Ocean Grabbing dalam Penangkapan Ikan Terukur
Parid Ridwanuddin
(Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi)
Pada 6 Maret 2023, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan terukur. Peraturan Pemerintah (PP) ini merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diputus Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 91 Tahun 2021.
Penangkapan Ikan terukur (PIT) merupakan kebijakan yang diproduksi oleh Pemerintah demi mempercepat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kelautan dan perikanan yang selama ini dianggap terlalu kecil kontribusinya. Namun, yang paling berbahaya dari kebijakan ini adalah mendorong liberalisasi sumber daya perikanan sekaligus memaksa nelayan-nelayan skala kecil di Indonesia untuk berkompetisi dengan industri perikanan skala besar di lautan Indonesia.
Masyarakat Indonesia patut mempertanyakan urgensi PP PIT karena sejumlah hal berikut: pertama, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengeloaan Perikanan Negara Republik Indonesia, status sumber daya ikan Indonesia berada pada kondisi fully exploited dan over exploited.
Dengan status sumber daya ikan tersebut, Pemerintah Indonesia seharusnya mendorong kebijakan perikanan yang berorientasi pada pemulihan sumber daya perikanan, alih-alih mendorong kebijakan PIT yang memberikan karpet merah untuk industri besar yang akan mengeksploitasi sumber daya perikanan tanpa batas.
Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia tidak memiliki stock assessment per jenis ikan secara lebih detail. Pemerintah hanya memiliki stock assessment per kelompok ikan yang dipublikasikan setiap lima tahun sekali. Pertanyaannya, bagaimana mengontrol dan mengetahui jumlah stok perikanan pasca penangkapan dengan sistem kuota setiap tahun? Apakah stok lestarinya masih tetap berada dalam status aman atau stoknya sudah mengalami fully exploited dan over exploited. Dengan demikian, kebijakan PIT seharusnya dihentikan mengingat pemerintah Indonesia tidak memiliki stock assessment ikan per jenis sampai saat ini.
Kedua, jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan secara signifikan. Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut Tahun 2021, jumlah nelayan tangkap di Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2010, jumlah nelayan tangkap tercatat sebanyak 2.16 juta orang. Pada tahun 2019, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Artinya, jumlah nelayan telah hilang kurang lebih 460 ribu orang sepanjang 2010-2019.
Penurunan jumlah nelayan tangkap di Indonesia sangat terkait dengan sejumlah hal, di antaranya penangkapan ikan yang sangat masif yang dilakukan oleh industri skala besar yang mendorong penurunan jumlah tangkapan ikan di laut. Selain itu, penurunan jumlah nelayan didorong oleh dampak krisis iklim yang terus memburuk serta semakin maraknya kerusakan ekosistem pesisir dan laut akibat kebijakan pembangunan yang eksploitatif.
Kebijakan PIT menambah masalah baru dengan mengaburkan definisi nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional yang selama ini dimandatkan oleh sejumlah undang-undang. Pada titik ini, kebijakan PIT justru akan terus mendorong penurunan jumlah nelayan tangkap di Indonesia, karena wilayah penangkapan ikan di perairan Indonesia lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan Industri besar, baik dalam negeri maupun asing.
Ketiga, sejalan dengan hal tersebut, pemerintah sebenarnya telah diberikan mandat untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan, sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Undang-undang tersebut mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan nelayan, di antaranya menyediakan prasarana usaha perikanan dan kemudahan mendapatkan prasarana usaha perikanan, memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan risiko penangkapan ikan dalam bentuk asuransi nelayan, menghapus praktik ekonomi biaya tinggi, mengendalikan impor komoditas perikanan, serta jaminan keamanan dan keselamatan.
Selain itu, UU tersebut mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema pemberdayaan dalam sejumlah bentuk, di antaranya pendidikan dan pelatihan; penyuluhan dan pendampingan; kemitraan usaha; kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; serta penguatan kelembagaan nelayan.
Namun, setelah tujuh tahun UU Nomor 7 Tahun 2016 disahkan, pemerintah belum juga menjalankan mandat utama dalam UU tersebut. Pemerintah malah mengambil langkah lain yang berbahaya, yaitu menerbitkan PP Penangkapan Ikan terukur.
Ocean Grabbing
Kebijakan PIT juga mendorong ocean grabbing atau perampasan ruang laut. The Transnational Institute, -sebuah lembaga riset yang berkantor di Amsterdam, Belanda-, menyebut ocean grabbing sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut serta keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya, sekaligus mata pencahariannya bergantung pada perikanan skala kecil.
The Transnational Institute menyebut, aktor utama yang melakukan ocean grabbing adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi. Beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut.
Pada titik ini, pemerintah dapat disebut sebagai aktor atau perantara utama yang mengalokasikan bagaimana, untuk tujuan apa, dan oleh siapa, wilayah laut maupun lahan dapat digunakan. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.
Sementara itu, menurut Nathan James Bennet – Seorang ahli dari Universitas British Columbia, ocean grabbing adalah istilah yang relatif baru. Sebelumnya, istilah yang banyak digunakan adalah land grabbing yang merujuk pada pembelian, pengambilalihan, serta perampasan tanah masyarakat yang dilakukan oleh berbagai aktor, di antaranya negara dan korporasi.
Menurut Bennet, ocean grabbing mengacu pada perampasan penggunaan, kontrol atau akses terhadap ruang laut atau sumber daya perikanan dari pengguna sumber daya sebelumnya, pemegang hak atau penduduk lokal yang telah lama tinggal di suatu tempat. Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis. Ocean grabbing dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga publik, lembaga privat, atau entitas bisnis.
Dari definisi di atas, terdapat tiga komponen utama ocean grabbing, yaitu: pertama, perampasan kontrol dan akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut yang menjadi hak masyarakat; kedua, dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat; dan ketiga dilakukan oleh lembaga publik, lembaga pribadi, atau entitas bisnis.
Bennet mengajukan dua contoh ocean grabbing, di antaranya kebijakan perikanan atau perjanjian akses perikanan yang mengalokasikan kembali sumber daya perikanan ke armada asing sehingga mengurangi tangkapan nelayan lokal. Contoh lain adalah kebijakan perikanan yang mengalokasikan kembali kuota perikanan, pengurangan zona penangkapan ikan skala kecil, atau konsesi yang diberikan oleh pemerintah untuk memusatkan hak pengelolaan atau pemanenan untuk kepentingan komersial sehingga nelayan lokal terpinggirkan.
Melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, Pemerintah Indonesia telah memberikan karpet merah bagi industri skala besar dengan cara menetapkan 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) untuk investor dalam negeri, terlebih memanjakan investor asing. Dari 11 WPP, sembilan wilayah pengelolaan perikanan telah dialokasikan untuk penanaman modal asing. Sisanya dialokasikan bagi investor dalam negeri.
Dalam situasi ini, nelayan kecil dan atau nelayan tradisional harus kehilangan wilayah tangkapnya karena telah ditetapkan sebagai wilayah tangkap yang masuk ke dalam penangkapan ikan terukur. Sekali lagi, mereka harus berkompetisi dengan kapal-kapal besar, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka harus kehilangan sumber daya perikanan yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarganya. Inilah bentuk ocean grabbing yang akan terjadi di tengah laut.
Jika kebijakan PIT tidak dihentikan, pada masa yang akan datang, nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil kita hanya akan menjadi penonton di lautnya sendiri. (*)
Tulisan dimuat di rubrik opini harian Ambon Ekspres, Rabu (05/04/2023).