Siaran Pers WALHI “Konsesi yang diberikan kepada swasta, maupun BUMN, kalau ditengahnya ada Desa atau Kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ, kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsesi . Siapapun pemilik konsesi itu, berikan, berikan kepada masyarakat, kampung, desa kepastian hukum. Saya sampaikan, kalau yang diberikan konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya, saya sudah perintahkan ini, cabut seluruh konsesinya.” -Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, pada Rapat Terbatas Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan- Jakarta, Senin, 06 Mei 2019— Presiden Joko Widodo pada Jumat, 3 Mei 2019 dalam pembukaan Rapat Terbatas “Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan” memberikan arahan tegas kepada para menterinya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada rakyat dalam kondisi konflik agraria yang terjadi. Presiden bahkan secara tegas meminta untuk mencabut seluruh konsesi perusahaan swasta atau BUMN apabila pemegang hak konsesi mempersulit upaya percepatan pemulihan hak rakyat dalam konflik yang terjadi. Berdasarkan catatan WALHI, pernyataan Presiden tersebut bukan merupakan pernyataan pertama guna merespon situasi konflik agraria dan sumber daya alam. B Hal seperti ini telah disampaikan Presiden dalam Janji Politik Nawa Cita Jilid I hingga adanya penerbitan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA). Sayangnya, pada Rapat Terbatas kali ini, Presiden kembali terjebak dengan memberikan apresiasi kepada Menteri Sofyan yang mencatatkan diri sebagai menteri yang paling gagal dalam mendorong penyelesaian konflik agraria. Hal ini bisa dilihat dari keengganan Kementerian ATR/BPN untuk menerbitkan paket regulasi penyelesaian konflik sebagaimana diamanatkan oleh Perpres Nomor 79/ 2017 tentang RKP 2018 dan Perpres RA. Lebih buruk, Kementerian ATR/BPN juga enggan tunduk pada Putusan MA untuk membuka tranparansi data HGU, sehingga menghambat identifikasi tumpang tindih wilayah kelola rakyat dengan lokasi HGU bermasalah. “Pernyataan Presiden pada Jumat lalu di Rapat Terbatas patut diapresiasi. Namun kali ini Presiden Jokowi harus menaruh perhatian khusus pada persoalan tersebut. Jangan sampai, pernyataan ini sekadar mewarnai pemberitaan media belaka, ia harus menjadi pernyataan yang disertai kebijakan dan tindakan konkrit yang pelaksanaannya dipimpin oleh Presiden langsung,” ujar Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI. Catatan Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam Hingga 2018, WALHI mencatat terdapat 555 konflik/kasus agraria dan sumber daya alam yang dilaporkan kepada KSP. Adapun rinciannya dapat diihat dari olahan tabel di bawah ini.
Sumber Data : Olahan Laporan Konfik SDA ke KSP Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sektor perkebunan dan kehutanan merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan. Posisi puncak laporan di sektor perkebunan menurut WALHI tidak terlepas dari ketiadaan paket regulasi untuk penyelesaian konflik di sektor ini dan diperparah dengan Kementerian ATR/BPN sebagai regulator dan penerbit izin yang cenderung lebih tertutup dibandingkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain tidak tunduk pada dua amanat Perpres, Kemeterian yang dipimpin Sofyan Djalil ini malah memilih melakukan Nota Kesepahaman dengan Kepolisian dan Kejaksaan guna menangani konflik agraria yang terjadi. Pilihan kebijakan ini tidak diambil berdasarkan kondisi faktual yang memperlihatkan sebagian besar konflik agraria menggunakan kekuatan oknum-oknum penegak hukum, khususnya kepolisian guna membungkam perlawanan rakyat untuk mempertahankan tanah, hutan, laut dan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupannya. Masih tingginya angka konflik agraria di kawasan hutan tidak terlepas dari fakta penggunaan lahan paling tinggi untuk kepentingan investasi di daratan Indonesia berada di kawasan hutan. Penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.84/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan tidak bisa meredam konflik yang terjadi. Terlebih Peraturan Menteri terkait Perhutanan Sosial membatasi akses usulan yang berada di wilayah areal kerja perusahaan, walaupun masyarakat terlebih dahulu tinggal/eksis di wilayah usulan tersebut. Berdasarkan sebaran daerah dampingan WALHI di 20 provinsi, tercatat 487.595,42 hektar konflik agraria yang paling tidak melibatkan 58.094 jiwa (Riau, Sumsel dan Kalsel). Kondisi ini mengakibatkan rakyat tidak dapat memperoleh akses legal, digusur dan terancam tergusur. Adapun rinciannya ialah:
- Sektor Kehutanan, masyarakat di 7 provinsi di luar Pulau Jawa (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Kalimantan Timur) tidak bisa memperoleh akses legal yang dimohonkan melalui Perhutanan Sosial dan/ atau terancam terusir dari kampungnya dengan luas wilayah konflik seluas 192.945,17 hektar. Sedangkan di Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur), konflik warga dengan Perhutani seluas 5122,5 hektar.
- Sektor Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, tercatat konflik di 4 provinsi (DKI Jakarta, Bali, NTT dan Sulawesi Selatan) dengan luas 1.237 hektar.
- Sektor Perkebunan, tercatat luas konflik di 10 provinsi (Aceh, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Maluku Utara) adalah 171.823,47 hektar.
- Sektor Pertambangan migas, mineral dan batubara, tercatat terjadi konflik di 5 provinsi (Aceh, Bengkulu, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah) tidak hanya terancam terusir, namun masyarakat juga terancam Total luas wilayah konfliknya adalah 51.491, 78 hektar.
- Infrastruktur energi, tercatat konflik di 5 provinsi (Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat) seluas 3.106 hektar.
Memperhatikan luasan konflik agraria dan sumber daya alam di atas, sepatutnya Presiden Jokowi turun secara langsung mengakselerasi proses penyelesaian konflik yang berujung pada pemulihan hak rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup. “Apabila Presiden tidak mau melihat rakyat mengalami kejadian penggusuran seperti yang dialaminya pada masa lalu, maka ia harus memimpin secara langsung perjuangan penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia. Terlebih kondisi ini sudah terjadi dari masa ke masa pemerintahan, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka,” ujar Ode Rahman, Kordinator Kampanye WALHI. Evaluasi Perizinan dan Penegakan Hukum Luas wilayah konflik agraria dampingan WALHI belum mencakup seluruh wilayah konfliki dampingan organisasi masyarakat sipil lain dan/ atau wilayah konflik yang rakyatnya melakukan perjuangan secara mandiri. Hal ini tentunya berimplikasi luas, wilayah konflik agraria dan sumber daya alam yang dipaparkan WALHI hanya cuplikan kecil dari total wilayah konflik. Memperhatikan luas konflik yang sangat besar tersebut, maka dibutuhkan skema kebijakan induk yang mampu mengakomodir tiap tindakan yang akan dilakukan negara guna memulihkan hak rakyat yang telah atau akan dirampas oleh rakusnya investasi. Perintah tegas Presiden untuk menyelesaikan konflik guna memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada masyarakat, tentunya harus didasarkan pada tindakan dengan dasar hukum yang jelas. Skema evaluasi perizinan secara menyeluruh berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kondisi faktual konflk agraria dan sumber daya alam tentunya harus dilakukan. Secara umum, dasar hukum evaluasi perizinan terkait dengan konflik tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bahkan TAP MPR tersebut sebenarnya juga memerintahkan kepada Presiden untuk melakukan evaluasi keseluruhan peraturan perundangan yang tidak merefleksikan semangat pembaruan agraria dan sumber daya alam. Secara teknis, terdapat beberapa peraturan teknis terkait konflik dan evaluasi perizinan di tingkat K/L. Hanya saja berbagai peraturan tersebut belum mampu mengakomodir pemulihan hak rakyat dan keberlangusngan lingkungan hidup secara maksimal. Guna melangsungkan perintah Presiden pada Rapat Terbatas, maka ia harus menerbitkan aturan yang menjadi dasar K/L untuk melaksanakan upaya percepatan penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam. Selanjutnya, Presiden juga harus memimpin proses-proses penegakan hukum terhadap perusahaan dan penyelenggara negara yang memfasilitasi penerbitan perizinan yang tidak sesuai dengan kriteria peraturan perundangan dan tidak tunduk pada nilai kemanusiaan dan keberlanjutan lingkungan hidup. Penegakan hukum yang tegas, baik secara perdata, pidana dan administrasi akan memberikan preseden ketegasan sekaligus efek jera terhadap praktik buruk pengelolaan dan penerbitan perizinan. “Penerbitan dasar hukum yang lebih teknis dalam melakukan evaluasi perizinan industri eksraktif yang selama bertahun-tahun merampas sumber kehidupan rakyat harus dilakukan Presiden. Selanjutnya, Presiden selaku kepala negara harus memimpin proses penegakan hukum kepada perusahaan dan penyelenggara negara yang terlibat dalam praktik kotor proses penerbitan izin dan pengelolaan sumber agraria yang tidak ramah lingkungan dan kemanusia,” tutup Nur Hidayati. Rekomendasi WALHI Merujuk pada pernyataan Presiden pada Rapat Terbatas 03 Mei 2019 dan paparan situasi konflik di atas, maka WALHI meminta kepada Presiden Republik Indonesia:
- Membentuk Kelembagaan Khusus Reforma Agraria yang posisinya setingkat Kementerian yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden;
- Menerbitkan Peraturan Pemerintah atau paling tidak Peraturan Presiden yang secara teknis mengatur mengenai dorongan evaluasi perizinan industri ekstratif berdasarkan persoalan konflik agraria dan sumber daya alam;
- Mengganti para Menteri dalam Kabinet Kerja yang terlibat dalam konflik agraria dan sumber daya alam;
- Memerintahkan kepada K/L evaluasi perizinan industri eksraktif secara menyeluruh berdasarkan persoalan konflik agraria dan sumber daya alam;
- Menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin secara keseluruhan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam yang berada di areal konsesinya;
- Memerintahkan kepada Polri, KLHK dan Kejaksaan untuk menghentikan proses penegakan hukum terhadap rakyat akibat konflik agraria dan sumber daya alam.