Pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam bebererapa tahun ini melakukan upaya revisi Permen LH 21 tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi(BME) pembangkit listrik tenaga Thermal. BME pltu batubara didalam permen LH 21 sendiri masih menggunakan angka yang sangat besar sekali SO2 750 mg/Nm3, NO2 750 mg/Nm3, Total partikulat 100. Didalam permen tersebut juga tidak mengatur soal pm 2,5 dan merkuri. Standar yang sangat lemah ini yang membuat revisi harus dilakukan. Tetapi dalam proses revisi pelibatan publik atau masyarakat dalam proses revisi tidak terlihat. Pada akhir tahun lalu kami mengetahui ada dua proses konsultasi publik revisi permen yang melibatkan pelaku industri(pemilik pembangkit), kami mengirimkan surat permohonan informasi terhadap proses konsultasi publik tersebut. Pada bulan januari kami memperoleh balasan berupa draf revisi permen tersebut. Dari hasil bacaan kami terhadap draft tersebut ada beberapa kelemahan dari draft permen BME pembangkit thermal. Ada tiga kategori dalam draft tersebut. Kategori pertama untuk PLTU yang beroperasi sebelum 1 Desember 2008. Kategori dua untuk PLTU yang perencanaan atau beroperasi setelah 1 Januari 2009 sampai dengan 31 desesember 2020. Kategori ketiga untuk PLTU yang beroperasi setelah 1 januari 2021. Secara praktis tidak ada pltu yang akan masuk kedalam kategori 3 karena semua pltu sudah ada didalam perencanaan. Praktis semua PLTU berada didalam kategori satu dan dua. Angka-angka didalam tabel tersebut juga masih terlalu tinggi.
Jika kita bandingkan dengan China dan India terdapat perbedaan yang sangat jauh sekali. China untuk pembangkit yang sudah beroperasi So2 200 sedangkan yang baru 100, angka Nox untuk yang baru 100 sedangkan yang beroperasi (2004-2011) dengan angka 100 dan sebelum tahun 2004 diangka 200. Dalam draft yang kami terima kami tidak mengetahui dari mana angka-angka tersebut berasal. Basis ilmiah apa yang diambil untuk menetapkan angka tersebut. Apakah dari penelitian kesehatan terbaru? Ataukah dari hasil negosiasi dengan pembangkit? Kami melihat perkembangan teknologi terbaru alat pengendali pencemaran udara yang tersedia dipasar saat ini mampu menekan ke angka yang lebih ketat lagi.
Ataukah pemilik pembangkit tidak bersedia mengeluarkan uang untuk memperbaharui alat pengendali pencemaran udara mereka? Disinilah letak pentingnya konsultasi publik secara terbuka untuk menunjukan proses keputusan angka baku mutu udara memihak kepentingan kesehatan publik bukan berdasarkan keinginan pihak industri saja. Penetapan kategori yang menurut kami sangat janggal membuat peraturan ini seperti berusaha membuat tidak ada PLTU yang akan masuk dalam kategori ketiga yang memiliki standar baku mutu yang lebih ketat. Satu hal lain tidak mencantumkan parameter pm 2,5 kedalam baku mutu padahal penelitian dunia medis terbaru sudah menyebutkan pm 2,5 sebagai ancaman kesehatan dari emisi pembangkit. Banyak negara juga sudah mencantumkan pm 2,5 sebagai standar baku mutu. Didalam draft yang kami terima juga tidak ada kewajiban memasang CEMS(continous emmission monitoring system) padahal dengan adanya CEMS yang terhubung langsung dengan server pemantau terpusat membuat sumber emisi sulit untuk mempermainkan angka pemantauan Dari hasil bacaan kami draft revisi permen ini masih lemah dan belum layak untuk ditetapkan menjadi permen dan memerlukan pelibatan publik untuk menentukan angka yang lebih memperhatikan dampak kesehatan publik. Nara hubung: Dwi Sawung (Pengkampanye Energi Dan Urban WALHI 08156104606)