slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot pulsaslot pulsaslot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsaslot gacor maxwinslot danasitus slot gacor
Penegakan Hukum Semu di balik Penyegelan Lokasi Kebakaran | WALHI

Penegakan Hukum Semu di balik Penyegelan Lokasi Kebakaran

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

Jakarta, 18 September 2019 – Asap beracun dari kebakaran hutan dan lahan (termasuk ekosistem gambut) masih memenuhi paru serta mengancam kehidupan warga di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan beberapa provinsi lainnya. Kondisi ini memperlihatkan negara gagal melindungi dan memenuhi hak dasar rakyatnya.  Bahkan di tengah derita yang dialami rakyat korban asap, Presiden Joko Widodo masih sempatnya menegaskan dorongan perbaikan ekosistem investasi. Jokowi seolah tutup mata bahwa praktik buruk, illegal dan perizinan yang tidak semestinya yang berkedok investasilah yang menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan lahan terus langgeng dari penghujung 1990-an sampai dengan sekarang. Kedok negara lalai dan seolah mengaku, bahkan penegakan hukum yang seolah serius disajikan guna memperbaiki citera Pemerintah. Perlu diingat bahwa penegakan hukum pasca kebakaran hutan dan lahan pada 2015 malah dioperasionalkan secara setengah hati dan berstandar ganda.

Berdasarkan informasi yang disebarkan KLHK melalui media diketahui bahwa luas kebakaran hutan dan lahan hingga 15 September 2019 adalah 328.724 hektar, yang terdiri 239.161 hektar di tanah mineral, dan 89.563 hektar di lahan gambut. Selain itu, KLHK juga tercatat telah melakukan penyegelan 48 areal konsesi perusahaan dan 1 penyegelan lahan terbakar milik perorangan, dengan total luas 8.931 hektar. Sedangkan, proses penegakan hukum yang ditangani POLRI sebanyak 185 tersangka perorangan dan untuk 4 tersangka korporasi. Merujuk data ini, khususnya data POLRI bisa dilihat bahwa penegakan hukum masih menyasar orang per orangan dan belum serius menyasar korporasi. Sedangkan untuk KLHK, masih belum diketahui maksud dari penyegelan yang dilakukannya. Belajar dari pengalaman perkara karhutla tahun 2013 s/d 2015 tercatat bahwa penegakan hukum secara kompromis melalui penjatuhan administrasi yang hanya berlangsung dalam kurun waktu singkat dan penghentian penyidikan mewarnai keseriusan penegakan hukum pidana. Belum lagi penegakan hukum di ruang administrasi malah tidak dioperasikan secara maksimal, dimana tidak ada review perizinan secara menyeluruh terhadap perizinan yang berulang kebakaran dan berada di ekositem gambut atau lokasi yang sebenarnya tidak dibenarkan hukum. Bahkan upaya review malah diikuti kebijakan yang memberikan lahan pengganti kepada korporasi. 

Berdasarkan potret penegakan hukum dan kecenderungan Jokowi yang terus menekankan genjotan investasi, WALHI memandang penanganan kebaran hutan dan lahan pada tahun ini tidak akan maksimal seperti tahun-tahun sebelumnya. Melindungi investasi sama saja artinya membuka ruang kompromi penegakan hukum. Apakah yang dimaksud Jokowi seperti itu? Sehingga Kapolri, Menteri LHK, Menteri ATR/BPN, K/L lainnya dan Pemerintah Daerah seolah permisif terhadap praktik buruk pengelolaan lingkungan hidup yang berakibat fatal seperti saat ini? Belum lagi, Presiden dan jajarannya masih ngotot untuk melawan warga korban asap di Kaimantan Tengah. Putusan CLS yang memenangkan warga dan memerintah negara untuk memberikan perlindungan guna menanggulangi asap malah dijawab dengan penggunaan upaya hukum peninjauan kembali.

Riau

Terhadap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2015, WALHI Riau bersama beberapa warga berinisiatf mengajukan Gugatan CLS Asap pada Maret 2016. Dalam prosesnya, persidangan dihentikan, karena Presiden dan Para Tergugat lain bersedia memenuhi apa yang dimintakan penduduk Riau. Sayangnya, tiga tahun lebih perkara mempunyai kekuatan hukum tetap belum ada keseriuan untuk mematuhi apa yang telah disepakati, diantaranya;

  1. Menanggulangi kebakaran hutan dan lahan melalui tindakan tindakan dan penerbitan kebijakan guna menyelesaikan perosalan asap yang terjadi di provinsi Riau;
  2. Mengalokasikann dana penanggulangan bencana dalam APBD dan APBN;
  3. Memperkuat fasilitas pelayanan korban kebakaran hutan dan lahan;
  4. Unit Pelayanan paru di rumah sakit pusat rujukan provinsi dan kabupaten,
  5. Melakukan pengamatan ISPU untuk menentukan tindakan yang akan diambil jika ISPU melebihi 400,
  • Penyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar,
  1. Membuat tempat evakuasi jika ISPU melebihi 400, bekerjasama dengan dinas kesehatan dan menyediakan posko darurat serta rumah rumah oksigen.
  2. Mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di provinsi Riau;
  3. Membebaskan biaya perngobatan bagi warga masyarakat yang terkena dampak kabut asap.

Selain itu, WALHI Riau juga mempersoalkan dominiasi penegakan hukum karhutla kepada warga perorangan bukan korporasi. Bahkan pada 2016, Polda Riau menghentikan penyidikan terhadap 18 korporasi. Tidak berhenti di situ, permohonan WALHI untuk membuka perkara yang menghentikan penyiikan tersebut juga kandas.

Jambi

Terkait dengan proses hukum pihak perusahaan yang mengalami kebakaran diwilayah konsesinya, kepala Kepolisian Daerah [Kapolda] Jambi Irjen Pol Muchlis AS, sampai saat ini baru memeriksa 4 [empat] perusahaan yang konsesinya terbakar di tahun 2019 ini. Dari 4 [empat[ perusahaan yang mengalami kebakaran dilokasinya tersebut adalah, PT. Mega Anugrah Sawit [MAS] yang ada di Kabupaten Muaro Jambi, PT. Alam Bukit Tiga Puluh [ABT] berada di Kabupaten Tebo, PT. REKI yang berada di Kabupaten Batanghari dan PT. Wira Karya Sakti [WKS/Sinar Mas Group] yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi, pada tiap tahunnya selalu berulang dibeberapa wilayah konsesi perusahaan yang sama. Hal tersebut diakibatkan, belum tersentuhnya akar masalah yang menjadi penyebabnya. Penegakan hukum tegas terhadap perusahaan yang terbakar masih belum maksimal.

Berdasarkan dari data penggiat lingkungan yang ada di Provinsi Jambi, pada tahun 2019 ini, setidaknya ada 38 perusahaan yang wilayah konsesinya terbakar. Sejumlah perusahaan tersebut, disinyalir tidak melakukan kepatuhan terhadap Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2016. Dengan melakukan skema pengeringan lahan dan menyebabkan terjadi peristiwa kebakaran hutan dan lahan diwilayah konsesinya.

Sumatera Selatan

Salah satu penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan adalah lemahnya pengawasan upaya restorasi ekosistem gambut, khususnya pada kawasan konsesi. Upaya restorasi ekosistem gambut tidak berjalan pada semua wilayah konsesi, padahal pemulihan gambut harus berdasarkan kawasan / lanskap. selama ini upaya restorasi berbanding lurus dengan temuan hotspot. Kondisi ini bahkan semakin memburuk jika mempertimbangkan peningkatan data hotspot tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya.  Selain itu, WALHI Sumatera Selatan menemukan fakta bahwa kebakaran hutan dan lahan terus terjadi dan terus berulang bahkan di tempat yang sama. Belum lagi diteukan fakta dalam 2 tahun belakangan masih banyak izin-izin baru yang dikeluarkan pemerintah di lahan-lahan gambut.

Menurut Hairul Sobri, Direktur Eksekutif WALHI SUMSEL Menyampaikan Pemerintah tegas saja, gambut ataupun kubah-kubah gambut itu peruntukannya untuk siapa? 698.674 hektar kubah gambut (gambut dalam) yang seharusnya dilindungi namun sebaliknya dibebani izin kepada korporasi rakus ruang. Betahun-tahun kita terpapar asap, Pencabutan izin tidak pernah dilakukan pemerintah. Bahkan perintah pencabutan izin dari seorang presiden pada tahun 2015 di kabupaten OKI diabaikan. Kasus-kasus korporasi yang terbakar dan masuk di ranah hukum banyak penyidikannya dihentikan. Tidak ada upaya pencabutan izin maupun review izin pada kawasan konsesi yang terbakar berulang dari tahun ke tahun.

Melihat paparan asap 1 minggu ini pemerintah harus menanggung semua biaya korban terpapar asap, jangan biarkan 1 rupiahpun uang rakyat keluar untuk berobat dampak dari kebijakan yang memberikan jutaan hektar izin di bumi sriwijaya, serta kelakuan korporasi yang mengeksploitasi dan merusak kawasan-kawasan gambut.

Terkait dengan hal ini, WALHI meminta Presiden Joko Widodo kembali kepada janji politiknya untuk menghentikan karhutla dan memberikan kebijakan permanen pemulihan lingkungan hidup. Potret krisis kemanusiaan akibat kerusakan lingkungan hidup yang disampaikan Jokowi sudah terbukti. Satnya ia sadar dan memimpin perlawanan terhadap asap dan memperrcayakan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam kepada rakyat dengan varian kearifan lokal yang ada di Nusantara.