Krisis ekologi dalam kaitannya kerusakan keanekaragaman hayati sudah sangat memprihatinkan. The Living Planet Report 2022 melacak populasi mamalia, burung, ikan, dan reptil mengalami penurunan jumlah populasi yang signifikan sebesar 69% dalam kurun waktu 50 tahun.[1] Kerusakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain alih fungsi lahan dan air tanpa mempertimbangkan skema keberlanjutan, eksploitasi berlebihan pada spesies melalui perdagangan ilegal hingga pembunuhan satwa tertentu, dan perubahan iklim.
Dalam konteks nasional, aktivitas korporasi yang eksploitatif juga menjadi tumor yang menggerogoti kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia. Di sektor laut Indonesia, menurut data dari Kementerian Perikanan dan Kelautan, setiap tahunnya kondisi laut Indonesia diganggu oleh para pencuri ikan melalui aktivitas yang sering disebut IUUF (Illegal, Unreported, Unregulated, Fisheries). Dari aktivitas tersebut diperkirakan kerugian yang diderita Negara Indonesia mencapai USD 20 miliar.[2]
Persoalan lain pengelolaan sumber daya alam kita muncul dari adanya konflik antar pengelola wilayah konservasi dengan masyarakat yang telah berkehidupan di wilayah hutan tersebut. Konflik ini dapat terjadi akibat perbedaan paradigma dalam mengelola areal konservasi.[3] Paradigma pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih tereksklusi dari penghidupan masyarakatnya. Peristiwa konflik antara masyarakat Kasepuhan Cipta Rasa dengan Pengelola Taman Nasional menjadi bukti kerentanan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.[4]
Hingga saat ini, pemerintah telah menunjuk sekitar 27,4 juta hektar lahan sebagai area konservasi di Indonesia, dengan catatan bahwa tidak semua dari wilayah tersebut adalah ruang hampa, melainkan sebagian digunakan sebagai tempat tinggal bagi masyarakat adat dan penduduk setempat di berbagai lokasi di Indonesia. Saat ini, sekitar 16,3 juta individu tinggal di sekitar 6.747 desa yang berlokasi di sekitar wilayah konservasi tersebut.
Sudah semestinya pemerintah merespon berbagai hal tersebut melalui pembaruan pengaturan mengenai konservasi lingkungan. Hal ini penting untuk menjawab tantangan isu lingkungan kontemporer. Pemerintah bersama DPR RI berupaya menjawab tantangan tersebut melalui pembentukan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE).
Sayangnya, RUU yang telah disiapkan sejak tahun 2016 ini, justru hanya akan menjadi RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut dengan RUU Perubahan UU KSDAHE). Sementara itu, RUU Perubahan atas UU No. 5/1990 tersebut tidak menjawab inti persoalan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, karena tidak mengubah paradigma konservasi yang dianut selama ini.
Melalui policy brief ini, WALHI mencoba menilik ulang substansi pengaturan dalam RUU Perubahan UU KSDAHE tentang KSDAHE. Beberapa poin kritis yang diabaikan dalam substansi dan proses dalam RUU Perubahan UU tentang KSDAHE.
Selengkapnya, unduh dokumen Policy Brief RUU KSDAHE berikut.
----- ----- -----
[1] Konflik dapat diartikan sebagai pertarungan antara dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang biasanya disebabkan oleh perbedaan nilai, pandangan, aktivitas, status, dan kelangkaan sumberdaya alam. Fuad, F.H & Siti Maskanah. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN, 2000.
[2] Pada tahun 2007 terjadi juga penangkapan terhadap warga Kasepuhan yang tinggal di Kampung Cibalandongan karena mengambil kayu dari kebun miliknya sendiri, karena dianggap telah merusak kawasan taman nasional. Warga tersebut ditahan selama 10 bulan penjara. Setelah itu, ada pula warga Kampung Lebak Nangka pada tahun 2008 juga ditangkap karena mengambil kayu di kebun sendiri. Padahal sebelum adanya taman nasional, lahan kebun termasuk pohon yang di dalamnya adalah milik warga, karena sejak wilayah tersebut masih dimiliki oleh Perhutani, warga boleh menggarap lahan tersebut dan menanam pohon kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari. MarinaI., & Hadi Dharmawan A. Analisis Konflik Sumber Daya Hutan di Kawasan Konservasi. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 5(1), 2011.
[3] WWF (2022) Living Planet Report 2022 – Building a naturepositive society. Almond, R.E.A., Grooten, M., Juffe Bignoli, D. & Petersen, T. (Eds). WWF, Gland, Switzerland.
[4]Seperti Apa Ancaman Kerusakan Ekosistem Laut Besar di Indonesia? - Mongabay.co.id : Mongabay.co.id