pemerintah Provinsi dan Kabupaten, maupun badan yang mempunyai otoritas pemberian izin usaha pemanfaatan sumber daya alam, agar tidak lagi menerbitkan izin baru kepada perusahaan-perusahaan untuk beroperasi memanfaatkan tanah dan kekayaan alam diseluruh tanah Papua. Sebaliknya, pemerintah mengutamakan dan memfasilitasi usaha-usaha pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan oleh kelompok usaha Orang Asli Papua dan badan usaha skala kecil yang berkomitmen untuk menghormati hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan;
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menerbitkan kebijakan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) agar masyarakat adat Papua dapat memiliki perlindungan dan keyakinan hukum untuk pengelolaan hasil hutan adat secara adil dan lestari. Kebijakan ini serta merta dapat mengakhiri praktik illegal logging yang merugikan masyarakat dan negara, serta dapat meningkatkan kesejahteraan usaha pemanfaatan hasil hutan oleh Orang Asli Papua;
- Pemerintah daerah segera melaksanakan program-program pemulihan dan pemberdayaan hak-hak Orang Asli Papua, kelembagaan adat dan hukum adat, memfasilitasi program pemetaan tanah dan hutan adat, melegalisasi tanah dan hutan adat, serta program pemberian akses dan usaha permodalan, pengembangan inovasi teknologi usaha ramah lingkungan, serta pasar yang adil, hal ini sebagai perwujudan penghormatan dan perlindungan hak-hak dasar Orang Asli Papua.
- Sebagai respon “Melawan Lupa” terhadap dinamika ketidkaadilan yang berlangsung sejak zaman orde baru hinggga otonomi khusus maka sangat dibutuhkan dukungan seluruh masyarakat dan elemen organisasi keagamaan, organisasi pemuda di seluruh Tanah Papua agar secara bijak menggunakan hak pilih (hak politik) untuk memilih pemimpin kepada daerah Provinsi Papua dalam Pesta Demokrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2018 yang beritikad baik dan menjaga keutuhan ciptaan melalui penyelamatan manusia dan sumber daya alam Papua dengan pendekatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lebih efektif dan efisien serta berkelanjutan dengan amanat UU Otonomi Khusus. (selesai).
Tanah Papua, 09 Maret 2018 Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Papua
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Papua (ED-Walhi Papua)
- Yayasan PUSAKA
- Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (FOKER LSM) Papua
- Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua
- Yayasan Lingkungan Hidup (YALI) PApua
- KIPRA Papua
- Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Papua
- SKP Keuskupan Merauke
Nara Hubung :
- Aiesh Rumbekwan – ED Walhi Papua (081344524394-081248708335)
- Franky Samperante – Yayasan PUSAKA (081317286019)
- Abner Mansai – FOKER LSM PAPUA (0811481566)
- Wirya Supriadi – JERAT Papua (085243394009)