Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta, 31 Maret 2017-Pada tanggal 5 Oktober 2016, Mahkamah Agung (MA) telah memenangkan Peninjauan Kembali (PK) gugatan warga Rembang dan WALHI dengan nomor register 99/PK/TUN/2016. Pembatalan izin berdasarkan putusan PK MA sesungguhnya telah diatur dalam pasal 40 ayat (2) UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa “Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan”. Artinya seluruh kegiatan yang dilakukan PT. Semen Gresik harus dibatalkan. Tidak ada dasar hukum pengecualian apabila perusahaan telah berganti nama atau perubahan luasan. Dengan demikian, maka hukuman pembatalan izin tetap melekat. Ironinya, Gubernur Jawa Tengah secara sengaja telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak mematuhi putusan MA, dengan melakukan penerbitan izin lingkungan baru bagi PT. Semen Indonesia. Upaya hukum sebagai warga negara yang taat hukum diciderai justru oleh pengurus negara. Meskipun demikian, para petani Kendeng masih terus berjuang mempertahankan lingkungan hidup, tanah, air, dan mata pencaharian. Mereka telah menempuh beragam cara supaya pabrik semen tidak dibangun di Pegunungan Kendeng, salah satunya dengan melakukan aksi dipasung semen yang dilakukan di depan Istana Presiden, untuk membuka hati dan mata Presiden karena Pemerintah Daerah, dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah bukan hanya mengabaikan hak Konstitusi warga negara, tetapi juga melakukan berbagai tindakan melawan hukum. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengatakan bahwa “Otonomi Daerah tidak bisa dijadikan alasan oleh Presiden untuk lepas tanggungjawab dari kasus ini dan menyerahkan kembali kepada Gubernur yang jelas-jelas telah melawan perintah hukum dan menciderai tata kelola pemerintahan yang baik. Terlebih sebelumnya, Presiden telah memerintahkan melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk menganalisa daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan pegunungan Kendeng”. Dari hasil riset yang dilakukan oleh WALHI pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Jawa telah menuju collapse, krisis lingkungan hidup dan sosial terjadi akibat model pembangunan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam kurun waktu yang sangat panjang. Sebagai salah satu penggugat, WALHI bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya terus mendukung dan mendesak agar Presiden Jokowi mengambil alih kasus ini sesuai kewenangannya sebagaimana yang diatur dalam UU 32/2009. Presiden sesugguhnya memiliki kewenangan menyelesaikan persoalan ini, karena Gubernur Jawa Tengah telah melakukan pelanggaran hukum dengan menerbitkan izin lingkungan yang cacat hukum, substansi dan prosedur sebagaimana yang diatur dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Perjuangan yang telah dilakukan oleh petani pegunungan Kendeng telah melahirkan semangat perjuangan di berbagai daerah yang juga sedang memperjuangkan keselamatan kawasan karstnya yang terancam oleh industri ekstraktif pertambangan, baik milik perusahaan dalam negeri (BUMN/swasta) seperti PT. Semen Indonesia maupun perusahaan swasta/BUMN asing seperti PT. Conch, PT. Indocement/Heidelberg dan PT. Holcim. Dukungan terus meluas dari berbagai kekuatan organisasi masyarakat sipil. Di berbagai daerah di Indonesia, WALHI bersama jaringan melakukan aksi solidaritas diantaranya yang dilakukan oleh WALHI Sulsel, WALHI Sumsel, WALHI Jambi, WALHI Babel, WALHI Riau, WALHI Jabar, WALHI Jateng, WALHI, WALHI Sulteng dan akan terus bergulir di berbagai wilayah lainnya. Dokumentasi Aksi Solidaritas Selain sebagai sebuah bagian dari aksi solidaritas untuk mendukung perjuangan petani Kendeng dalam mempertahankan tanah dan airnya.
Aksi ini juga sekaligus memperteguh komitmen WALHI untuk terus menyelamatkan kawasan karst yang memiliki fungsi ekologis, tetapi juga memiliki fungsi sosial budaya masyarakat dan sekaligus sumber-sumber kehidupan bagi masyarakat yang hidup di kawasan karst. Selain di Jawa (Rembang, Pati, Blora, Grobogan, Kebumen, Wonogiri dan Kendal), upaya penghancuran kawasan karst juga terjadi di Aceh, Kaltim, Kalsel, Sumbar, Sulsel, Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya. Yang mengkhawatirkan, eksploitasi kawasan karst untuk industri semen salah satunya, akan memicu eksploitasi dan masalah di sektor lainnya seperti batubara sebagai penunjang untuk kebutuhan industri semen. Kita tahu, industri tambang batubara juga melahirkan fakta krisis dan pelanggaran hak asasi manusia yang begitu besar. Konflik agraria juga akan semakin meningkat, lahan pertanian dan kehidupan masyarakat terus tergerus. Tentu ini sangat ironi, di tengah Presiden Jokowi berjanji menjalankan agenda Reforma Agraria. Pemerintah harusnya belajar dari kegagalan negara dalam mengurus kawasan ekosistem rawa gambut, yang melahirkan tragedi asap yang terus berulang dan pada akhirnya berakibat pada kerugian bagi rakyat dan negara yang begitu besar dan membutuhkan waktu pemulihan yang tidak sebentar. Karenanya, WALHI mendesak Presiden segera mengeluarkan kebijakan atau peraturan perlindungan terhadap kawasan ekosistem karst yang merupakan salah satu ekosistem esensial dan sekaligus rentan dari ancaman industri ekstraktive dan praktek pembangunan eksploitatif lainnya. (selesai) Narahubung: 1. Khalisah Khalid; Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan di 081290400147 2. Malik Diadzin; Staf Media dan Komunikasi Publik di 081808131090 Catatan untuk Editor: 1. Amar putusan MA menyatakan; (1) mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya, (2) Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang Jateng; (3) Mewajibkan kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. 2. Pasal 73 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika pemerintah menganggap terjadinya pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup