Siaran Pers WALHI Sulawesi Tengah
Perusahaan Kalla Group Menenggelamkan Lahan Pertanian Masyarakat Pesisir Danau Poso
Pemerintah Kabupaten Poso melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu mengeluarkan Izin Lingkungan No:01/III/DPM-PTSP/2019 menetapkan izin lingkungan rencana kegiatan penataan Sungai Poso di Kecamatan Pamona Utara dan Pamona Pusalemba Kabupaten Poso diberikan kepada PT. Poso Energy ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2019.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Poso bekerjasama dengan PT. Poso Energy menandatangani perjanjian kerja sama untuk melakukan penataan ruang yang bertujuan memberikan arahan kepada perusahaan dan semua pemangku kepentingan untuk bersinergi dalam program pembangunan Pemerintah Kabupaten Poso serta meningkatan kualitas dan kelestarian lingkungan, meminimalisir banjir, dan peningkatan potensi wisata.
Sejak April 2020, PT. Poso Energy melakukan uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I yang membawa bencana terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar danau serta merusak wilayah ulayat Masyarakat Adat Danau Poso. Padahal sejak beratus tahun lamanya, secara turun temurun Danau Poso dipercayai telah memberikan kehidupan terhadap masyarakat di sekeliling Danau dan Sungai Poso.
Menurut pengakuan masyarakat sekitar danau, PT. Poso Energy tidak pernah memberitahukan atau mensosialisasikan terkait adanya kegiatan uji coba pintu air bendungan. Akibatnya selama 2 tahun petani dan masyarakat adat danau poso mengalami kerugian yang sangat besar. Misalnya di tahun 2020 ada sekitar 266 Ha sawah dan kebun warga di 16 desa/kelurahaan terendam yang menyebabkan petani gagal panen sampai saat ini serta tak bisa menanam lagi, tidak cuma sampai disitu dampak yang dialami masyarakat sekitar danau poso juga kehilangan 94 kerbau mati akibat terendamnya 150 Ha lahan penggembalaan di Desa Tokilo.
Padahal Masyarakat Adat Danau Poso berkeyakinan bahwa “bagi kami orang Pamona, kami menyebut Danau Poso sebagai Sira, yang artinya kami melihat dan menghayati Danau Poso sebagai bagian dari kehidupan kami”. Pengakuan ketua Adat Desa Meko, Berlin Modjanggo.
Hal itu juga ditegaskan oleh, Pendeta Yombu Wuri “PT. Poso Energy itu tahu kalau PLTA I di bangun, sawah pasti tenggelam. Dan ketika mereka tahu itu akan tenggelam tapi mereka hanya diam saja. Ini yang membuat saya bingung, apa yang ada di dalam benak PT. Poso Energy. Begitu banyak yang ditimbulkan oleh PLTA I ini, dan satu hal yang saya tidak habis pikir bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan ini, kami sama sekali tidak tahu, kami tidak tahu apa-apa, kami tidak tahu amdal, kami tidak tahu sosialisasi dan ini semua prosesnya gelap”
Adapun langkah yang ditempuh masyarakat guna menyelesaikan konflik serta menuntut perusahaan bertanggung jawab atas kerugian yang warga alami seperti di empat desa yakni Meko, Buyumpodoli, Tonusu, dan Dulumai melakukan somasi dan class action ke Pengadilan Negeri Poso untuk menuntut ganti untung kepada PT. Poso Energy atas aktifitasnya yang merugikan lahan pertanian warga.
Pada 24 November juga Masyarakat Adat Danau Poso mengirim surat ke Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi III yang berisikan permintaan Masyarakat Adat Danau Poso ke pihak BWSS untuk meninjau kembali izin operasi PLTA Poso I, hal ini didasari dengan beroperasinya PLTA Poso I menaikan elevasi air pada ketinggian 510-511 Mdpl, yang sebelumnya menurut data LIPI/BRIN menyebutkan elevasi tertinggi hanya ada pada tahun 1977 dengan ketinggian 512.7 Mdpl setelah itu tidak pernah terjadi lagi.
Namun jika penetapan sempadan danau dengan ketinggian yang ditetapkan maka, akan memberikan dampak besar terhadap 16 perkampungan warga di sekeliling danau yang selama ini hidup, dan mata pencahariannya yang bergantung terhadap siklus air yang normal. Balai Wilayah Sungai Sulawesi III, membuat diskusi yang terfokus pada penetapan batas badan dan sempadan danau poso pada tanggal 25 September 2021, dalam diskusi tersebut disebutkan bahwa elevasi tertinggi yang menjadi ukuran yakni 513.15 Mdpl rancangan ini didasarkan pada Pintu Air Bendungan PLTA Poso I, jika ukuran 513.15 Mdpl yang dijadikan dasar menarik garis sempadan danau, maka dampak yang ditimbulkan berupa 982 rumah warga, 15 rumah ibadah, dan 334 Ha lahan pertanian, perkebunan di 18 desa sekitar danau akan memiliki status quo yang masuk dalam kawasan sempadan danau.
Masyarakat Adat Poso beri Denda Adat atas kejahatan PT. Poso Energy
PT. Poso Energy merusak situs budaya Masyarakat Adat Danau Poso yang dipercaya sebagai tempat dilaksanakannya tradisi Mosango di wilayah Kompodongi. Kompodongi sendiri adalah wilayah adat bagian Wingle mPoso yang ditetapkan oleh para tetua adat melalui proses yang cukup panjang serta sejarah yang mengakibatkan perang suku, kemudian para tetua adat menyepakati untuk menjadikan Kompodongi sebagai tempat Mosango, Momeka dan acara ritual adat lainnya.
Orang tua adat juga bersepakat bagi siapa saja yang ingin melakukan sesuatu di sekeliling danau harus melalui izin dari masyarakat adat danau poso dan jika setiap yang beraktifitas di wilayah Kompodongi, tanpa izin masyarakat adat danau poso maka akan dikenakan sanksi adat atau denda adat yang disebut Giwu.
PT. Poso Energy melakukan pengerukan sungai/outlet danau poso sepanjang 12,8 km, dengan lebar 4 m serta kedalaman mencapai 4-8 m. Dengan aktifitasnya yang hampir dua tahun telah merugikan petani dan masyarakat adat danau poso, maka para tetua adat yang telah bersepakat menjatuhkan denda adat (Giwu), denda adat yang dijatuhkan yakni Giwu Lemba karena menurut kepercayaan masyarakat adat danau pos.
Sementara itu, WALHI Sulawesi Tengah melalui juru kampanyenya Aulia Hakim menyatakan bahwa “Pembangunan PLTA I Poso Energy adalah bentuk praktik nyata pemangku kebijakan dan kuasa modal melakukan pemiskinan secara berkelanjutan, terendamnya sawah ratusan hektare, dan pelanggaran yang dilakukan terhadap masyarakat adat danau poso merupakan fakta bahwa pembangunan ini tidak menjamin kesejahteraan malah merugikan masyarakat secara terus menerus.”
PT. Poso Energy telah melakukan kesalahan yang mempengaruhi kehidupan banyak orang, masyarakat adat danau poso memberikan batas waktu 8 hari kepada PT. Poso Energy untuk memenuhi denda adat yang telah diberikan oleh masyarakat adat danau poso dalam bentuk 6 ekor kerbau, denda juga disertai dengan tuntutan masyarakat agar PT. Poso Energy menyelesaikan seluruh masalah yang ditimbulkannya dan juga PT. Poso Energy harus patuh terhadap budaya serta adat yang berlaku di wilayah adat danau poso.
Masyarakat Adat Danau Poso menuntut pihak PT. Poso Energy:
- Menuntut pihak PT. Poso Energy bertanggung jawab atas penggusuran Karamba.
- Menuntut pihak PT. Poso Energy bertanggung jawab atas penggusuran 36 buah Wayamasapi di wilayah Sulewana.
- Menuntut pihak PT. Poso Energy bertanggung jawab atas terhentinya aktivitas ekonomi Tponyilo, Toporeno, Wuwu, nelayan tradisional Danau Poso.
- Menuntut pihak PT. Poso Energy bertanggung jawab atas terhentinya aktivitas ekonomi kelompok penambang pasir di Desa Siaojo.
- Segera hentikan aktivitas Reklamasi di wilayah Kompodongi.
- Kembalikan siklus Normal Air Danau Poso seperti semula pertahun 2022 dan seterusnya.
- Menuntut penentuan batas sempadan Danau di 509 Mdpl.
- Memastikan pelibatan Masyarakat Adat Danau Poso dalam setiap proses pengambilan kebijakan mengenai Danau yang bersinggungan dengan aktivitas PT. Poso Energy.
- Serta Masyarakat Adat Danau Poso menolak seluruh bentuk pembebasan lahan sekeliling Danau Poso untuk kepentingan PLTA Poso I, PT. Poso Energy.
Sesungguhnya kehadiran PT. Poso Energy bukanlah menjadi cita-cita dari masyarakat sekitar danau maupun masyarakat adat danau poso, apalagi melihat dampak yang telah ditimbulkan dan dapat menyebabkan potensi bencana yang akan terjadi jika PT. Poso Energy terus beroperasi.
Jika pemerintah terus membiarkan praktik penenggelaman lahan ekonomi petani sekitar danau dan pengesampingan hak-hak masyarakat adat danau poso, sama halnya pemerintah dengan upaya sadar mematikan ruang produksi serta hak ulayat dan identitas masyarakat adat danau poso dan mempertaruhkan keselamatan ribuan masyarakat sekeliling danau poso.