slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercayaagen slot gacorslot gacorslot gacor viralslot pulsaslot gacor maxwinslot danasitus slot gacor
Selamatkan Sungai Jakarta dari Bahaya Betonisasi Berkedok New Normalisasi | WALHI

Selamatkan Sungai Jakarta dari Bahaya Betonisasi Berkedok New Normalisasi

Siaran Pers Koalisi Pemulihan Ekosistem Ciliwung
(Komunitas Ciliwung, WALHI DKI Jakarta dan KruHa)

Selamatkan Sungai Jakarta dari Bahaya Betonisasi Berkedok New Normalisasi

Jakarta, 5 Juni 2020- Ibukota Jakarta pada awal tahun 2020 dilanda banjir besar yang salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan sungai utama Jakarta menjalankan fungsinya. Kondisi sungai Jakarta yang merupakan entitas tak terpisahkan dari kehidupan keseharian warga dalam kondisi kritis. Rusaknya kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), penyempitan sungai, penumpukan sampah dan tingginya curah hujan saling berkelindan menjadi sebab semakin parahnya banjir Jakarta.

Demi mengatasi persoalan banjir, pemerintah menempuh jalan dengan melakukan normalisasi sungai, terutama di Sungai Ciliwung karena menjadi salah satu sungai dengan luapan air terparah. Proyek normalisasi Ciliwung dalam bentuk proyek betonisasi sempadan sungai telah berlangsung sejak tahun 2013. Proyek normalisasi yang menelan biaya sebesar 800 miliar kemudian macet terhenti pada 2017. Total sepanjang 16 kilometer sempadan sungai telah dinormalisasi/ dibetonisasi dari target 33 kilometer.

Betonisasi Sungai Ciliwung yang dilakukan dari mulai kawasan TB Simatupang hingga Manggarai merusak ekosistem dan bukan solusi penangkalan banjir. Normalisasi sungai dengan betonisasi akan membuat aliran sungai semakin cepat dan sungai akan semakin cepat mengalami pendangkalan. Banjir Jakarta di awal tahun 2020 menjadi bukti bahwa proyek betonisasi berkedok normalisasi Ciliwung justru memperparah kondisi banjir. Ironisnya, kegagalan betonisasi Ciliwung justru hendak direplikasi di 13 sungai lain yang bermuara di teluk Jakarta seperti Pesanggrahan, Angke, hingga Sunter.

Sudirman Asun dari Ciliwung Institute mengatakan bahwa betonisasi sungai adalah solusi keliru mengatasi banjir untuk jakarta. Proyek ini justru menggusur RTH dan mempersempit daya tampung sungai. Kapasitas sempadan sungai adalah ruang ekosistem pasang surut air, tempat parkir sementara ketika siklus musim sungai meluap. Menyesaki flood plain dengan bangunan beton jalan inspeksi yang berfungsi sebagai kapasitas daya tampung sungai akan menambah komplikasi banjir makin parah, akumulasi beban banjir akan tanggungan kampung-kampung hilir dibawahnya, apalagi ditambah persoalan kawasan hilir di utara yang rata-rata berada di bawah permukaan laut.

“Air sungai untuk mengalir ke laut saja terkendala pasang surut air laut (rob), menyediakan ruang hijau sempadan sungai di selatan jakarta sebagai dataran banjir akan membantu meminimalisasi banjir di hilir, memberi jeda waktu kepada rumah pompa di muara untuk memompa air sungai keluar." tambah Sudirman Asun.

Banjir 2020 di Ibukota Jakarta melahirkan perdebatan yang cenderung politis antara solusi banjir melalui normalisasi atau dengan naturalisasi. Pada tahun 2019, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air Secara Terpadu melalui Naturalisasi. Sayangnya substansi dari Pergub tersebut hanya bisa diterapkan di sungai yang menjadi kewenangan Provinsi. Sedangkan pengelolaan Ciliwung merupakan kewenangan Pusat dengan kebijakannya tersendiri (normalisasi/betonisasi).

Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHa) menyatakan bahwa DKI Jakarta merupakan contoh rendahnya daya tahan air akibat buruknya pengelolaan air. Sungai utama Jakarta terus dirusak dan berakibat pada rendahnya kemampuan ketersediaan sumber air dan lemahnya daya dukung alamiah dalam memitigasi bencana hidrometeriologi. Banjir DKI seringkali
bukan karena problem alamiah akan tetapi akibat kebijakan pengelolaan yang buruk. Hal ini mengindikasikan pola pelanggaran Hak atas Air yang sistematis dan (seharusnya) dapat dicegah.

“Carut marut pengelolaan air tercermin dari adu retorika sesat antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah DKI terkait ‘normalisasi’ atau ‘naturalisasi’ Sungai Ciliwung yang mereduksi kompleksitas Ciliwung menjadi perdebatan teknis semata. Normalisasi ataupun naturalisasi sebagai kedok betonisasi sungai harus dikritik dan dilampaui karena merupakan solusi keliru penanganan banjir Jakarta.” tambah Reza.

Di tengah kritik terhadap keberadaan jalan inspeksi di sempadan sungai karena menghilangkan keanekaragaman hayati flora dan fauna. Pemerintah Pusat justru mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 tahun 2020 yang menggantikan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 yang salah satu isinya memperbolehkan pembangunan jalan inspeksi di sempadan sungai.

Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi meminta pemerintah menghentikan proyek betonisasi berkedok normalisasi karena tidak memiliki manfaat ekologis, bahkan merusak fungsi ekologis ekosistem sungai. “Pembangunan jalan inspeksi di ruas proyek normalisasi sungai bertentangan dengan peraturan yang menetapkan sempadan sungai sebagai kawasan lindung yang tertuang dalam Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai.” Imbuh Tubagus Soleh Ahmadi.

Abdul Kodir, Pegiat Komunitas Ciliwung mengatakan bahwa solusi banjir di alur sungai harus diganti dengan solusi banjir melalui pengurangan aliran permukaan (run off) skala DAS dengan melibatkan masyarakat. Gerakan pengurangan run off skala DAS akan mengurangi bagian air hujan yang masuk sungai sehingga menurunkan debit puncak dan akan menambah cadangan air tanah di musim kemarau. “sungai adalah ekosistem alami, berbeda dengan saluran irigasi dan kanal buatan manusia. Rekayasa pengelolaannya mutlak harus menyesuaikan kaidah ekosistem dari hulu hingga hilir, begitu juga dalam pengelolaannya dimulai dari perencanaan termasuk identifikasi kultural (sosial budaya) keanekaragaman hayati dan dilakukan secara terbuka dan transparan karena sungai merupakan ruang publik” Imbuh Abdul Kodir.

Dalam momentum Hari Lingkungan. Koalisi membuat mural monumen kebodohan ekologi sebagai protes atas penghancuran fungsi Ciliwung dengan betonisasi. Koalisi Pemulihan Ekosistem Ciliwung menyerukan:

1. Penghentian betonisasi berkedok normalisasi Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta
2. Melakukan pemulihan fungsi ekologis di kawasan hulu sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sungai Ciliwung dan sungai lain di Jakarta
3. Penghentian pendekatan ekonomistik dalam pengelolaan sungai. Patuhi amanat konstitusi sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review I dan II Undang-undang Sumber Daya Air dengan mengutamakan pertimbangan HAM dan ekologi
4. Meninjau ulang Perpres 60/2020 khususnya pasal 110 ayat b yang menjadi ancaman serius kelestarian ekosistem sungai di kawasan Jabodetabekpunjur
5. Pemerintah daerah lain jangan mereplikasi kebijakan betonisasi sungai berkedok normalisasi seperti di Jakarta


Narahubung:
Tubagus Soleh Ahmadi/ WALHI DKI Jakarta (085693277933)
Abdul Kodir/ Komunitas Ciliwung (081387908769)
Muhammad Reza Sahib/ Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (081370601441)