Merespon KTT G20 di India
Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia Tuntut Penghapusan Utang Serta Keadilan Iklim dan Ekonomi
8 September 2023
KTT G20 tahun ini dilaksanakan di India tanggal 9-10 September dengan mengusung tema “Vasudhaiva Kutumbakam” atau Satu Bumi. Satu Keluarga. Satu Masa Depan (One Earth, One Family, One Future).
G20, yang didirikan pada tahun 1999 setelah krisis keuangan Asia, telah memposisikan dirinya sebagai “forum utama” untuk kerja sama ekonomi internasional yang berperan dalam mengatasi permasalahan ekonomi dan keuangan global. Namun, tahun demi tahun, 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini gagal memenuhi komitmen mereka; dan sebaliknya, terus membelanjakan uang negara dan/atau mendukung kebijakan-kebijakan yang lemah, upaya-upaya untuk menutup kesenjangan dalam keringanan utang, perpajakan, dan mitigasi perubahan iklim serta transisi energi yang hanya memperburuk dampak dari berbagai krisis dan tidak melihat kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat yang terpinggirkan.
Aksi di depan Kedutaan India, Gama Tower Jl. HR.Rasuna Said Kav. C 22, Rt.2/RW 5 Karet Kuningan, Setia Budi, Jakarta Selatan
Ketidakadilan Iklim dan Energi
Meskipun negara-negara G20 berkomitmen menghapuskan bahan bakar fosil pada tahun 2009, namun tetap saja sampai saat ini masih menghabiskan dana publik untuk batubara, minyak dan gas dan menggunakannya secara intensif. Dokumen hasil Pertemuan Tingkat Menteri Energi G20 pada bulan Juli lalu mencerminkan lemahnya target pengurangan emisi gas rumah kaca dan antusiasme terhadap bahan bakar fosil.
Indonesia berkomitmen mencapai target Net Zero Emission pada 2060. Penyelarasan dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan tapi justru Perpres ini mengisyaratkan PLTU Batubara dapat diperpanjang sampai tahun 2050 dengan pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran Energi Terbarukan yang bertentangan dengan upaya transisi energi. Pada pertemuan KTT G20 di Bali, pemerintah meluncurkan platform Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan nilai investasi sebesar 314 triliun rupiah. Salah satu tujuannya adalah menghentikan segera mungkin PLTU. Sayangnya, skema ETM dan JETP mengabaikan dampak yang telah ditimbulkan oleh PLTU dan tambang batubara terhadap kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat di sekitar PLTU dan tambang batubara. Skema ETM dan JETP tidak melihat pemulihan lingkungan dan pemulihan hak rakyat sebagai bagian utama dari skema ini. Bagaimana implikasinya terhadap masyarakat di PLTU dan tambang batubara, karena selama ini yang terlihat adalah masyarakat sering kali diabaikan dalam proses-proses pengambilan keputusan yang pada akhirnya berdampak buruk pada mereka.
Hampir keseluruhan inisiasi pendanaan dari ETM dan JETP merupakan utang (hanya 0,8% dana JETP di Indonesia dalam bentuk hibah). Menerima skema pendanaan transisi yang dipenuhi skema utang akan berakhir menjadi beban berlapis pemerintah negara selatan, dimana mereka pertama-tama dipaksa menerima investasi dengan beban besar untuk membangun infrastruktur energi fosil, lalu disajikan skema transisi energi yang penuh utang baru.
Selain itu, pengembangan energi terbarukan masih tetap berorientasi pada skala makro dan hanya melihat pada satu aspek yaitu energi rendah karbon. Akibatnya, pengembangan energi terbarukan justru menimbulkan persoalan baru, terutama pada keberlangsungan ekologi, perlindungan Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan dan pelestarian kearifan lokal. Misalnya pada pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/ Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang justru memperparah pengrusakan lingkungan, penggusuran tempat tinggal dan sumber mata pencaharian masyarakat, serta kekerasan terhadap masyarakat lokal, termasuk kekerasan terhadap perempuan, anak, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya.
Jeratan Utang Negara-negara Miskin dan Berkembang
Utang publik global masih tetap tinggi karena kerentanan utang di negara-negara Selatan, termasuk negara-negara Asia, meningkat di tengah guncangan global yang terjadi. Langkah-langkah bantuan G20 lewat Inisiatif Penangguhan Pembayaran Utang (DSSI), dan Kerangka Umum tentang Perlakukan Utang di luar DSSI terus mengecewakan negara-negara yang terbebani utang dan terancam oleh perubahan iklim. Meski data menunjukkan pada Mei 2020 hingga Desember 2021, inisiatif ini menangguhkan pembayaran utang negara-negara peserta kepada krediturnya sebesar $12,9 miliar, namun dengan berakhirnya waktu DSSI, negara-negara miskin yang tidak sanggup untuk membayar utang akan tetap terjerat, seperti Chad, Namibia dan Ethiopia.
Yang lebih buruk lagi, G20 mendorong lebih banyak solusi yang menciptakan utang terhadap krisis iklim–sebuah langkah yang menipu dengan mengeksploitasi keadaan darurat iklim untuk mendorong lebih banyak pinjaman dan membuat negara-negara Selatan terjebak dalam akumulasi utang dan ketergantungan utang yang lebih besar. Utang memberikan dampak kemiskinan dan ketimpangan antar negara. Pemerintah Indonesia pun saat ini sedang mengincar utang baru di G20 lewat skema Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) yang menyediakan dana cadangannya sebesar US$ 600 Milyar Dolar AS selama 5 tahun.
Pajak Kekayaan dan Distribusi Pajak yang Tidak Adil
Reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil menjadi salah satu fokus agenda lanjutan G20 yang dikedepankan. Reformasi sistem perpajakan internasional tersebut dilakukan melalui pengalokasian hak pemajakan ke negara yang menjadi pasar produk barang dan jasa digital (negara pasar) yang dikenal sebagai Pilar 1. Serta memastikan bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat perusahaan tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.
'Solusi' dua pilar yang dihadirkan oleh G20/OECD, sebuah lingkaran eksklusif yang didominasi oleh agenda negara-negara Utara (Global North), menjadi penghalang bagi tuntutan negara-negara berkembang terhadap sistem yang adil dalam mengalokasikan hak perpajakan dan mengenakan pajak keuntungan perusahaan multinasional.
Seruan terhadap Pajak Kekayaan (Wealth Tax) untuk mengatasi semua kesenjangan dalam sistem perpajakan kita harus diperkuat, seiring dengan tuntutan pemerintah untuk menggunakan pendapatan perpajakan untuk mendanai transisi yang adil dan untuk menjamin hak-hak masyarakat atas layanan publik yang adil gender, bukan untuk subsidi industri bahan bakar fosil. Kami menolak kecam sistem ekonomi yang tidak adil yang memungkinkan para miliarder meningkatkan kekayaan mereka sementara akses masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan layanan publik lainnya terbatas.
Kami organisasi masyarakat sipil Indonesia menyerukan:
- Mendorong demokrasi energi yang mengutamakan energi untuk masyarakat ketimbang untuk industri, dan memberikan masyarakat termasuk perempuan kekuasaan untuk memutuskan mengenai sumber-sumber energi yang ingin mereka gunakan.
- Mendesak tanggung jawab historis dan pemenuhan komitmen pembiayaan iklim dari negara-negara industri maju, termasuk G20.
- Tidak ada lagi kesepakatan-kesepakatan G20 yang melahirkan kebijakan, skema dan proyek-proyek solusi palsu.
- Pendanaan publik untuk keadilan gender, iklim dan ekonomi.
- G20 berhenti menawarkan solusi utang, batalkan utang untuk negara-negara miskin.
- Buat pajak bekerja untuk perempuan, keadilan iklim dan mengakhiri ketimpangan!
Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia:
Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Perempuan Indonesia, Debt Watch dan Solidaritas Perempuan.