Protes dan Ultimatum Rakyat pada Presiden dan DPR RI
Jakarta, 28 Februari 2023
Presiden beralasan terdapat kegentingan memaksa akibat geopolitik dan ketidakpastian hukum bagi investor sebagai dasar pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja), bertujuan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia. Padahal pada waktu bersamaan Presiden dan sejumlah Menteri, menyatakan pertumbuhan perekonomian meningkat secara signifikan pasca pandemi Covid-19.
Anomali terjadi tidak hanya pada alasan pengesahan Perppu Cipta Kerja dan pernyataan kondisi perekonomian pasca pandemi. Pembangunan di Indonesia harus diganjar dengan berbagai penggusuran atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, ancaman kedaulatan pangan, fleksibilitas tenaga kerja, liberalisasi pendidikan, dan legitimasi pengrusakan lingkungan hidup serta berbagai bentuk pelanggaran HAM pada petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya semakin masif terjadi.
Alih-alih melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91) yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) inkonstitusional bersyarat, Pemerintah justru menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang melanggar konstitusi dan cita-cita bangsa Indonesia yang bebas dari segala bentuk penjajahan. Bahkan Pemerintah terus memaksakan keabsahan UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perppu Cipta Kerja demi membuka kran liberalisasi di berbagai sektor. Kesesatan sistem hukum dan bernegara ditunjukkan pemerintah tanpa malu-malu demi memenuhi kepentingan elit bisnis dan politik.
Menyikapi praktik pembangkangan konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum oleh Presiden dan DPR RI terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja, serta lahirnya berbagai kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, Komite Aksi Bersama turun ke jalan menyerukan protes dan ultimatum rakyat Indonesia kepada Pemerintah Rezim Joko Widodo dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Penerbitan Perppu Cipta Kerja jelas menunjukkan konsistensi kesewenang-wenangan pemerintahan rezim Joko Widodo dalam memfasilitasi kepentingan investor dan pemodal.
Harus diketahui bahwa Perppu Cipta Kerja telah mengancam berbagai sektor kehidupan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa dan masyarakat rentan di wilayah perkotaan hingga petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan di wilayah pedesaan dan pelosok negeri. Ancaman-ancaman tersebut di antaranya yaitu:
Sektor Agraria dan Pangan
Akibat semangat pengaturan dalam UU/Perppu Cipta Kerja untuk meliberalisasi dan memprivatisasi tanah, sepanjang tahun 2020-2022 telah terjadi 660 letusan konflik agraria seluas 2,16 juta hektar. Di mana sedikitnya 14 petani tewas dan 317 orang dipenjara hanya untuk mempertahankan tanahnya (KPA, 2023). Ini adalah bukti bahwa UU Cipta Kerja hanya memberikan kesengsaraan dan kemiskinan bagi Petani, Buruh, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.
Kemudian masalah Bank Tanah masih sama dengan UU Cipta Kerja. Diatur pada Pasal 125-135 Perppu Cipta Kerja, Bank Tanah tidak ubahnya lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan menyelewengkan reforma agraria. Bank Tanah adalah lembaga yang mengembalikan praktik-praktik penjajahan seperti domein verklaring dan menyimpangi hak menguasai dari negara (HMN) melalui Hak Pengelolaan (HPL). Maka model dan cara kerja Bank Tanah bertentangan dengan Konstitusi dan UUPA 1960. Bank Tanah sebagai lembaga penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan tidak dapat diragukan. Sebab 99% pasal di dalamnya hanya dibuat untuk melayani pengusaha, bahkan dapat dipergunakan sebagai cara untuk memutihkan konsesi korporasi yang bermasalah seperti beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, telah kadaluarsa, ditelantarkan, dan menimbulkan konflik agraria serta kerusakan lingkungan, bahkan melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara yang koruptif.
Perppu Cipta Kerja juga mempermudah eksploitasi sumber-sumber agraria yang diiringi kerusakan lingkungan akibat kemudahan izin berusaha korporasi, pelemahan partisipasi masyarakat, dan pelemahan pengawasan. Substansi Perppu Cipta Kerja memperluas dan memperkuat ancaman perampasan tanah dan meningkatkan potensi kriminalisasi petani, masyarakat adat dan pembela lingkungan hidup dalam Pasal 162 Perppu Cipta Kerja bagi yang menolak kegiatan pertambangan. Kemudian pada konteks perlindungan kawasan pesisir, melalui Pasal 26A Perppu Cipta Kerja melakukan penghapusan syarat-syarat penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan.
Dampak lain Perppu Cipta Kerja yaitu ancaman liberalisasi pangan melalui food estate dan kemudahan impor pangan. Jutaan hektar tanah direkayasa menjadi lokasi penghasil barang mentah industri makanan seperti kentang, bawang, singkong dll. Padahal pada praktiknya food estate telah gagal mewujudkan kedaulatan pangan, hal ini dibuktikan dengan jutaan ton komoditas pangan terutama beras, gula, garam, kedelai dll selama ini diperoleh dengan cara impor dari negara lain. Food estate dan impor pangan hanya memperkaya elit politik dan kartel pangan di Indonesia.
Sektor Ketenagakerjaan
Skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Padahal, jika berbicara mengenai kebijakan pengupahan, mestinya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja. Dimana upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.
Kondisi tersebut menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis di Indonesia, sehingga dengan adanya Perppu Cipta Kerja melegitimasi politik upah murah di Indonesia.
Perppu Cipta Kerja masih mengatur ketentuan alih daya (outsource) yang sama dalam UU Cipta Kerja juga masih mengatur mengenai istilah alih daya melalui Pasal 81 angka 18 dan 20 yang memperjelas legitimasi atas penerapan sistem outsourcing. Jika kita melihat UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi, pada Perppu Cipta Kerja tidak ada lagi penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Sehingga, Perppu Cipta Kerja dapat memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja berbagai tugas hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang.
Sektor Lingkungan
Pada sektor lingkungan hidup, perubahan iklim menjadi salah satu poin menimbang kemendesakan diterbitkannya Perppu, namun justru kontradiktif dengan substansi Perppu Cipta Kerja yang jauh dari komitmen perlindungan lingkungan hidup. Pertama, Perppu Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan jaring perlindungan lingkungan hidup. Ketentuan yang berkaitan dengan AMDAL, yaitu Pasal 22 dan Pasal 26 Perppu Cipta Kerja mereduksi keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan dokumen AMDAL hingga mereduksi keterlibatan organisasi lingkungan hidup dan pakar. Pada prinsipnya dokumen AMDAL merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Ketentuan ini mereduksi pentingnya AMDAL sebagai landasan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan. Bahkan terdapat ketentuan yang menghapus hak gugat warga negara terhadap izin lingkungan.
Kedua, Perppu Cipta Kerja yang copy-paste UU Cipta Kerja juga mengubah UU Penataan Ruang yang selama ini menjadi bagian dari jaring perlindungan lingkungan hidup. Beberapa ketentuan pasal penting dalam Penataan Ruang diubah melalui Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 20 ayat (5) Perppu Cipta Kerja yang memberikan peluang untuk memutihkan pelanggaran atau kejahatan ruang.
Ketiga, persoalan perlindungan lingkungan hidup benar-benar diabaikan dengan mengobral Sumber Daya Alam yang bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan, melalui perubahan beberapa UU sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Perkebunan, UU Pangan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU Pertambangan, dan lain sebagainya. Seperti, Perppu Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 18 UU Kehutanan terkait ketentuan batas minimal luas kawasan hutan, yang semula harus dipertahankan minimal 30% dengan tujuan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Dihapusnya pasal ini akan semakin mempercepat deforestasi hutan yang tersisa. Pasal 36 angka 3 Perppu Cipta Kerja juga mengubah Pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur alih fungsi kawasan hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah yang didasari hasil penelitian terpadu, pada Perppu Cipta Kerja mengubah kata “didasari” dengan “mempertimbangkan”. Hal ini membuktikan pelemahan terhadap hak partisipatif masyarakat dalam bentuk penelitian dalam mempertahankan kawasan hutan tersebut hanya dijadikan bahan pertimbangan saja bukan suatu hal yang mutlak bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan alih fungsi kawasan hutan.
Sektor Kehutanan
Mengenai percepatan pengukuhan kawasan hutan negara secara sepihak oleh Pemerintah, hal ini tidak jauh berbeda dengan asas domein verklaring. Kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan terhadap usulan perubahan fungsi dan peruntukan Kawasan hutan juga dihapus. Kondisi ini akan menghilangkan mekanisme check and balances terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Contohnya pada April 2022 Menteri LHK menetapkan KHDPK di Pulau Jawa, KHDPK seluas 1,1 juta hektar ini bukannya melepaskan tanah-tanah dari kawasan hutan, melainkan secara sepihak mengklaim desa, kampung dan tanah-tanah petani sebagai kawasan hutan negara. Kesimpulannya KHDPK hanya benar dalam dua hal yakni: Pertama, membenar-benarkan klaim hutan negara melalui tangan Menteri LHK. Kedua, membenar-benarkan klaim ilegal hutan dan tanah untuk Perhutani. Pendekatan “pragmatisme” tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas, bahkan dapat melahirkan masalah baru yang semakin memperumit konflik agraria.
Selain itu, “keterlanjuran” pada Pasal 110A dan 110B dalam Perppu Cipta Kerja merupakan mekanisme untuk mengakomodasi kegiatan ilegal dalam kawasan hutan oleh korporasi. Setidaknya hingga Agustus 2022, teridentifikasi sebanyak 1.192 subjek hukum yang beraktivitas dalam Kawasan hutan. Dari 1.192 subjek hukum tersebut sebanyak 616 adalah korporasi, dan jenis aktivitas terbanyak adalah perkebunan 857 unit kegiatan dengan total luasan mencapai 3,3 juta hektar. Selanjutnya pertambangan sebanyak 130 unit kegiatan dan 205 unit kegiatan lainnya.
Sektor Pendidikan
Mengatur tentang pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan. Pada paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65, di mana pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha. Salah satu dampaknya akan membuat kampus untuk berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH atau modeling corporate university, Negara melepaskan tanggung jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari pendanaannya sendiri. Disanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa, kemitraan, dosen NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik. Seperti yang terjadi terhadap kampus-kampus yang telah menerapkan PTNBH. Komersialisasi dan kenaikan biaya pendidikan tinggi yang konsisten setiap tahun; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi; outsourcing pekerja akademik, pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun non-dosen dalam PTNBH diatur secara seragam menuju “tenaga kontrak” universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta menumbuhkan neo fasis dalam pendidikan.
Kebebasan Sipil
Masalah agraria, ancaman kedaulatan pangan, kerusakan lingkungan hidup, hilangnya kepastian kerja, dan liberalisasi pendidikan sebagaimana yang telah diuraikan dalam persoalan sektoral sebelumnya menunjukkan bahwa Perppu Ciptaker bertentangan secara prinsip dengan UU HAM yang menunjukkan minimnya pemerintah dalam melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia di tengah situasi masyarakat yang baru bangkit dari pandemi. Selain itu terdapat tren pemerintah dalam menghadapi protes dan aksi-aksi masyarakat pada penolakan proyek strategis nasional, pembukaan lahan baru untuk operasi bisnis, menunjukkan metode dan cara yang anti terhadap kebebasan sipil. Ketidakpuasan masyarakat dihadapi dengan acuh menggunakan berbagai bentuk kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi oleh penegak hukum atas tuduhan gangguan investasi. Tren kasus-kasus SLAPP (Strategic Litigation Against Public Participations); yang menghalangi perjuangan petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan serta kelompok rentan lainnya juga terus meningkat.
Berdasar Putusan MK 91 pada 25 November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional dan memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dengan memenuhi partisipasi bermakna dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Meski Pemerintah mendeklarasikan akan tunduk pada putusan MK, praktiknya justru membangkang dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja dan terus menjalankan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang seharusnya tidak dapat dijalankan. Penerbitan Perppu ini semakin menegaskan watak otoritarian Pemerintahan Joko Widodo dan kegagalan Dewan Perwakilan rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Akibatnya terbit berbagai peraturan perundang-undangan yang menginjak-injak konstitusi, demokrasi dan mengkhianati semangat reformasi seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya, Revisi UU KPK, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain di sektor pendidikan, transportasi dan lain sebagainya.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja terbukti digenting-gentingkan dan dipaksakan keberlakuannya. Perppu Cipta Kerja merupakan strategi Pemerintah menghindari amar Putusan MK 91, yang membangkang konstitusi setelah sebelumnya Presiden dan DPR melawan hukum menyusun UU Cipta Kerja dengan proses yang tertutup, hingga akhirnya diputus inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki baik formil maupun materiilnya secara partisipatif bermakna.
Manuver politik Presiden seharusnya telah kandas, sebab DPR tidak membahas dan menyetujui Perppu Cipta Kerja pada masa persidangan. Tidak dibahas dan disetujuinya Perppu Cipta Kerja, dengan demikian Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan 30 Desember 2022 lalu harus batal demi hukum. Sebagaimana diatur Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Pasca Perppu Cipta Kerja tidak disetujui oleh DPR pada sidang paripurna, maka kini harusnya tidak ada lagi Perppu atau UU Cipta Kerja, bahkan seluruh aturan pelaksana keduanya pun hapus dengan sendirinya. Sebagaimana diamanatkan konstitusi, maka aturan dan pelaksana kebijakan seperti Bank Tanah, Upah Murah, Proyek Strategis Nasional, Food Estate, Impor Pangan, Pengampunan Bisnis Ilegal di Kawasan Hutan, Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus dll harus segera dihentikan Pemerintah.
Kini keberpihakan Presiden terhadap petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan serta kelompok rentan lainnya kembali diuji, Presiden harus menerbitkan Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu Cipta Kerja. Sudah cukup kesombongan Presiden dan DPR yang ugal-ugalan dan sewenang-wenang mengesahkan UU/Perppu Cipta Kerja. Presiden seharusnya sadar bahwa ia tidak pantas dan tidak berhak mengeksploitasi sumber-sumber agraria, mengobral fleksibilitas tenaga kerja, merusak lingkungan, dan menghegemoni kepentingan elit bisnis dan politik yang melanggar berbagai hak asasi petani, buruh, nelayan masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.
Untuk menegakkan kembali konstitusi dan demokrasi serta keselamatan rakyat Indonesia, Kami Komite Aksi Bersama yang tergabung dalam Ultimatum Rakyat dan Protes Rakyat Indonesia, terdiri dari persatuan gerakan berbagai organisasi dan aliansi masyarakat sipil lintas sektor baik dari sektor buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, mahasiswa, pelajar dan masyarakat miskin perkotaan dan perdesaan, serta kelompok rentan lainnya mendesak:
- Presiden RI segera mencabut Perpu Cipta Kerja.
- DPR RI Menolak Perppu Cipta Kerja yang telah diterbitkan Presiden.
- Presiden dan DPR RI segera hentikan segala bentuk pengkhianatan dan pembangkangan terhadap Konstitusi.
- Hapus sistem kerja kontrak, alih daya, sistem magang dan stop politik upah murah serta berlakukan upah sesuai kualitas hidup layak.
- Hentikan liberalisasi agraria dan perampasan tanah, tolak bank tanah serta jalankan reforma agraria sebagai basis pembangunan nasional.
- Wujudkan kebebasan akademik, pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis di segala jenjang.
- Hentikan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat di semua sektor.
- Berikan perlindungan dan jaminan kepastian kerja bagi pekerja Non-PNS (Penyuluh KB, Guru Honorer, Pekerja Perikanan dan Kelautan), pengemudi ojek online, dll.
- Cabut seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.
- Segera terbitkan dan sahkan seluruh peraturan perundang-undangan yang melindungi hak rakyat (RUU PPRT, Perlindungan Pekerja Transportasi-Ojek Online dan RUU Masyarakat Adat).
Demikian pernyataan sikap bersama ini kami sampaikan agar menjadi perhatian semua pihak!
Kami juga Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan pembangkangan sipil di berbagai wilayah sebagai bentuk protes dan ultimatum rakyat atas pengkhianatan dan pembangkangan yang dilakukan penyelenggara Negara terhadap konstitusi.
Hormat kami,
KOMITE AKSI BERSAMA
ULTIMATUM RAKYAT DAN PROTES RAKYAT INDONESIA
#UltimatumRakyat #ProtesRakyatIndonesia #CabutPerppuTipuTipu