Resolusi Bersama
Mewujudkan Pemulihan, Pemenuhan dan Pemajuan Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Wilayah Perbatasan Kalimantan
Pontianak, 24 Oktober 2020
- Kami, perwakilan masyarakat adat, perempuan adat, organisasi masyarakat sipil dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sarawak-Malaysia, dan Inggris peserta Lokakarya Advokasi Pemulihan, Pemenuhan dan Pemajuan Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di Wilayah Perbatasan Kalimantan, pada tanggal 23-24 Oktober 2020, di Hotel Golden Tulip, Pontianak, Kalimantan, diselenggarakan atas kerjasama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat (WALHI Kalbar), Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), dan Forest Peoples Programme (Inggris).
- Peserta lokakarya mendapatkan masukan dan pemaparan substantif dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Perkumpulan Sawit Watch, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Nasional (WALHI Eknas), Sarawak Dayak Iban Association (SADIA), WALHI Kalbar, dan Forest Peoples Programme (FPP).
- Dalam lokakarya ini para peserta saling berbagi perkembangan dan menyampaikan bahwa Masyarakat Adat Dayak dan Masyarakat Lokal lainnya di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara telah dan sedang mengalami berbagai diskriminasi dan masalah-masalah, diantaranya namun tidak terbatas pada (1) Perampasan wilayah – tanah dan hutan adat secara sistematis dan terstruktur melalui investasi perusahaan sawit, hutan tanaman industri (HTI), pembalakan kayu, kawasan hutan dan pertambangan; (2) hegemoni budaya industri yang menggerus nilai-nilai lokal dan pembiasan sejarah tanah yang memutus ikatan masyarakat adat dengan budaya dan alamnya; (3) Kerusakan dan penghancuran lingkungan; (4) Kualitas dan tingkat pendidikan rendah; (5) Human Trafficking atau penyelundupan orang (TKI illegal) khususnya kaum perempuan dan anak dibawah umur; (6) Kemiskinan terstruktur; (7) Ancaman transmigrasi baru; (8) Kaum muda korban dan terpapar dampak kejahatan perdagangan Narkoba; (9) Praktek militerisme dan pendekatan keamanan dilakukan untuk membungkam perlawanan dan resistensi Masyarakat Adat; (10) Percepatan pembangunan proyek infrastruktur jalan paralel tanpa FPIC dan abai ekologis; (11) Kriminalisasi masyarakat adat khususnya peladang; (12) Eksploitasi buruh perempuan masyarakat adat dan masyarakat lokal; (13) Konflik agaria dan konflik sosial; (14) Impunitas korporasi dan pembiaran atas kejahatan korporasi yang melakukan pelanggaran UU dan peraturan perizinan oleh aparat pemerintah dan penegak hukum;
- Peserta perwakilan Masyarakat Adat, Petani dan Buruh perkebunan kelapa sawit yang hadir juga melaporkan bahwa mereka terus mengalami berbagai ketidakadilan, termasuk (15) program transmigrasi Kota Terpadu Mandiri Subah (KTM Subah) mencaplok wilayah adat Kampung Sempuat dan Kampung Ganeng di Desa Balai Gemuruh, Kecamatan Subah; (16) masyarakat Kampung Ganeng dan Kampung Mejo tidak bisa membuat sertifikat hak milik tanah karna ada dalam Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT Putra Lirik Domas (PT PLD); (17) Hutan lindung, transmigrasi dan HGU mencaplok wilayah adat termasuk permukiman, fasilitas dan umum; (18) pengurangan hari kerja warga masyarakat di Kampung Kabile dan warga disekitar PT Mitra Abadimas Sejahtera; (19) pendapatan petani rendah dan dijadikan sebagai alat kemitraan; (20) masyarakat setempat hanya dijadikan buruh kasar; (21) Desa Kaliau dan beberapa desa lain di Kecamatan Sajingan Besar dan komunitas tempat lain wilayah perbatasan masuk dalam hutan lindung sehingga tidak dapat membuat sertifikat hak milik; (22) pemerintah mewajibkan masyarakat bayar pajak atas tanah SPT; (23) beberapa wilayah di Kecamatan Sajingan Besar dan Kecamatan lainnya di perbatasan Kalimantan dijadikan wilayah transmigrasi baru tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat adat; (24) aparat penegak hukum tidak berdaya dan berpihak pada masyarakat; dan (25) masyarakat terancam dan ketakutan memperjuangkan hak;
- Akibat pembangunan dan perluasan perkebunan kelapa sawit PT Sepanjang Inti Surya Utama (PT SISU), PT Bumi Tata Lestari (PT BTL), dan PT Global Kalimantan Makmur (PT GKM) diwilayah mereka, Perempuan Adat Dayak Iban Sebaruk mengalami (26) kehilangan hutan dan sumber daya alam sebagai sumber ekonomi utama; (27) tidak bisa berladang dan tidak dapat memanfaatkan hasil tanah dan lahan; (28) perempuan adat tertindas dan dipaksakan berkerja sesuai dengan target yang ditentukan perusahaan; (29) masyarakat pemilik tanah tidak menjadi karyawan seperti janji perusahaan; (30) pengurangan dan pembatasan hari kerja; (31) hukuman proporsi atau denda pengurangan upah sehingga gaji yang diterima hanya Rp.400,000 per bulan; (32) pemotongan gaji sepihak untuk jaminan hari tua (JHT), BPJS, dan pensiunan; (33) kondisi pekerja perempuan lebih buruk dari buruh kasar bahkan telah menjadi ulun [pelayan] perusahaan sawit yang mirip perlakuan perbudakan modern; (34) intimidasi dan pemaksaan apabila menuntut hak dan keadilan sebagai pekerja; dan (35) perempuan yang berkerja di perkebunan kelapa sawit dibiarkan teraniaya dan ditindas tanpa perlindungan, pengakuan dan pemulihan hak oleh perusahaan dan pemerintah daerah;
- Peserta lokakarya juga menyampaikan keprihatinan atas maraknya kasus kooptasi, manipulasi dan eksploitasi sistem serta kelembagaan adat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit termasuk (36) oknum tokoh masyarakat melakukan jual-beli atau menyerahkan tanah adat dan wilayah adat kepada perusahaan; (37) Oknum Lembaga Dewan Adat mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan tidak ada tanah adat di salah satu desa di Kecamatan Lumar; (38) anak perusahaan Darmex Agro menyatakan tidak ada tanah adat di wilayah adat di Kecamatan Lembah Bawang; (39) Tanah adat Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying diakui oleh SK Bupati Bengkayang namun digusur dan ditanami kelapa sawit oleh PT Ledo Lestari anak perusahaan Darmex Agro; dan (40) pelanggaran, pelecehan dan pengabaian hukum adat oleh PT Permata Lestari Jaya padahal perusahaan mengakui bersalah tetapi tidak mau bertanggung jawab;
- Bahwa kasus-kasus serupa diatas juga dilaporkan dan apabila tidak segera diselesaikan secara tuntas akan berisiko semakin marak terjadi di wilayah lain areal konsesi perkebunan kelapa sawit wilayah perbatasan Kalimantan termasuk di PT Kaliau Mas Perkasa, PT Ceria Prima, PT Borneo Ketapang Permai, PT Semai Lestari, PTPN XIII (BUMN), dan PT Bumi Simanggaris Indah serta perusahaan lainnya di wilayah perbatasan Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat, Kabupaten Mahakam Hulu dan Malinau di Kalimantan Timur, dan Kabupaten Nunukan di Kalimantan Utara;
- Bahwa masalah-masalah aktual perkebunan kelapa sawit diatas merupakan representasi praktek kebijakan dan pembangunan diskriminatif yang berdampak buruk bagi pengakuan, perlindungan, pemulihan, pemenuhan dan pemajuan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan hak asasi manusia masyarakat adat, masyarakat lokal, perempuan adat dan kelompok rentan lainnya, buruh dan petani yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan.
- Bahwa selain masalah perkebunan kelapa sawit korporasi skala besar, peserta lokakarya juga mencatat dan melaporkan masalah-masalah terkait tambang, infrastruktur, pembalakan kayu (HPH), hutan tanaman industri (HTI), rencana program nasional transmigrasi baru untuk industri pangan (food estate) telah dan akan terus menjadi ancaman bagi Masyarakat Adat Dayak dan masyarakat lokal lainnya di wilayah perbatasan termasuk Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat, Kabupaten Mahakam Hulu dan Malinau di Kalimantan Timur, dan Kabupaten Nunukan di Kalimantan Utara.
- Oleh karena itu kami, melalui resolusi ini peserta lokakarya menyatakan konfirmasi, komitmen dan resolusi untuk mendukung laporan yang disampaikan pada tanggal 9 Juli 2020 oleh empat belas (14) organisasi Masyarakat Adat dan HAM di Indonesia bersama Forest Peoples Programme kepada Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Penghapusan Diskriminasi Rasial (UN-CERD) yang meminta agar Komite CERD mempertimbangkan situasi Masyarakat Adat Dayak dan masyarakat adat lainnya di wilayah perbatasan Kalimantan, Indonesia, di bawah Prosedur Peringatan Dini dan Tindakan Segera Komite CERD.
- Melalui laporan kepada Komite CERD PBB ini kami menyoroti kerugian-kerugian besar yang menimpa masyarakat adat untuk pembangunan jalan dan, perkebunan dan pertambangan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia, yang semuanya membawa ancaman kerusakan segera, besar dan tidak dapat diperbaiki terhadap orang Dayak dan masyarakat adat lainnya di wilayah tersebut. Daerah ini kebetulan juga adalah wilayah leluhur dari 1-1,4 juta masyarakat adat Dayak. Beberapa komunitas telah dipindahkan secara paksa dan diperkirakan 300.000 warga adat lainnya terancam penggusuran.
- Bahwa laporan kepada Komite CERD PBB ini juga merupakan tindak lanjut dari laporan-laporan sebelumnya yang diajukan oleh masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil kepada Komite CERD PBB termasuk pada tahun 2007. Menanggapi bukti yang disajikan, Komite CERD PBB mencatat: “dengan keprihatinan pada rencana untuk membangun perkebunan kelapa sawit di sepanjang lebih dari 850 km perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan sebagai bagian dari mega proyek sawit perbatasan, dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki tanah mereka dan menikmati budaya mereka.”
- Namun, pemerintah Indonesia tidak hanya bersikeras dengan rencana ini, yang oleh karenanya terus-menerus mengabaikan hak-hak masyarakat adat dalam prosesnya, namun juga baru-baru ini dan secara dramatis meningkatkan ruang lingkup dan intensitasnya serta telah memulai pembangunan infrastruktur jaringan jalan yang luas untuk memfasilitasi perluasan ini;
- Bahwa kami belum melihat ada perubahan dalam kebijakan atau praktik yang terkait dengan operasi perkebunan kelapa sawit atau penebangun kayu mana pun di wilayah perbatasan, dan pembangunan infrastuktur terkait. Kegawatan situasi ini semakin diperburuk oleh kerangka kerja hukum Indonesia yang memiliki banyak kekurangan karena menyangkut masyarakat adat dan pengabaiannya yang terus-menerus dan mencolok terhadap berbagai keprihatinan dan rekomendasi jangka panjang dari banyak mekanisme pengawasan internasional, Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi, termasuk Komite CERD PBB. Hal ini semakin meyakinkan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil untuk menantang perluasan dan perumusan kembali mega proyek perkebunan sawit perbatasan.
- Koalisi masyarakat sipil – yang semuanya berkerja dengan masyarakat adat di seluruh perbatasan Kalimantan – menemukan pemerintah Indonesia telah gagal untuk mengambil tindakan perbaikan, sejak laporan tahun 2007, dan situasi kian memburuk. Namun, Indonesia mengizinkan situasi ini berjalan terus dan kini mengesahkan dan mendukung perampasan besar-besaran wilayah adat untuk perkebunan dan konsesi perusahaan lainnya di sepanjang perbatasan Kalimantan beserta kerusakan yang tidak dapat diperbaiki yang akan ditimbulkannya;
- Bahwa mega proyek perkebunan sawit perbatasan awalnya dirancang untuk membuka 18 perkebunan kelapa sawit terpisah, masing-masing dengan luasan rata-rata 100.000 hektar, di sepanjang perbatasan internasional Indonesia-Malaysia. Mega proyek perkebunan kelapa sawit perbatasan tidak disetujui atau digagas secara resmi, antara lain, berdasarkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut. Beberapa penelitian ini menemukan bahwa projek itu akan secara besar-besaran menggusur dan membahayakan Masyarakat Adat Dayak dan masyarakat lokal lainnya di daerah perbatasan. Kementerian Pertanian kemudian mengakui bahwa lebih dari 90% wilayah di sekitar perbatasan memang tidak cocok untuk perkebunan kelapa sawit. Meskipun demikian, beberapa tahun kemudian, beberapa perusahaan perkebunan pertama memasuki wilayah perbatasan atas persetujuan Pemerintah Kabupaten dan didukung oleh polisi dan militer.
- Di Kalimantan Timur, sebagai contoh, antara tahun 2012 dan 2016, luas lahan yang diperuntukkan untuk perkebunan kelapa sawit meningkat sebanyak 36% dan kabupaten-kabupaten penghasil kelapa sawit terbesar berada di wilayah perbatasan. Sementara itu jumlah konflik tanah yang tercatat meningkat sangat besar. Laporan ini menyoroti sejumlah studi kasus dari masyarakat yang terkena dampak di seluruh wilayah perbatasan Kalimantan untuk mengarisbawahi hal ini.
- Bahwa salah satu contohnya adalah konflik yang sedang berlangsung antara perusahaan kelapa sawit, PT Ledo Lestari, dan masyarakat Dayak Iban Semunying di Kabupaten Bengkayang di mana puluhan keluarga telah dipindahkan, ditempatkan di 'kamp perusahaan', hutan dan tanah adat mereka diambil alih perusahaan. Masyarakat Adat Dayak Iban di Semunying Jaya sangat menderita dari konflik-konflik berkepanjangan dengan PT Ledo Lestari sejak tahun 2004. Sekitar 8000 hektar tanah yang didalamnya termasuk 1420 ha hutan adat, 30 ha lokasi sawah dan 117 ha kebun warga dari 10,418.63 ha seluruh wilayah adat telah digusur dan ditanami perkebunan kelapa sawit oleh PT Ledo Lestari. Masyarakat menuntut semua dan segera pemulihan hak-hak wilayah adat dan hutan adat yang telah diambil, digarap dan dikuasai PT Ledo Lestari tanpa konsultasi maupun persetujuan sebagaimana diakui dan disimpulkan oleh Negara melalui laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tahun 2016;
- Laporan dan situasi di Kalimantan Timur sama buruknya. Dalam 16 tahun terakhir, perkebunan kelapa sawit telah meluas dari 117.000 hektar menjadi 1,2 juta hektar. Selain itu, saat ini, 71% hutan di Kalimantan Timur telah berada di tangan perusahaan kehutanan, yaitu sekitar 5,9 juta hektar, dan area ini mencakup 642 desa adat. Ini adalah situasi yang lazim terjadi di wilayah perbatasan dan, mengutip Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) PBB, disebabkan oleh hukum dan praktik Indonesia yang diskriminatif yang “menolak hak [masyarakat adat] atas tanah mereka demi hak kepemilikan yang dimiliki Negara” di perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN.
- Di Kabupaten Mahakam Ulu, sebagai contoh, ada dua puluh konsesi penebangan yang tersebar di Mahakam Ulu termasuk satu konsesi yang mencakup sekitar 13.000 hektar tanah leluhur masyarakat adat Dayak Bahau Busaang dari Long Isun. Warga di Long Isun tidak diberitahu sama sekali mengenai masalah ini sampai kegiatan kehutanan dimulai di salah satu area tanah mereka pada tahun 2014. Ketika warga mengeluh, mereka dihadapkan dengan intimidasi dan kriminalisasi. Perwakilan desa ditangkap dan seorang aktivis terkemuka masyarakat dipenjara selama lebih dari tiga bulan. Meskipun berbagai instansi pemerintah mengetahui situasi ini, perusahaan terus beroperasi tanpa hukuman.
- Sementara pembangunan infrastruktur lebih lanjut akan menguntungkan perusahaan-perusahaan ini, hal itu diwujudkan dengan mengorbankan masyarakat adat, yang tanahnya juga akan disediakan untuk ekspansi kelapa sawit.Di Long Isun, misalnya, jalan yang direncanakan akan menembus wilayah leluhur mereka. Jika berjalan terus sebelum hak-hak tanah mereka dilindungi dan diamankan, hal ini bisa membawa konsekuensi menghancurkan yang sangat besar bagi masyarakat.
- Masyarakat Long Isun sedang berjuang untuk pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui Peraturan Daerah Kabupaten Mahakam Ulu; masyarakat secara tegas menolak hadirnya Investasi yang akan masuk kedalam wilayah Long Isun baik perkebunan sekala besar perusahaan sawit dan Penebangan kayu; dan melarang seluruh aktivitas eksploitasi Sumber Daya Alam yang ada dalam wilayah Kampung Long Isun baik secara perorangan maupun Badan Usaha (Perusahaan Besar Swasta), Jenis Sumber Daya Alam Mineral Logam dan Batuan adalah Emas, Perak, Intan, Logam, Bauksit, Timah, Tembaga, Biji Besi dan Nikel. Kemudian Mineral bukan Logam berupa Batu Kapur, Marmer, Belerang, Fosfat, dan Batu Bara.
- Proses yang sama sekarang terjadi di Provinsi Kalimantan Utara yang baru dimekarkan. Perkebunan kelapa sawit dan konsesi lainnya sudah menjadi corak yang menonjol dan mengikuti jaringan jalan daerah perbatasan yang terus berkembang. Bahkan penelitian akademis yang diterbitkan tahun 2019 menyoroti bahwa “jalan raya dan jalur kereta api yang direncanakan ini akan merusak apa yang merupakan blok hutan terbesar yang tersisa,” termasuk wilayah adat yang belum diatur secara hukum yang menjadi bagian luas dari wilayah perbatasan. Karena alasan inilah koalisi masyarakat adat dan masyarakat sipil telah mengirimkan laporan kepada Komite CERD PBB.
- Pengabaian Negara Indonesia terhadap kewajiban perjanjian internasional dalam hal ini tidak dapat dibiarkan terus dan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan yang telah terjadi dan yang akan terus meluas dan meningkat mengundang dan memaksa adanya pengawasan dan tindakan internasional. Terutama setelah krisis COVID-19 yang sedang berlangsung, yang sedang digunakan untuk pembahasan dan pengesahan UU Omnibus Law yang menerapkan proses deregulasi menyeluruh, yang mencakup lebih dari 1.200 amandemen terhadap setidaknya 80 Undang-Undang yang ada. Yang paling utama dari usulan perubahan ini termasuk penghapusan penilaian dampak lingkungan dan sosial sebagai prasyarat untuk penerbitan izin usaha berbagai macam proyek, dari proyek infrastruktur hingga pembangunan pertanian.
- Dengan demikian, perwakilan masyarakat adat, perempuan adat, tokoh masyarakat dan organisasi yang bertanda-tangan yang mengajukan laporan kepada Komite CERD PBB untuk mendesak Pemerintah Indonesia dan DPR RI, para pemangku kepentingan lainnya termasuk perusahaan sawit, hutan tanaman industri, tambang, bisnis pembalakan kayu, transmigrasi baru, lembaga jasa keuangan, dan lembaga internasional lainnya:
Presiden, DPR RI dan Kementerian/Lembaga Negara:
- Segera menangguhkan perkebunan kelapa sawit yang diperluas, operasi perkebunan kelapa sawit atau penebangan hutan mana pun di wilayah wilayah, pembangunan infrastruktur dan transmigrasi baru terkait sampai pemerintah telah mengamankan hak penguasaan dan kepemilikan masyarakat adat atas tanah yang dicakup oleh sistem penguasaan adat mereka dan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (Free, Prior and Informed Consent) masyarakat adat dan masyarakat lokal;
- Mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPMA), setelah menjamin partisipasi dan persetujuan masyarakat adat yang mereka putuskan dengan matang, dan mengamandemen atau memberlakukan Undang-Undang terkait lainnya, termasuk yang berkaitan dengan peradilan yang non-diskriminatif dan efektif serta solusi-solusi lain yang memperhitungkan karakteristik adat (misalnya, mencerminkan hak-hak yang timbul dari sistem penguasaan adat);
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera menindaklanjuti dan memantau kerjasama dan sinergi perkembangan, kemajuan dan pelaksanaan hasil kajian dan rekomendasi Inkuiri Nasional yang hingga saat ini belum dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Kementerian dan Lembaga Negara terkait, Pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten Bengkayang khususnya studi kasus PT Ledo Lestari dan Kabupaten lainnya di wilayah perbatasan Kalimantan. Komnas segera membentuk Inkuiri Nasional untuk penyelidikan dan evaluasi fakta kondisi HAM Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal di wilayah perbatasan Kalimantan;
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak segera evaluasi situasi HAM perempuan dan anak di wilayah perbatasan Kalimantan dan memulihkan hak-hak konstitusional kelompok rentan perempuan dan anak, dan warga negara berkebutuhan khusus di wilayah perbatasan Kalimantan yang terkena praktek dan dampak buruk diskriminasi pembangunan pemerintah dan sektor swasta di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu, Malinau, dan Kabupaten Nunukan;
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera memfasilitasi kerjasama dan sinergi pemerintah terkait dan parapihak untuk percepatan pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal yang telah hidup secara de facto di dalam kawasan hutan sebelum Indonesia merdeka; dan melakukan evaluasi kepatuhan dan pelaksanaan moratorium oleh perkebunan kelapa sawit, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu, Malinau, dan Kabupaten Nunukan;
- Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat segera melakukan tindak lanjut dan evaluasi terhadap kepatuhan dan perizinan rencana proyek infrastruktur strategis nasional di wilayah perbatasan Kalimantan; merevisi atau mencabut rencana proyek infrastruktur di wilayah perbatasan Kalimantan yang tumpang tindih dengan wilayah adat, lahan pertanian pangan, pemukiman, pemakaman umum, dan fasilitas umum lainnya;
- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi melakukan evaluasi kepatuhan dan penerapan kebijakan Clean dan Clear wilayah transmigrasi lama yang ada dan menangguhkan program nasional transmigrasi baru di wilayah perbatasan Kalimantan. Merevisi atau mencabut program nasional transmigrasi baru di wilayah perbatasan Kalimantan yang tumpang tindih dengan wilayah adat, lahan pertanian pangan, pemukiman, pemakaman umum, dan fasilitas umum lainnya;
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan tindak lanjut dan evaluasi terhadap kepatuhan, kesesuaian dan kelayakan perizinan pertambangan di wilayah perbatasan Kalimantan; merevisi atau mencabut izin lokasi dan konsesi pertambangan di wilayah perbatasan Kalimantan yang tumpang tindih dengan wilayah adat, lahan pertanian pangan, pemukiman, pemakaman umum, dan fasilitas umum lainnya;
- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional segera melakukan tindak lanjut dan evaluasi terhadap kepatuhan dan perizinan perkebunan kelapa sawit; merevisi atau mencabut izin lokasi (IL) dan hak guna usaha (HGU) di wilayah perbatasan Kalimantan yang tumpang tindih dengan wilayah adat, lahan pertanian pangan, pemukiman, pemakaman umum, dan fasilitas umum lainnya;
- Kementerian Pertanian Republik Indonesia segera melakukan tindak lanjut dan evaluasi terhadap kepatuhan dan perizinan izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit; merevisi atau mencabut izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit di wilayah perbatasan Kalimantan yang tumpang tindih dengan wilayah adat, lahan pertanian pangan, pemukiman, pemakaman umum, dan fasilitas umum lainnya;
- Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) mematuhi konstitusi dan segera menghentikan segala bentuk pendekatan militerisme, represifitas, pembungkaman, intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, masyarakat lokal, petani, dan buruh perkebunan di wilayah perbatasan Kalimantan.
Pemerintah Pronvisi dan Pemerintah Kabupaten di Wilayah Perbatasan
- Segera menyusun, mengesahkan dan menjalankan Peraturan Daerah dan produk hukum lainnya yang diperlukan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten untuk Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat;
- Segera menyusun target capaian dan hasil kebijakan moratorium dan program peningkatan produktivitas perkebunan sawit oleh pemerintah yang lebih jelas dan terukur serta memiliki waktu dan lokasi (kabupaten/kota) pencapaian target tersebut;
- Meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres moratorium serta data penggunaan lahan dan izin perusahaan perkebunan sawit;
- Melibatkan lintas pemangku kepentingan untuk pelaksanaan dan pengawasan moratorium sawit, organisasi masyarakat sipil, petani, buruh dan organisasi lintas keagamaan;
- Membuat skema dana bagi hasil yang berkeadilan antara daerah penghasil sawit dengan pemerintah pusat agar daerah memiliki dorongan untuk mengawasi dan membangun perkebunan sawit yang berkelanjutan dan berkeadilan;
- Membuat peta jalan (road map) satu pintu pelaksanaan moratorium sawit. Hal ini diperlukan untuk mengefektifkan proses moratorium sawit sehingga tidak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran;
- Melaksanakan percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial sesuai dengan mandat konstitusi dan UU Nomor 39 tahun 1999;
Lembaga Keuangan Nasional dan Internasional
- Meninjau dampak investasi dan pembiayaan keuangan terhadap kondisi sosial, lingkungan, buruh dan hak asasi manusia Masyarakat Adat Dayak dan masyarakat lokal lainnya, petani dan buruh perkebunan di wilayah perbatasan Kalimantan;
- Menangguhkan dan mencabut investasi dan pembiayaan yang terbukti melanggar hak buruh, petani, masyarakat adat, merusak lingkungan dan deforestasi;
- Mengembangkan dan menerbitkan kebijakan lingkungan, sosial, HAM dan tata kelola (environmental and social governance) yang tegas dan berlaku untuk semua pembiayaan, menerapkan uji tuntas yang lebih tegas, dan meningkatkan prosedur keterbukaan informasi dan pengaduan;
Perusahaan, asosiasi bisnis dan organisasi kerjasama ekonomi internasional
- Hentikan segala bentuk relasi bisnis yang melibatkan kekerasan, intimidasi, pelecehan, pembungkaman, kriminalisasi dan adu domba terhadap pembela hak asasi manusia (human rights defenders), pejuang lingkungan hidup, masyarakat adat dan masyarakat lokal, petani sawit, dan buruh perkebunan di wilayah perbatasan Kalimantan;
- Memastikan relasi bisnis dengan perusahaan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), tambang dan transmigrasi lama khususnya yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan wajib menjalankan FPIC dan menghormati HAM masyarakat adat dan masyarakat lokal, petani, buruh, perempuan dan anak, dan tidak merusak lingkungan dan hutan;
- Korporasi dan rantai pasok anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Forest Stewardship Council (FSC), dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendorong pemulihan dan pemajuan HAM bagi masyarakat adat, masyarakat lokal, petani dan buruh perkebunan di wilayah perbatasan Kalimantan;
- Pembeli minyak sawit dan rantai pasok internasional wajib memastikan minyak sawit yang dibeli tidak melanggar HAM Masyarakat Adat Dayak dan masyarakat lokal lainnya, petani dan buruh perkebunan sawit di wilayah perbatasan Kalimantan;
Penutup
- Mendesak Presiden, Kementerian dan Lembaga Negara terkait, DPR RI, DPD RI dan DPRD, Gubernur, Bupati dan instansi pemerintah daerah terkait agar memastikan Negara dan pemerintah nyata hadir melalui kebijakan, peraturan, kapasitas, sumber daya, dana dan manusia mewujudkan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial terhadap Masyarakat Adat dan masyarakat lokal lainnya di wilayah perbatasan Kalimantan;
- Kami akan memantau dan evaluasi upaya nyata semua pihak berkepentingan termasuk korporasi, lembaga jasa keuangan, rantai pasok dan pasar minyak sawit serta sektor lainnya terkait pengakuan, perlindungan, penghormatan, pemulihan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia (HAM) masyarakat adat dan masyarakat lokal di wilayah perbatasan Kalimantan.
Pontianak, tanggal 24 Oktober 2020
Organisasi dan Peserta Lokakarya:
- Perempuan Adat Iban Sebaruk
- Masyarakat Adat Dayak Salako
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN)
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Wilayah Kalimantan Barat, Pontianak, Kalimantan Barat
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Daerah Bengkayang, Singkawang dan Sambas, Bengkayang, Kalimantan Barat
- Institut Dayakologi (ID), Pontianak, Kalimantan Barat
- Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Pontianak, Kalimantan Barat
- Lembaga Bentang Alam Hijau (LemBAH), Pontianak, Kalimantan Barat
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, DKI Jakarta
- Perkumpulan Nurani Perempuan (PNP), Samarinda, Kalimantan Timur
- Perkumpulan Sawit Watch, Bogor, Jawa Barat
- Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), DKI Jakarta
- Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), DKI Jakarta
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, WALHI Eksekutif Nasional, DKI Jakarta
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat (WALHI Kalbar), Pontianak, Kalimantan Barat
- Yayasan Padi Indonesia, Kalimantan Timur
- Forest Peoples Programme (Inggris)
- Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Jakarta
- Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK)
- Perkumpulan Petani Kelapa Sawit (PPKS)
- Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE), Keuskupan Agung Pontianak
- Koalisi Organisasi Masyarakat Percepatan Reforma Agraria (KOMPRA)
- Link-AR Borneo
- Riak Bumi
- Green of Borneo
- WALHI Kalimantan Timur