Persatuan Islam (Persis), sebuah organisasi massa Islam yang didirikan pada 12 September 1923, akan melangsungkan perhelatan mukmatar pada 23-25 September 2022. Persis dinilai sebagai organisasi Islam yang bercorak modernis. Salah satu ciri pemikiran kaum modernis adalah penekanannya yang sangat kuat untuk melakukan ijtihad, khususnya dalam permasalahan yang bersifat muamalah dan penolakannya yang sangat kuat terhadap sikap jumud serta taklid dalam beragama. Senada dengan itu, salah satu kepentingan kaum modernis adalah berusaha menghadirkan Islam dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Berpijak pada paradigma modernis tersebut, Persis ditantang untuk melahirkan sejumlah produk ijtihad baru guna menjawab beragam persoalan serius yang kini dihadapi oleh masyarakat luas, baik di Indonesia maupun dunia internasional.
Tantangan Krisis Iklim
Krisis iklim adalah persoalan genting yang telah dan sedang dihadapi oleh beragam lapisan masyarakat. Krisis iklim ditandai oleh sejumlah hal, di antaranya pemanasan global, deforestasi, banjir bandang, longsor, abrasi, tenggelamnya desa-desa pesisir, krisis pangan, krisis air, krisis udara bersih, serta tercemarnya sungai dan laut. Semua ini menggambarkan bahwa planet bumi telah keluar dari keseimbangannya.
Krisis iklim akan sangat berdampak pada generasi muda pada masa yang akan datang. Save the Children (2021) memperkirakan anak-anak Indonesia yang lahir pada 2020 berisiko menghadapi tiga kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, dua kali lebih banyak mengalami kekeringan, dan tiga kali lebih banyak gagal panen. Krisis iklim akan membuat jutaan anak-anak jatuh dalam kemiskinan jangka panjang.
Sementara itu, Unicef memperkirakan sekitar 25 juta anak akan mengalami kekurangan gizi akibat krisis iklim dan 100 juta anak lainnya akan menderita kekurangan pangan. Dalam pada itu, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), mencatat anak-anak yang lahir pada 2016 akan berusia 34 tahun pada tahun 2050. Pada tahun tersebut, akan terjadi peningkatan suhu bumi, kenaikan air laut, dan peningkatan cuaca yang ekstrim.
Melihat beragam prediksi tersebut, sudah seharusnya Persis memproduksi satu diskursus penting untuk menyelamatkan generasi muda dari dampak buruk krisis iklim.
Urgensi Narasi Keadilan Antargenerasi
Keadilan antargenerasi adalah diskursus yang usianya belum panjang. Perbincangan mengenai hal ini dapat dilacak dalam sejumlah dokumen internasional seperti Deklarasi Rio de Janeiro 1992. Salah satu maknanya adalah generasi saat ini tidak boleh mewariskan sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbarui untuk generasi selanjutnya.
Di dalam kajian keislaman, keadilan antargenerasi dapat ditemukan dalam istilah “al-‘adalatu bayna al-ajyal”. Meski demikian, narasi ini belum mendapatkan ruang pembahasan yang memadai. Pada titik inilah, Persis memiliki ruang yang sangat besar untuk memproduksi narasi keadilan antargenerasi dengan tiga pertimbangan berikut:
Pertama, Islam sangat mendorong keadilan antar generasi. Pesan Alqur’an kepada kita untuk khawatir jika meninggalkan keturunan yang lemah (Q.S. al-Nisa [4]: 9) adalah isyarat penting mengenai keadilan antargenerasi. Kata “lemah” dapat dimaknai sebagai suatu kondisi di mana daya dukung dan daya tamping planet bumi sudah hilang sehingga menyebabkan lahirnya generasi yang lemah kualitasnya akibat ketiadaan sumber daya alam yang memadai untuk menopang kehidupan mereka.
Lebih jauh, Alqur’an menyebut kata “anak” dengan berbagai konteksnya sebanyak 71 kali, dan menyebut kata “keturunan” sebanyak 33 kali. Penyebutan kata ‘anak’ dan ‘keturunan’ yang jumlahnya lebih dari 100 kali, menunjukkan betapa Islam sangat serius memerintahkan kita berpikir dan bertindak untuk mewujudkan keadilan antargenerasi.
Kedua, Nabi Muhammad saw., dalam haditsnya menegaskan untuk menanam pohon meskipun kiamat akan datang esok hari. “Jika kiamat akan datang esok,” kata Nabi, “sedangkan di tanganmu ada benih, maka tanamlah benih itu sebelum kiamat terjadi.” Pesan menanam dalam hadits ini sangat relevan dengan konsep keadilan antar generasi, di mana keadilan dan keberlanjutan planet bumi merupakan kunci penting di dalamnya.
Ketiga, Selain Alqur’an dan Hadits, akar-akar gagasan keadilan antargenerasi dapat ditemukan dalam konsep maqashid al-syari’ah. Konsep ini menyebut bahwa syariah diturunkan untuk menjaga lima hal primer (dharuriyatul khamsah) dalam kehidupan manusia, yaitu kehidupan (nafs), agama (din), harta kekayaan (mal), pemikiran (aql), dan keturunan (nasl).
Kini, perlindungan lingkungan (hifzhul bi’ah) telah dimasukkan sebagai salah satu poin penting dalam maqashid al-syari’ah. Dengan demikian, maqashid al-syari’ah mengalami pengembangan dari lima hal yang primer (dharuriyatul khamsah) menjadi enam hal yang primer (dharuriyatus sittah).
Maqashid al-syari’ah adalah konsep yang berorientasi pada perlindungan kehidupan generasi yang akan datang, apalagi di dalamnya terdapat dua konsep perlindungan yaitu melindungi keturunan (hifzhul nasl) dan melindungi lingkungan hidup (hifzhul bi’ah).
Muktamar Persis XVI penting dijadikan momentum untuk merumuskan narasi keadilan antargenerasi. Harapannya, semoga dapat dijadikan arah gerakan Persis pada masa yang akan datang. (*)
Tulisan ini telah dimuat di rubrik opini harian Pikiran Rakyat, Jumat, 16 September 2022.
Parid Ridwanuddin
Alumnus Pesantren Persis 76 Tarogong Garut, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI