Release Pers
“Selamatkan Rimba Terakhir Batang Toru”
“Daerah Rawan Bencana, Mitigasi Bencana di Abaikan”
Secara geografis, kawasan Hutan Batang Toru terletak antara 98º 50’-99º 18’ Bujur Timur dan 1º 26’-10º 56’ Lintang Utara. Secara administrasi terletak di tiga Kabupaten yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara. Luas kawasan Hutan Batang Toru diperkirakan seluas 168.658 hektar yang didalamnya termasuk Hutan Lindung Sibolga seluas 1.875 hektar, Cagar Alam Dolok Sipirok seluas 6.970 hektar dan Cagar Alam Sibual Bual seluas 5.000 hektar. Kawasan Hutan Batang Toru meliputi Hutan Batang Toru Blok Barat dan Hutan Batang Toru Blok Timur dengan total habitat alami yang ada diperkirakan seluas 120.000 hektar. Kawasan Hutan Batang Toru termasuk tipe hutan pegunungan rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1000 mdpl, hutan batu kapur, hutan berlumut dan juga bisa ditemukan beberapa rawa di ketinggian 800 mdpl. Hutan hujan primer mendominasi tutupan vegetasi yang mengakar di lereng bukit curam dengan kemiringan lebih dari 60%.
Walhi Sumatera Utara telah melakukan Advokasi penyelamatan Hutan Batang Toru semenjak hadirnya Industri Ekstraktif di Kawasan Hutan Batang Toru seperti Tambang, Perkebunan dan Pembangunan PLTA Batang Toru. terkait Pembangunan PLTA Batang Toru Walhi Sumut telah melakukan advokasi terhadap keberadaan lokasi pembangunan PLTA Batang Toru, mulai tahun 2017 – 2021 Walhi Sumut masih konsisten memberikan kritikan dan masukan kepada Pemerintah Daerah, Nasional agar memberikan perhatian secara pengawasan. Pada Tahun 2018 Walhi melayangkan Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan terkait Izin Lingkungan Pembangunan PLTA Batang Toru. Adapun Point-point Gugatan Walhi Sumut salah satunya sebagai Berikut :
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: berbunyi kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir. Bahwa berdasarkan fakta, analisis Ahli dan data yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui BMKG bahwa daerah landscape Batang Toru merupakan Zona Sesar Sumatera, Sesar Toru (Ring of Fire), dibuktikan dengan telah terjadi peristiwa 15 gempa bumi besar (magnitudo> 7) telah terjadi di dalam dan sekitar pulau Sumatera sejak tahun 2000. Kemudian 'Gempa Bumi Tapanuli' berkekuatan 7,5 - 7,7 skala Richter tahun 1892 melanda segmen Angkola di Zona Sesar Sumatera, yang membentang dalam beberapa kilometer dari lokasi bendungan. Berdasarkan analisis Walhi Sumatera Utara melalui Analisi Dokumen Amdal PT. NSHE mendapatkan beberapa temuan yang tidak tertuang secara detail di dokumen, salah satunya terkait Mitigasi Bencana dalam pembangunan PLTA Batang Toru. berdasarkan Andal PLTA bab 2 Hal 107–117 yang menyatakan wilayah yang paling berbahaya akibat gempa tektonik adalah wilayah-wilayah yang secara geologi lemah. Untuk Pulau Sumatera, wilayah ini ada pada sepanjang Punggungan Bukit Barisan melalui Sesar Besar Sumatera (Sumatra Fault System) dan di sepanjang zona subduksi pantai barat Sumatera. Data statistik menunjukkan telah ratusan kali pantai barat Sumatera dilanda gempa tektonik skala besar dan kecil;
Kemudian Peta Geologi menunjukkan bahwa lokasi proyek pembangunan PLTA Batang Toru sangat dekat dengan Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) yang aktif dan sering bergerak (lihat Peta terlampir). Selain itu rangkuman data historis gempa adalah sebagai berikut:
Kebanyakan gempa terjadi di bawah dasar laut di sebelah barat dari Sumatera. Namun cukup banyak gempa terjadi di daratan Pulau Sumatera. Sejak 1919, tercatat 1.656 gempa di daratan Sumatera. Dari jumlah ini, 947 gempa (atau 57%) terjadi di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Sejak 1965, 60 di antara gempa tersebut terjadi dalam radius 25 km dari lokasi rencana bendungan. Di antara keenam puluh gempa tersebut, yang paling besar berskala 6.0 dan hanya 10 km di bawah permukaan bumi terjadi pada tahun 2008 hanya 4,1 km dari lokasi bendungan.
Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun Walhi Sumut yang termuat dalam Gugatan dan masukan kepada pemerintah bahwa Walhi Sumut telah mengingatkan Perlu adanya “Mitigasi Kebencanaan pada wilayah rawan bencana” perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh pada izin industri-industri ektraktif yang berada dikawasan Hutan Batang Toru. Dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar di dalam kawasan Hutan Batang Toru memperburuk kondisi dan meningkatkan persentasi kerusakan kawasan Hutan Batang Toru. Salah satu yang WALHI Sumatera Utara soroti adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, PT Agincourt Resources, PT Gruti, PT. Aneka Tambang, PT. Inti Cipta Jaya Tambang, PT. Panca Karya Prima Agung, PT. Surya Kencana Pertiwi Tambang, PT SOL dan Industri Perkebunan. Kehadiran korporasi ini dikhawatirkan akan mengancam keberlangsungan ekosistem hutan serta menyebabkan besarnya potensi bencana ekologis yang terjadi akibat pembukaan lahan yang cukup luas dan pembersihan lahan di sepanjang DAS Batang Toru yang notabene merupakan habitat bagi satwa serta sumber penghidupan bagi masyarakat.
Direktur Walhi Sumut “Bentang Alam Batang Toru ini merupakan rimba terakhir yang dimiliki Sumatera Utara. Tentu kita berharap areal ini terus dilestarikan dan dijaga dari aktivitas pembangunan atau proyek yang tidak berkelanjutan. Batang Toru ini unik dengan spesies kunci yaitu Orangutan Tapanuli dan keanekaragaman lain yang terkandung di dalamnya. Jangan sampai proyek-proyek infrastruktur dan industri ekstraktif mengancam keanekaragaman hayati Batang Toru kebanggaan kita ini. Negara harus memerhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dan keadilan antara generasi dalam mengembangkan proyek infrastruktur maupun penerbitan izin konsesi”. Walhi Sumater Utara telah menyampaikan jauh-jauh hari sebelum peristiwa longsor yang memakan korban bahwa tidak adanya mitigasi bencana PT. NSHE sesuai Analisi Dokumen Amdal Pembangunan PLTA Batang Toru dan merupakan Dalil Gugatan Walhi terhadap izin lingkungannya sehingga analisis Walhi-Sumut terbukti dengan Bencana Longsor di Lokasi Pembangunan PLTA Batang Toru.
Menyikapi terkait bencana longsor yang terjadi di areal Proyek PLTA Batang Toru hari ini, WALHI Sumatera Utara sudah menduga hal tersebut akan terjadi. Sejak awal proses pembangunan WALHI Sumatera Utara khawatir jika proyek tersebut diteruskan akan menimbulkan bencana ekologis di kawasan hutan Batang Toru. Apalagi diketahui bahwa wilayah tersebut merupakan daerah rawan gempa dengan kontur tanah yang labil. Bahwa lokasi pembangunan PLTA Batang Toru berada di zona merah dekat dengan patahan, artinya lokasi pembangunan PLTA Batang Toru berpotensi menimbulkan bencana ekologis baru yang berdampak pada sosio-ekologis masyarakat. Seperti diketahui, ini bukan kejadian pertama di mana sebelumnya pada desember 2020 juga terjadi longsor yang menyebabkan hilangnya operator excavator.
Adapun yang menjadi sikap WALHI Sumatera terhadap Lansekap Batang Toru yang menjadi Rimba Terakhir Sumatera Utara adalah:
- STOP pembangunan di wilayah rawan bencana
- Evaluasi proyek-proyek yang beroperasi di Lansekap Batang Toru
- Usut tuntas bencana longsor yang terjadi di areal proyek PLTA Batang Toru
- Laksanakan pencegahan dan penegakan hukum terhadap potensi dan ancaman degradasi Lansekap Batang Toru dari aktivitas industri ekstraktif dan eksploitatif; dan
- Perbaiki tata kelola perizinan proyek di Lansekap Batang Toru
- Bahwa pembangunan PT.NSHE minim mitigasi kebencanaan.