Pernyataan Sikap Bersama:
Presiden Jokowi Meresmikan PLTA Poso di Tengah Derita Berkepanjangan Warga
Demi listrik untuk industri, ratusan hektar wilayah adat masyarakat Danau Poso akan rusak bahkan akan ditenggelamkan. Masyarakat Adat Danau Poso bersama koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KPA, WALHI, AMAN, JATAM, Solidaritas Perempuan, dan Bersihkan Indonesia, mengecam sikap pemerintah yang terus memaksa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso yang mempertaruhkan keselamatan rakyat dan lingkungan.
Mega Proyek PLTA Poso yang berkapasitas 515 MW, telah menimbulkan berbagai masalah seperti perampasan tanah, kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Padahal Danau Poso sebagai identitas dan sumber kehidupan masyarakat adat di sekitar Danau Poso sejak beratus tahun lamanya, menjadi tulang punggung perekonomian warga.
Kehidupan dan masa depan ribuan warga yang bermukim di hulu-hilir Danau Poso, sangat bergantung pada Danau terbesar ketiga di Indonesia itu. Lahan pertanian seperti sawah dan kebun di pinggiran danau misalnya, pengelolaannya mengikuti siklus air dari Danau Poso. Demikian juga dengan nelayan tradisional dan penambang pasir tradisional yang menjadikan Danau Poso sebagai sumber mata pencaharian. Danau Purba Jantungnya Wallace ini juga kaya akan biota laut yang selama ini terus dijaga oleh masyarakat, bahkan oleh para peneliti dunia menjadi laboratorium alam.
Kini, Danau Poso itu dicaplok, aliran airnya dibendung untuk membangkitan sumber energi listrik. Air sungai yang selama ini esensial bagi warga setempat, dimanfaatkan oleh PLTA Poso untuk menghidupkan 11 turbin PLTA Poso I (4x30 MW), PLTA Poso II (3x65 MW), dan PLTA extension (4x50 MW). Untuk memaksimalkan turbin PLTA, PT Poso Energy melakukan pengerukan sepanjang 12,8 km di outlet Danau Poso dan mereklamasi wilayah adat Danau Poso dengan dalih penataan sungai.
Untuk menjaga pasokan kebutuhan PLTA Poso, perusahaan mulai membicarakan rencana pembebasan tanah di sekeliling Danau Poso. PLTA Poso bertujuan untuk pemenuhan keterbutuhan listrik, sehingga skema pembebasan tanahnya kemungkinan besar menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Namun sejauh apa proses pembebasan lahan 18 desa di sekeliling Danau Poso untuk PLTA I, maupun lokasi rencana PLTA III, tidak pernah ada keterbukaan proses penetapan lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditentukan.
Pembangunan PLTA Poso I telah ditentang masyarakat Danau Poso sejak awal pembangunan, karena sama sekali tidak mengikutsertakan peran dan partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat adat. Suara-suara penolakan warga pun telah berulang kali disampaikan ke pemerintah, namun tidak digubris terlebih ditindaklanjuti. Kehadiran PLTA Poso juga pernah telah menyebabkan konflik antar masyarakat di Desa Sulewana dan Desa Peura, yang berlanjut hingga saat ini, beberapa mengalami intimidasi, dan ada proses ganti rugi yang tidak sesuai dan persoalan lainnya.
Terkait konteks keterlibatan, perempuan menghadapi tantangan berlapis karena sering kali tidak dianggap sebagai pemegang kepentingan untuk hadir dan menyampaikan pendapatnya. Padahal, peran dan pengalaman perempuan sangat relevan di berbagai lini kehidupan masyarakat, termasuk di dalam pengelolaan sumber-sumber agraria dan pelestarian lingkungan. Pemerintah justru terus mendorong agar PLTA ini untuk segera dioperasikan, meski hingga hari ini warga setempat menolak keras.
Upaya paksa pemerintah dalam pembangunan PLTA, mempertaruhkan keselamatan dan masa depan warga dan ruang hidupnya. Hal ini bisa terlihat dari kejadian uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I pada April 2020 lalu yang mengakibatkan sekitar 266 hektar lahan sawah dan kebun di 16 desa/kelurahan di sekeliling Danau Poso tenggelam-terendam air; ladang penggembalaan tenggelam; 94 kerbau Desa Tokilo mati dalam rentang 2 bulan; hilangnya Tradisi Budaya Danau Mosango di wilayah Kompodongi; dan mata pencaharian nelayan tradisional terganggu. Uji coba yang dilakukan PLTA Poso ini juga merusak siklus air dan keanekaragaman hayati Danau Poso; mencemari sumber air warga; dan merendam rawa yang berperan penting bagi perkembangbiakan biota Danau Poso.
Di tengah derita dan jeritan warga itu, Presiden Jokowi justru meresmikan PLTA Poso Energy pada Jumat 25 Februari 2022. Sebuah langkah yang jelas-jelas melukai hati ribuan warga di sekitar Danau Poso, diiringi dengan rasa bangga telah meresmikan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) terbesar di Indonesia.
Dengan mengatasnamakan EBT, melalui proyek ini pemerintah berdalih mengupayakan menjaga lingkungan dengan meninggalkan batubara. Nyatanya PLTA Poso yang selama ini sudah berjalan telah mengganggu ekologi, bahkan menyebabkan hilangnya endemik ikan yang berada di sungai Poso. Pun mengancam keberlangsungan kehidupan ribuan masyarakat adat yang tinggal di sekitar Danau Poso. Ironi apabila menyebut penenggelaman wilayah adat Danau Poso ialah untuk mengejar perkembangan EBT, tanpa memikirkan jauh resikonya terhadap masyarakat Danau Poso.
PLTA Poso dibangun bukan untuk kepentingan masyarakat Danau Poso. Presiden Jokowi lebih mengutamakan kepentingan korporasi, daripada warga yang selama ratusan tahun menjadikan Danau Poso sebagai sumber kehidupannya. Didukung dengan berbagai fasilitas kebijakan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, kepentingan korporasi melenggang tanpa mempertimbangkan situasi dan keberlangsungan kehidupan manusia, ekosistem, dan lingkungan, bahkan mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia.
Listrik sebanyak 515 MW tidak mungkin dapat diserap seluruhnya oleh masyarakat di Poso atau pun bagian Sulawesi Tengah lainnya. PLTA Poso dibangun demi menjaga pasokan listrik industri tambang, terutama pemurnian tambang. Listrik yang dihasilkan oleh PLTA Poso, yaitu untuk mendukung industri tambang, terutama pemurnian tambang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.
Hal ini tidak berlebihan, mengingat PLTA Poso milik PT Poso Energy ialah anak usaha Kalla Energy yang merupakan sub-holding dari konsorsium bisnis Kalla Group. Kalla Group juga memiliki bisnis smelter untuk pemurnian tambang. Informasi lain juga menyebutkan bahwa di Sulawesi Tengah telah berdiri 20 pabrik pemurnian tambang yang memerlukan pasokan listrik yang tinggi.
Berdasar catatan potensi daya rusak lingkungan, praktik pelepasan tanah yang dipaksakan, jejak perusahaan dan daftar hitam penerima manfaat PLTA Poso, maka bukan tanpa sebab Masyarakat Adat Danau Poso menolak hadirnya PLTA Poso.
Untuk itu, melalui pernyataan sikap bersama ini, Masyarakat Adat Danau Poso bersama KPA, WALHI, AMAN, JATAM, Solidaritas Perempuan, dan Bersihkan Indonesia, menuntut:
- Presiden harus memastikan hak konstitusional Masyarakat Adat Danau Poso tidak terampas oleh kepentingan perusahaan dan melindungi serta menjamin pemenuhan hak atas sumber agraria masyarakat.
- Presiden dan Gubernur Sulawesi Tengah harus bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan konflik agraria yang selama ini dialami Masyarakat Adat Danau Poso dan perusahaan.
- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk segera mencabut izin PT. Poso Energi secara keseluruhan, diutamakan PLTA I yang telah menggusur, menenggelamkan sawah dan kebun, merusak wayamasapi dan keramba, serta menghilangkan budaya, adat, dan pekerjaan tradisional.
- Poso Energi segera tuntaskan masalah-masalah dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh operasional PLTA Poso seperti penggusuran dan pengerukan sungai.
- Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi III mengembalikan siklus normal air Danau Poso seperti semula dan menentukan batas sempadan Danau Poso pada 509 Mdpl.
- Pemerintah Daerah untuk melibatkan Masyarakat Adat Danau Poso dalam setiap proses pengambilan kebijakan mengenai danau.
- Komnas HAM bersama Komnas Perempuan segera melakukan investigasi mendalam, terkait operasional PLTA Poso yang menenggelamkan wilayah sekitar Danau Poso sehingga menyebabkan tercerabutnya akar adat, budaya, dan sumber penghidupan Masyarakat Adat Danau Poso dan mengkondisikan lokasi menjadi ruang yang aman dan kondusif bagi seluruh warga, utamanya anak dan perempuan.
Demikian pernyataan rilis ini kami sampaikan untuk diketahui dan segera ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan dan kewenangan sebagaimana mestinya.
Narahubung:
- Masyarakat Adat Danau Poso : +62 822-9950-2992 (Yombu Wuri)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) : +62 858 5223 3755 (Linda DR)
- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) : +63 999 4120 029 (Dwi Sawung)
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) : +62 812 1879 1131 (Muhammad Arman)
- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) : +62 813 1978 9181 (Melky Nahar)
- Solidaritas Perempuan : +62 812 3610 2978 (Gita Ayu A)
- Gerakan #BersihkanIndonesia : +62 898 9937 398 (Cyva)