RILIS MEDIA Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur Status keselamatan ruang hidup rakyat nampaknya masih belum menjadi pilihan bagi pemegang kebijakan dan kuasa modal. Memasuki bulan kemerdekaan Agustus 2018, kita dikejutkan dengan pemberian perpanjangan kontrak kepada PT Lapindo Brantas untuk melanjutkan aktivitas pertambangan di Blok Brantas oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tahun 2018 ini adalah tahun keduabelas dari tragedi industri migas yang kita kenal sebagai Lumpur Lapindo. Pada 29 Mei 2006 yang lalu, di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa, lebih dari 75 ribu jiwa terusir dari kampung halamannya.
“Tragedi Lumpur Lapindo rupanya tidak pernah menjadi pelajaran. Ditengah karut marut pemulihan dampak semburan lumpur Lapindo yang tidak kunjung tuntas, perpanjangan kontrak kepada PT Lapindo Brantas menunjukkan demonstrasi kebebalan pengusaha dan penguasa dalam urusan pertambangan migas dan keselamatan rakyat,” tutur Rere Christanto, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur.Laporan BPK RI, serta sejumlah terbitan ilmiah oleh ahli dari berbagai negara telah mengindikasikan bahwa aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas bertanggung jawab terhadap munculnya semburan lumpur Lapindo. Hasil pemeriksaan BPK saat itu menunjukkan bahwa PT Lapindo Brantas menggunakan peralatan yang kurang memenuhi standar dan personel yang kurang berpengalaman. Neal Adams Services, pada tahun 2006 melakukan penelitian atas data-data terkait semburan lumpur Lapindo menemukan 16 faktor kesalahan yang menyebabkan terjadinya lumpur Lapindo. Diantaranya, kurang kompetennya site supervisor Lapindo, tak memahami baik prosedur perencanaan sumur bor, gagal menginterpretasikan data seismik, gagal mengetahui keberadaan rekahan dan tak mampu memilih site pengeboran yang aman dari pengaruh rekahan (fault). Laporan Neal Adams Services bahkan menyatakan bahwa tindakan Lapindo Brantas dalam mengatasi masalah teknis pada sumur BJP-1 mengarah pada tindakan kriminal yang membahayakan manusia dan lingkungannya. Pertambangan migas di kawasan padat huni adalah problem besar praktek pertambangan di Indonesia hari ini. Di Jawa Timur, praktek pertambangan di kawasan padat huni bukan sekali saja menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat di sekitarnya. Selain semburan lumpur Lapindo yang nampak jelas jejak penghancurannya, kasus-kasus lain seperti ledakan sumur migas Sukowati 5 di Bojonegoro yang mengakibatkan sedikitnya 148 Orang dirawat di rumah sakit dan ribuan lainnya mengungsi adalah bukti nyata ketidakpedulian pemerintah terhadap status keselamatan rakyat. Bahkan saat ini, usaha PT Lapindo Brantas untuk melakukan pertambangan di wilayah Jombang terus menuai resistensi dari masyarakat karena kekhawatiran tragedi serupa semburan Lumpur Lapindo terjadi di wilayah mereka. Alasan perpanjangan kontrak kepada PT Lapindo Brantas karena perusahaan lain tidak berani melakukan pengeboran akibat kekhawatiran munculnya kembali blowout/ semburan lumpur serupa di wilayah Blok Brantas sangatlah tidak mendasar, dan justru harusnya menjadi koreksi kepada pemerintah bahwa ancaman berulangnya kejadian semburan lumpur Lapindo menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan. Pemberian perpanjangan kontrak kepada perusahaan yang jelas-jelas mempunyai catatan buruk pengelolaan pertambangan sehngga mengakibatkan bencana multidimensi yang sangat luas seperti semburan lumpur Lapindo, menunjukkan bahwa bagi pemerintah faktor keselamatan warga masih tidak lebih berharga ketimbang kilauan investasi.
“Hingga sekarang, tidak ada satupun mekanisme yang memastikan aset-aset sosial rakyat dan lingkungannya aman atau dipastikan bisa segera dipulihkan jika terjadi bencana akibat kecelakaan migas. Bahkan belum ada satupun pihak yang diseret ke pengadilan akibat kecelakaan migas yang menyebabkan korban di pihak rakyat, Bagaimana mungkin pengurus negara memperpanjang kontrak satu perusahaan yang telah menyebabkan kehancuran serupa tanpa review menyeluruh terhadap status keselamatan rakyat?.” Tutur Rere Christanto lebih lanjut.Bentuk pembiaran terhadap nasib yang menimpa masyarakat akibat pertambangan di kawasan padat huni seperti di Porong, harus segera diakhiri. Pemerintah seharusnya memikirkan mekanisme perlindungan warga di wilayah industri padat huni, itulah mengapa perpanjangan kontrak kepada PT Lapindo Brantas layak ditolak.
“Dari dulu negara hadir dalam memfasilitasi penghancuran lingkungan, seharusnya saat ini sudah berubah menjadi negara hadir melindungi warganya,” pungkas Rere Christanto.Untuk informas lebih lanjut, silahkan kontak: Rere Christanto (Direktur Eksekutif Daerah) | 083 857 642 883