Siaran Pers Bersama
Hari Nelayan Nasional 2024
Pokja Pesisir Kalimantan Timur
WALHI Jawa Tengah
WALHI Bangka Belitung
WALHI Nasional
Jakarta, 06 April 2024 -- Pada peringatan hari nelayan 2024, WALHI Nasional, bersama dengan WALHI Jawa Tengah, WALHI Bangka Belitung, dan Pokja Pesisir Kalimantan Timur menyampaikan pesan kepada pemimpin politik pasca pemilu 2024, baik yang berada di eksekutif maupun di legislatif.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir, Mapaselle mengatakan bahwa sebelum ada pembangunan IKN, nelayan di Teluk Balikpapan harus berhadapan ancaman perampasan ruang laut, yaitu tidak diakuinya wilayah pemukiman mereka di dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021-2041.
“Di dalam Perda RZWP3K tersebut, pemukiman nelayan hanya dialokasi seluas 31,80 hektar. Ini adalah peminggiran terencana bagi lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari pergi melaut di Teluk Balikpapan. Belum lagi nelayan di wilayah lain di Kalimantan Timur,” tegasnya.
Dia menceritakan bagaimana ia bisa sampai dan menetap sebagai nelayan yang setiap hari pergi melaut ke Teluk Balikpapan. Sejak tahun 1990, ia yang berasal dari Sulawesi Selatan mengetahui bahwa Teluk Balikpapan merupakan perairan yang menjadi sumber ikan yang melimpah. Lalu pada tahun 1992 ia sampai ke Teluk Balikpapan. Sejak saat itu ia biasanya berangkat pukul 5 pagi sampai jam 9 pagi. Lalu pulang dengan membawa banyak ikan ke TPI dengan hasil yang luar biasa.
“Itulah gambaran bagaimana Teluk Balikpapan pada masa lalu. Ia pergi setiap hari serta dapat menikmati ikan yang sangat melimpah. Sejak masa kecil, Teluk Balikpapan adalah rumah bagi bagi nelayan yang mau mencari ikan,” urai Mapaselle.
Namun, kata Mapaselle, mulai tahun 2000 ekosistem Teluk Balikpapan mulai mengalami kerusakan karena masuknya industri ke Teluk Balikpapan. Banyak wilayah hutan hancur dan wilayah mangrove hancur. Dampaknya, terjadi kekeruhan yang luar biasa dan hancurnya terumbu karang. Ekosistem di Teluk Balikpapan,-khususnya mangrove-, semakin rusak sampai hari ini, apalagi dengan adanya Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Beragam kerusakan ini berdampak terhadap kehidupan nelayan.
Rusaknya Teluk Balikpapan akibat Pembangunan IKN, membuat ia dan ribuan nelayan di Teluk Balikpapan semakin cemas karena sumber hidupnya akan tergusur secara pelan-pelan. “Bukan alat berat atau eksavator yang membuat kami hengkang, melainkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Jika pesisir dan laut rusak, maka tamatlah hidup kami,” tegas Mapaselle.
Ia bersama ribuan nelayan lainnya yang menggantungkan hidupnya kepada sumber perikanan di Teluk Balikpapan mendesak Pemerintah Pusat tidak melanjutkan Pembangunan IKN yang menghancurkan ekosistem Teluk Balikpapan yang merupakan wilayah tangkap mereka.
“Kami menginginkan pesisir di Teluk Balikpapan tetap hijau dan lautnya tetap biru. Jika itu bisa dijamin oleh Pemerintah, maka kehidupan dan mata pencaharian nelayan akan terjamin pula. Jika tidak, maka kami akan punah,” ungkap Mapaselle.
Lebih jauh, ketiadaan isu perlindungan nelayan dalam perdebatan publik oleh calon presiden dan wakil presiden dalam perhelatan pemilu 2024 kemarin, sangat ia sesalkan. Menurutnya, tak adanya isu perlindungan nelayan itu merupakan kekalahan nelayan dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
Ancaman Nelayan di Jawa Tengah
Sementara itu di Jawa Tengah, nelayan tradisional dan atau skala kecil menghadapi ancaman serupa sebagaimana yang terjadi di Balikpapan. Menurut Direktur WALHI Jawa Tengah, Fahmi Bastian, ruang tangkap nelayan di Jawa Tengah semakin mengalami penyempitan karena wilayah pesisir dan laut ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ia mencontohkan wilayah pesisir di Semarang telah ditetapkan sebagai kawasan industri yang berdampak terhadap hilangnya wilayah tangkap nelayan. Di Batang, akan dibangun kawasan industri terpadu beserta pelabuhan, padahal selama ini masyarakat sudah berkonflik dengan PLTU. Begitu pun di kawasan Selatan Jawa Tengah, seperti Cilacap yang akan dikembangkan sebagai kawasan industri. Semuanya akan semakin menghilangkan wilayah tangkap nelayan.
Selain itu, di Jawa Tengah, nelayan juga terancam oleh degradasi lingkungan sejak lama. Contohnya banjir kemarin di sepanjang Pantai Utara, seperti Demak dan Pekalongan, menyebabkan tenggelamnya desa-desa pesisir yang menjadi tempat tinggal nelayan. “Bahkan di Pekalongan kita sudah sulit menemukan nelayan yang masih beraktivitas di pesisir dan laut,” kata Fahmi.
Dalam catatan WALHI Jawa Tengah, setelah pelaksanaan pemilu 2024, kondisi nelayan takkan berubah akan nasibnya akan semakin buruk karena Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan melanjutkan proyek-proyek yang selama ini meminggirkan nelayan, di antaranya adalah Pembangunan Giant Sea Wall. “Proyek Giant Sea Wall ini akan menghancurkan wilayah tangkap nelayan serta menghilangkan profesi mereka,” imbuh Fahmi.
Terdapat ancaman lain yang kini mengancam nelayan, yaitu pengerukan pasir laut yang telah ditetapkan oleh KKP di perairan Demak seluas 574.384.627,45 m2 dengan volume sebanyak 1.723.153.882,35 m3. “Ini jumlah yang sangat besar sekali. Penambangan pasir ini akan semakin menghancurkan kehidupan nelayan,” tegas Fahmi.
Menurut Fahmi, akumulasi dari berbagai kehancuran ini akan telah menyebabkan pengurangan jumlah nelayan di Jawa Tengah lebih dari 10 ribu orang dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2018, jumlah yang tercatat sebanyak 266 ribu jiwa menjadi 254 ribu jiwa pada tahun 2022.
Atas situasi itu, Fahmi menggarisbawahi persoalan perencanaan pembangunan di wilayah pesisir dan laut Jawa Tengah yang selama ini tidak pernah melibatkan nelayan. “Ke depan, kami mendesak pemerintah untuk serius melibatkan nelayan di dalam setiap rencana pembangunan mulai dari hulu sampai hilir. Termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Pembangunan Jangka Panjang, khususnya saat bicara kedaulatan pangan di wilayah laut memastikan keterlibatan nelayan,” katanya.
Ancaman Nelayan di Kepulauan Bangka Belitung
Secara geografis, Babel terdiri dari 1,6 juta hektar daratan dan 6,5 juta hektar lautan. Ada 309 desa pesisir yang merupakan tempat tinggal nelayan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sejak lama terancam oleh pertambangan timah.
Baru-baru ini, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dihebohkan oleh kasus korupsi IUP tambang timah sebesar 271 triliun. Menurut Direktur WALHI Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, angka 271 triliun itu merupakan kalkulasi yang belum tuntas. Perhitungannya baru di wilayah daratan saja belum masuk ke hitungan di wilayah pesisir dan laut. Belum lagi hitungannya dibatasi sejak tahun 2015 sampai dengan 2022. Jika dihitung dalam rentang waktu yang panjang, angkanya akan lebih besar lagi.
Dalam catatan WALHI Bangka Belitung, limbah pertambangan timah berupa logam berat mengalir sejauh 6-7 mil di laut. Dengan demikian, daya rusak sangat berbahaya bagi ekosistem laut juga bagi kehidupan nelayan. Dalam jangka panjang, logam berat ini akan mengancam kehidupan keanekaragaman hayati laut karena terakumulasi di dalam tubuh biota laut seperti kerang-kerangan, dan sangat berbahaya ketika dikonsumsi oleh manusia.
Selain itu, pertambangan timah juga menghancurkan terumbu karang. Berdasarkan Analisa citra satelit WALHI Bangka Belitung, luasan terumbu karang di Babel pada tahun 2015 mencapai 82.259 hektare. Tapi di tahun 2017, ekosistem terumbu karang tinggal 12.474 hektare. Itu artinya, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 hektare dalam dua tahun terakhir dan yang mati sekitar 5.270 hektare.
Walhi Bangka Belitung memprediksi dalam lima hingga 10 tahun mendatang, provinsi kepulauan ini berpotensi mengalami krisis ekologi yang semakin berat, khususnya di wilayah laut. Oleh karena itu, daya tampung dan daya dukung lingkungannya sudah tidak bisa lagi dibebani oleh izin-izin industri ekstraktif skala besar seperti tambang timah, dan tambang pasir kuarsa.
Dengan begitu, Walhi Bangka Belitung mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru baik di darat maupun laut. Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal.
Pengamatan WALHI Bangka Belitung sejauh ini menjelaskan banyak wilayah adat yang hilang, khsusnya di wilayah pesisir dan laut akibat pola penentuan ruang yang bernuansa industri dan meminggirkan perspektif masyarakat lokal dalam mengelola alam mereka.
Ahmad Subhan Hafiz mengkhawatirkan nasib nelayan Pasca pemilu 2024. Pasalnya, elit-elit politik di Bangka Belitung sedang melakukan konsolidasi untuk mengubah RZWP3K Provinsi Bangka Belitung menjadi integrasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Menurutnya, di dalam rencana integrasi RTRW darat dan laut, akan dimasukkan alokasi ruang untuk kepentingan pertambangan timah di hampir seluruh wilayah laut bangka Belitung.
“Kami mendesak penghentian pembahasan integrasi RTRW darat dan laut sebelum hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir, termasuk wilayah tangkapnya diakui dan dilindungi,” imbuh Hafiz.
Satu Dekade Gagal Lindungi Nelayan
Di tempat yang berbeda, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional menjelaskan bahwa fakta-fakta yang terjadi di Kalimantan Timur, khususnya di Teluk Balikpapan; di Provinsi Jawa Tengah; dan di Kepulauan Bangka Belitung menggambarkan kegagalan negara melindungi dan mengakui nelayan, sebagai pahlawan protein bangsa.
Ia mengingatkan publik luas bahwa keberadaan jutaan nelayan adalah pilar tegaknya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. “Jika Pemerintah gagal melindungi mereka dalam sepuluh tahuh ini, maka negara ini sedang menuju keruntuhan,” tegasnya.
Menurut Parid, meskipun Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan kampanye poros maritim dunia, di mana salah satu isinya adalah menjadikan nelayan sebagai aktir utama dalam pengelolaan pangan laut, tetapi faktanya nelayan di Indonesia terus mengalami peminggiran akibat kebijakan pembangunan yang dia tetapkan sendiri.
Setelah perhelatan Pemilu 2024, nasib nelayan akan semakin memburuk jika pemerintah tidak segera mengevaluasi dan menghentikan berbagai kebijakan yang meminggirkan mereka. “Oleh sebab itu, Kami mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi dan menghentikan berbagai kebijakan yang mendorong penurunan jumlah nelayan (defisherisation) di Indonesia dari tahuh ke tahun,” tegasnya.
Setelah Pemilu 2024, kata Parid, Pemerintah Indonesia harus segera melihat kembali mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. UU ini mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Skema perlindungan yang dimandatkan oleh UU ini adalah menyediakan prasarana Usaha Perikanan dan kemudahan, memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan risiko penangkapan ikan dalam bentuk asuransi nelayan, menghapus praktik ekonomi biaya tinggi, mengendalikan impor komoditas perikanan, serta jaminan keamanan dan keselamatan nelayan. Seluruh isi UU ini wajib dijalankan oleh Pemerintah Pusat dan juga setiap Pemerintah Daerah di Indonesia.
“Nelayan adalah pahlawan protein bangsa. Keberadaan mereka juga menjadi penanda eksistensi negeri ini. Hilangnya mereka menjadi penanda runtuhnya Indonesia sebagai negara nelayan kepulauan terbesar di dunia,” pungkas Parid. (*)
Informasi lebih lanjut
Mapaselle, Ketua Pokja Pesisir Kalimantan Timur, 0821-9000-9297
Fahmi Bastian, Direktur WALHI Jawa Tengah, 0857-3737-1848
Ahmad Subhan Hafiz, Direktur WALHI Bangka Belitung 0812-7210-8853
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional, 0812-3745-4623