Direktur Eksekutif WALHI, Zenzi Suhadi (kiri), pada Civil Society Panel Forum of World Bank IMF Spring Meetings 2023 di Washington DC, April 12 2023. Foto: Walhi.
Agus Dwi Hastutik
WALHI/Friends of the Earth Indonesia
Sebagai negara mega-biodiversitas, Indonesia tidak kebal terhadap krisis keanekaragaman hayati yang kini secara global dipandang sebagai krisis eksistensial yang setara dengan perubahan iklim. Tantangan yang akan dihadapi Indonesia ke depan tidak hanya mengenai dampak yang dialami oleh krisis saat ini. Namun, pemulihan ekosistem dan lingkungan yang ditanggung akan menjadi pekerjaan serius jika tidak dilakukan perubahan drastis yang terukur dan segera terhadap penyebab krisis.
Kebijakan pemerintah masih cukup berpihak pada akumulasi modal yang seringkali mengabaikan perlindungan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal (IPLC) dan keanekaragaman hayati. Pemodal multilateral, di sisi lain, belum sepenuhnya mengadopsi kebijakan yang berarti untuk mengatasi masalah global yang saling terkait ini. Dengan 75% daratan dunia berubah secara drastis, perlindungan ekosistem kritis yang sangat penting tidak hanya untuk mempertahankan fungsi ekosistem global, tetapi juga untuk menghentikan perubahan iklim, menjadi lebih penting dari sebelumnya.
Dalam Forum Panel Masyarakat Sipil "Protecting Biodiversity in a Biodiversity Crisis" Pertemuan Musim Semi Bank Dunia IMF 2023 yang berlangsung pada 12 April di Washington DC, AS, Direktur Eksekutif kami Zenzi Suhadi menyampaikan pendiriannya bahwa perusakan lingkungan di Indonesia selama 60 tahun terakhir disebabkan oleh model ekonomi berbasis industri ekstraktif yang telah menimbulkan dampak merugikan bagi masyarakat, lingkungan dan keanekaragaman hayati. Kerugian ini juga tak terpisahkan dengan peran bank dan lembaga keuangan internasional yang masih mendukung pembangunan yang menghancurkan di Indonesia. Mengingat Indonesia terkenal dengan keanekaragaman hayatinya yang kaya namun unik, penting bagi bank untuk mengalihkan pembiayaan ke model ekonomi yang tidak mengubah alam dan menghormati hak MAKL yang melindungi keanekaragaman hayati. Pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat adalah kuncinya.
“Perkebunan kelapa sawit besar pertama di Indonesia didanai oleh Bank Dunia terletak di dekat daerah rumah saya di Bengkulu pada tahun 1987. Saya ingat ketika saya masih kecil, hutan kami, hutan hijau yang subur, berubah menjadi perkebunan skala besar. Saya melihat secara langsung hilangnya mata pencaharian kami.” kata Zenzi.
Ekstraksi sumber daya alam di Indonesia dimulai kira-kira 60 tahun yang lalu sejak rezim orde lama dengan penebangan, perkebunan monokultur, pertambangan, dan kemudian konsesi laut. Situasi tidak menjadi lebih baik dengan ambisi pemerintah Indonesia untuk menjadi produsen nikel terbesar di dunia menggunakan transisi energi terbarukan, meskipun disebut-sebut sebagai “ramah lingkungan” ekstraksi pertambangan untuk menjadi bahan baku baterai masih jauh dari itu.
“Dulu Indonesia hanya memiliki dua musim, musim hujan dan musim kemarau. Sekarang, Indonesia memiliki dua musim lainnya, musim banjir dan musim kebakaran.” tambah Zenzi, merujuk pada ekstraksi SDA di Indonesia yang kerap mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kebakaran pada musim kemarau. Misalnya, Indonesia memiliki sekitar 20 juta ekosistem lahan gambut. Namun, lahan gambut yang hakekatnya merupakan ekosistem basah, dimodifikasi secara serampangan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan akasia di Indonesia.
“Mengapa ekonomi Indonesia dalam 60 tahun menuang banyak bencana? Karena ekonomi kita dibangun dengan mengubah ekosistem, memodifikasi ekosistem.” Tekan Zenzi.
Untuk melihat situasi Indonesia yang lebih baik, kita harus meninggalkan ekonomi geopolitik. Paradigma pertumbuhan yang dianggap pemodal global memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat melalui ekstraksi tidak dapat dianggap menguntungkan rakyat. Jika ada, pertumbuhan ini hanya menguntungkan sejumlah populasi dengan risiko ekosistem hancur dan hak masyarakat tercerabut.
Sungguh menggelikan bahwa kita dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi krisis yang pada awalnya tidak kita sebabkan. Jika sebaliknya, mengapa pemerintah dan perusahaan besar tidak juga beradaptasi dengan situasi Indonesia yang luas dan beragam, yang juga menunjukkan praktik ekonomi yang berbeda, daripada hanya bergantung pada model ekonomi ke ekstraktif yang secara nyata telah mendorong krisis yang kita hadapi saat ini?
Walhi berpendapat tidak ada alternatif, namun kita memiliki jalan yang benar atas jalur ekonomi yang harus ditempuh untuk keluar dari krisis. Indonesia, khususnya, harus kembali ke takdirnya.
Sebagai negara tropis, kepulauan terbesar di dunia dan terletak di cincin api, Indonesia memiliki beragam karakteristik dan lanskap mulai dari padang savana, lahan gambut, lahan basah, dataran tinggi, hutan hujan hingga pulau-pulau kecil. Masing-masing lanskap ini adalah rumah bagi berbagai flora dan fauna karismatik, namun sayangnya banyak dari mereka juga merupakan spesies yang terancam punah.
Ragam bentang alam di Indonesia juga telah membentuk karakter tatanan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang saling melengkapi dari proses masyarakat beradaptasi dengan alam, tanpa mengubahnya.
“Apabila kita ingin melihat gambar positif, kemampuan MAKL dalam menjaga keanekaragaman hayati dan sumber daya alam di bentang alam yang luas sambil menumbuhkan ekonomi lokal mereka. Kita bisa menjadikan deforestasi sebagai sejarah di Indonesia,” kata Zenzi.
Selama bertahun-tahun, Walhi telah bekerja dengan masyarakat dalam pembangunan ekonomi lokal berkelanjutan yang kami sebut Ekonomi Nusantara. Walhi saat ini bekerja sama dengan masyarakat di seluruh nusantara untuk memulihkan 1,1 juta hektar lahan. Ekonomi tumbuh sementara fungsi dan hak-hak rakyat dipulihkan. Berlawanan dengan model ekonomi saat ini, yang kita sebut pertumbuhan horizontal. Ekonomi Nusantara tumbuh secara vertikal.
Pertumbuhan ekonomi horizontal bersifat sementara. Dimana pertumbuhan ekonomi akan mengalami titik henti ketika deposit habis atau lahan untuk ekspansi yang dibutuhkan tidak tersedia lagi. Sebagai contoh, peningkatan volume produksi kelapa sawit akan membutuhkan tambahan lahan karena kelapa sawit adalah tanaman monokultur. Contoh lain, batu bara, emas yang terus ditambang oleh korporasi akan mencapai titik penipisannya ketika cadangannya habis dimana batu bara dan emas tidak bisa lagi ditambang. Sedangkan pertumbuhan vertikal tidak bersifat ekspansif. Peningkatan produksi akan mengikuti pertumbuhan pohon, artinya semakin besar dan tua pohon maka semakin baik dan tinggi produksinya. Di sisi lain, ia memiliki kemampuan untuk memperluas dan mewujudkan kapasitas pohon untuk menangkap karbon.
Misalnya, praktik masyarakat yang sudah berkembang di Desa Tanjung Aur di Provinsi Bengkulu. Setelah bertahun-tahun melakukan reclaiming dan mengelola lahan bekas konsesi penebangan dalam model agroforestri, dimana perusahaan tidak melakukan pemulihan, masyarakat berhasil memulihkan hutan dan fungsi lingkungan. Selain itu, mereka juga diuntungkan secara ekonomi.
Citra satelit tutupan hutan di desa Tanjung Aur pada tahun 2003 dan 2022. Masyarakat di desa Tanjung Aur telah berhasil memulihkan kawasan tersebut dengan melakukan tumpang sari dengan tanaman lain seperti kopi, cengkeh, lada, pala, dan lain-lain. Foto: Walhi.
Menurut penelitian yang terus berkembang, MAKL memainkan peran penting dalam menjaga hotspot keanekaragaman hayati yang tersisa di dunia, yang mencakup sekitar 80% dari keanekaragaman hayati global. Namun, MAKL dan pengetahuannya belum diakui dan dilindungi; lebih buruk lagi, mereka distigmatisasi sebagai tidak memiliki pengetahuan sama sekali.
“Hanya masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan tentang keanekaragaman hayati, tumbuhan mana yang bisa kita manfaatkan untuk pangan. Kalau tidak ada MAKL, tidak ada pengetahuan dari mereka, orang seperti saya tidak akan pernah tahu apa yang Indonesia punya.” Tambah Zenzi.
Zenzi juga menekankan bahwa bagi MAKL melindungi wilayah mereka tidak hanya berarti melindungi hak atas tanah dan wilayah tetapi secara mendasar melindungi peradaban mereka, yang menjadi penopang esensi budaya mereka. Sebagai warisan dari proses adaptasi lintas generasi dalam menempatkan keseimbangan kehidupan dengan kelestarian siklus alam. Oleh karena itu, penting bagi bank untuk memperbaiki kebijakan mereka yang melindungi hak masyarakat adat yang telah lama tinggal di wilayah mereka.
“Kami membangun peradaban, budaya, dan pengetahuan kami dengan beradaptasi dengan alam.” Kata Zenzi, menekankan bahwa adaptasi para leluhur terhadap alam harus menjadi landasan bagaimana kita mengelola sumber daya alam dan memimpin bangsa ini.
Bank dan lembaga keuangan internasional harus memahami peran mereka dan bagaimana memanfaatkan modal mereka untuk menghindari pembiayaan proyek atau pembangunan yang merusak lingkungan dan keanekaragaman hayati. Lembaga keuangan harus mempertimbangkan pilihan lain untuk pembangunan ekonomi di Indonesia. Mengakui hak MAKL untuk melindungi berarti lebih banyak prospek pemulihan hilangnya keanekaragaman hayati dan ekonomi.
“Pemodal multilateral harus mentransformasi jalur pembangunan. Industri ekstraktif seharusnya tidak lagi relevan bagi mereka untuk menaruh uang mereka. Mendukung berbagai praktik masyarakat tidak hanya berarti mendukung hak mereka untuk mengakses tanah, kami juga membahas komoditas yang menopang peradaban negara lain.” Tambah Zenzi. Misalnya, banyak tumbuhan dan rempah asli yang diproduksi oleh masyarakat di Indonesia juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di negara lain, seperti Eropa dan Amerika Serikat.
“Selama ini dampak terkait perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan industri ekstraktif lainnya hanya dianggap permasalahan masyarakat yang terkena dampak. Jika paradigma ekonomi saat ini tidak diubah, ketika perubahan iklim memburuk, maka masalah akan dibawa ke meja makan semua orang.” Tutup Zenzi.