Siaran Pers Bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta Jakarta, 30 Agustus 2017. Sangat tampak nyata Pemerintah Provinsi Jakarta berniat untuk kembali memuluskan jalannya reklamasi di Teluk Jakarta. Tindakan pemerintah dari mulai membuat KLHS yang tanpa partisipasi publik dari nelayan, hingga organisasi lingkungan hidup menunjukkan tata kelola pemerintahan yang sangat buruk. Walaupun di sisi lain terkait dengan putusan Kasasi Pulau G yang dicurigai telah diputus oleh hakim yang telah tidak independen lagi. Oleh karena melalui siaran pers ini kami akan menyikapi beberapa hal yang sedang mengemuka. Pertama Terkait dengan Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi diduga telah melanggar etik. Koalisi menilai putusan tersebut janggal karena secara rentang waktu pencabutan kuasa seharusnya tidak berpengaruh terhadap proses kasasi yang dilakukan koalisi. Karena pencabutan kuasa dilakukan setelah penyerahan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung, dan sangat jelas hakim (Dr. Irfan Fachruddin, SH.CN) yang berbeda pendapat (dissenting opinion) menjelaskan kejanggalannya. Kedua, Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jakarta cacat substansi karena dua hal: (1) tidak melalui proses yang benar dan (2) tidak mempertimbangkan masalah sosial dan ekonomi. Proses pembuatan KLHS cacat karena dilakukan secara tertutup tanpa pernah ada konsultasi kepada masyarakat dalam pembuatannya. KLHS secara substansi tidak mempertimbangkan seluruh hasil kajian yang telah ada sebelumnya dari hasil kajian sosial ekonomi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan KKP.
Yang sangat jelas dampak buruk kepada nelayan di Teluk Jakarta. Ketiga, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dalam lahan reklamasi Pulau C dan Pulau D sangat menunjukkan adanya tata kelola pemerintahan yang buruk. Terbitnya HPL kepada pemerintah Jakarta menunjukkan Kementerian ATR/BPN memuluskan proyek reklamasi karena menerbitkan tanpa dasar hukum yang benar hanya berdasarkan Peraturan Gubernur No. 206/2016 tentang Rancang Bangun Lingkungan yang terbit 2 hari sebelum cuti kampanye. Gubernur Jakarta sangat ingin melayani kepentingan pengembang reklamasi. Keempat, polemik terkait dengan izin lingkungan Pulau C dan Pulau D serta Izin Lingkungan Pulau G diduga kembali adanya rekayasa terhadap dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang terdiri dari Kerangka Acuan, Dokumen ANDAL dan Dokumen RKL/RPL. Koalisi menilai Dinas Lingkungan Hidup tidak patuh kepada sanksi administratif. Proses perubahan izin lingkungan yang disyaratkan oleh Menteri Lingkungan Hidup tidak dilakukan dengan benar karena tidak menyeluruh termasuk KLHS dilakukan hanya formalitas belaka. Terakhir, terkait dengan Hak Guna Bangunan yang tersebar di berbagai media, Koalisi menegaskan bahwa tidak tahu menahu apakah benar dokumen tersebut asli atau tidak. Namun sangat disayangkan bahwa HGB tersebut terbit karena peruntukan reklamasi di zona yang menjadi kawasan Zona N1 dan Zona P1 tidak dapat digunakan untuk kawasan komersial. Yang bisa digunakan untuk kawasan tersebut adalah kawasan lindung dan kawasan penyangga yaitu hutang mangrove. Jika pengembang melakukan pembangunan kawasan tersebut menjadi kawasan komersial maka ada ketentuan pidana penataan ruang yang menanti di depan.
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta KNT Muara Angke, DPP KNTI, KIARA, LBH Jakarta, WALHI, Rujak, Solidaritas Perempuan, ICEL Iwan, Muara Angke, +6281286923840, Elisa Sutanudjaja, +6282114282967, Marthin Hadiwinata +6281286030453, Tigor Hutapea, +6281287296684, Puspa Dewy +6285260241597, Ohiyong +628138063492, Ony Mahardika 082244220111