Mengakhiri Masa Kelam Agenda Kerakyatan, Mengembalikan Mandat Rakyat Untuk Reforma Agraria Sejati, Pengakuan Masyarakat Adat dan Keadilan Ekologis
Baru saja kita menyimak Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo yang disampaikan di Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2023. Pada intinya tetap mempertegas bahwa satu dekade rezim ini hanya memprioritaskan agenda investasi dan pembangunan, tanpa sedikitpun memperhatikan agenda kerakyatan. Selain itu, dalam pidatonya pula Presiden Jokowi meminta rakyat untuk mengedepankan moralitas, sementara persekongkolan jahat antara Pemerintah, swasta dan militer yang amoral seperti perampasan tanah dan sumber agraria lainnya demi kepentingan investasi oligarki dibiarkan berjalan. Selanjutnya, pada Peringatan Hari Kemerdekaan RI tahun ini, Presiden Jokowi bersama kabinetnya dan DPR RI kembali hadir mengenakan pakaian adat, namun agenda pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat jalan di tempat.
Karena arah pembangunan ekonomi dan kebijakan dikendalikan pemodal, satu dekade Pemerintahan Joko Widodo telah memicu krisis multidimensi, mulai dari krisis sosial, krisis ekologi, krisis agraria hingga krisis hukum. Bahkan di DPR sendiri kebijakan Indonesia selama ini ditentukan oleh para pengusaha. Akhirnya sukar dipisahkan mana perwakilan rakyat dengan perwakilan korporat, sebab 55% anggota DPR adalah pengusaha di mana 26% di antaranya pengusaha skala besar (Marepus Corner, 2023). Hal ini berdampak pada cepatnya pembentukan hukum dan kebijakan mengenai sumber agraria dan kekayaan alam lainnya demi pengusaha. Undang-Undang Cipta Kerja bahkan dibahas dan disahkan kurang dari 8 bulan, di tengah puluhan ribu petani, buruh dan mahasiswa turun ke jalan menolak dan menuntut pembatalan UU yang sarat masalah tersebut. Sayangnya aksi untuk menyampaikan kritik dan solusi justru direspon Pemerintah dengan cara-cara represif dan diskriminatif dengan mengerahkan aparat keamanan dan senjata.
Selain masalah hukum dan kebijakan yang dikontrol pemodal, fenomena pengabaian hukum oleh Presiden dan jajaran menteri kian kental. Bukti nyatanya adalah Pemerintah yang enggan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/2021. Presiden tidak merasa dirinya perlu tunduk pada hukum, justru memperlihatkan Hukum adalah Presiden itu sendiri. Sikap demikian sungguh berbahaya bagi demokrasi Indonesia, karena pasti terus dibudayakan oleh Pemerintahan berikutnya. Bukan saja UU Cipta Kerja, UU lainnya seperti revisi UU Mineral dan Batubara, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Ibu Kota Negara, UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dll yang justru mengancam keberlangsungan hidup bangsa terus dikeluarkan. Sebaliknya, aturan dan kebijakan yang fundamental bagi perlindungan masyarakat dan telah lama didesakan seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Pertanahan versi Gerakan RA, RUU Keadilan Iklim, dan Revisi Perpres Reforma Agraria, sama sekali tidak diperhatikan oleh Partai Politik, DPR dan Pemerintah.
Pembangunan Mengorbankan Rakyat dan Alam
Perubahan hukum dan kebijakan operasional yang dihasilkan oleh rezim Jokowi dirancang dan dilaksanakan untuk melegalisasi perampasan tanah-tanah rakyat dan wilayah-wilayah adat demi investasi. Tidak aneh jika selama Pemerintahan Joko Widodo puluhan juta petani, nelayan, Masyarakat Adat dan perempuan pedesaan masih hidup dalam situasi konflik agraria, ancaman hak atas tanah dan kemiskinan.
Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tercatat Pemerintahan Jokowi (2015-2022) bertanggungjawab atas 2.710 kejadian konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Letusan konflik tersebut didominasi oleh sektor perkebunan yang mencapai 1.023 letusan konflik pada periode yang sama. Hal serupa juga disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI, pada tahun 2021 saja WALHI menemukan 72% konflik disebabkan operasi bisnis perusahaan swasta dan 13% lainnya adalah PSN. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan Masyarakat Adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sejak 2017-2022 terjadi 301 perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektar (ha). Di sisi lain, adanya 214 kebijakan daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat belum cukup luas melindungi banyak komunitas adat, sebab pemerintah pusat enggan mengubah mekanisme pengakuan yang sektoral dan berbelit-belit serta berbiaya mahal menjadi praktis, murah dan singkat.
Banyaknya konflik agraria yang terjadi menandakan perampasan tanah dan ruang hidup rakyat terus-menerus terjadi, ketimpangan penguasaan tanah semakin diperparah. Saat ini jumlah petani gurem, buruh tani, petani miskin hingga rakyat tak bertanah semakin meluas dan bertambah. BPS pada 2018 mencatat terdapat 16,2 juta rumah tangga petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 ha. Jumlah ini bertambah sebanyak 4,74 juta keluarga sejak tahun 2013, di mana keluarga petani gurem masih sebanyak 11,51 juta KK.
Sebaliknya pemberian tanah bagi pengusaha sawit terus meluas, sejak tahun 2016 hingga 2022, terdapat perluasan sawit seluas 5,6 juta ha, adapun tanah yang dikuasai pengusaha sawit saat ini seluas 16,8 juta ha. Padahal Jokowi berjanji meredistribusikan tanah seluas 9 juta ha kepada petani dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria (RA), andai saja janji itu ditepati tentu dapat mengurangi ketimpangan penguasaan tanah di atas. Sayangnya RA selama ini tidak dijalankan sesuai tujuan-tujuannya, yang dilakukan mayoritas sebatas sertifikasi tanah di lokasi-lokasi non konflik. Demikian dapat disimpulkan, pembangunan ekonomi terutama sektor agraria tidak dilakukan dalam usaha-usaha memperkuat hak petani atas tanah, menyelesaikan konflik agraria struktural dan mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah.
Selama 10 tahun Pemerintahan Joko Widodo (2015-2022), KPA mencatat telah terjadi kriminalisasi terhadap 1.615 orang. 38 orang di antaranya tertembak dan 69 orang tewas akibat mempertahankan hak atas tanah. Pada periode yang sama, AMAN mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Sektor dominan yang memicu kriminalisasi Masyarakat Adat adalah konflik kawasan hutan (42%), pertambangan (13%), perkebunan (11%), infrastruktur (10%), dan kebakaran lahan (2%). Sementara, WALHI mencatat selama tahun 2021 terdapat 53 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi, 10 di antaranya adalah korban kriminalisasi Pasal 162 perubahan UU Minerba.
Pembungkaman dan represifitas atas aspirasi rakyat tidak hanya terjadi di wilayah konflik, namun juga menjalar ke dunia digital. Safenet menemukan, sepanjang tahun 2020 terdapat 147 insiden serangan, di mana sebanyak 85 persen di antaranya tertuju kepada kelompok kritis. Begitu pula kebebasan berkumpul dan berserikat bagi Petani, Masyarakat Adat, Nelayan dan rakyat miskin di banyak tempat juga mengalami tekanan dan stigmatisasi.
Di sektor pangan, orientasi kebijakan berbasis korporasi melalui Food Estate (FE) dan impor pangan semakin membahayakan kehidupan petani, Masyarakat Adat dan nelayan sebagai produsen utama pangan nasional. Jokowi telah menargetkan pembangunan FE seluas 4,5 juta ha sebagai pengembangan kawasan ketahanan pangan. Sejauh ini yang berhasil dipanen hanyalah konflik agraria, gagal panen, dan kerusakan lingkungan, sebagaimana telah terjadi di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua.
Kebijakan pangan dan pertanian Jokowi diperparah dengan pelibatan pihak militer yakni TNI sebagai operatornya. Seperti yang terjadi di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya dan Garut, di mana TNI AD mengikat kerjasama dengan PTPN/BUMN untuk membangun kawasan ketahanan pangan. Cara semacam ini hanyalah kedok guna menutupi perampasan tanah, padahal tujuan utamanya tetap pengamanan klaim aset tanah oleh PTPN. Cara-cara semacam ini adalah upaya sistematis BUMN/PTPN untuk mengusir dan membenturkan petani dengan TNI. Pemerintahan Jokowi juga gagal memenuhi cita-cita kedaulatan pangan, sebab terus membuka keran impor beragam sumber pangan pokok seperti beras. Pada tahun 2023, 1,7 juta ton beras impor membanjiri pasar Indonesia (BPS, 2023).
Pembangunan Jokowi tidak hanya berdampak langsung pada konflik, kemiskinan, kriminalisasi dll, melainkan mengorbankan lingkungan hidup. Krisis ekologis yang terjadi selama era Jokowi telah memperluas dan melipatgandakan bencana ekologis, terutama banjir dan longsor. Sejak tahun 2016 sampai 2021 bencana ekologis mengakibatkan 7.646 korban jiwa meninggal dan hilang, ratusan ribu orang terpaksa mengungsi dan jutaan hektar tanah pertanian gagal panen.
WALHI mencatat bahwa bencana ekologis banjir terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat tahun 2021-2022. BNPB mencatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir, kurang lebih 112 ribu warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia. Bahkan Presiden Jokowi sendiri mengatakan banjir tersebut merupakan yang terbesar dalam 50 tahun terakhir. Bencana tersebut terjadi sebagai hasil akumulasi dari berbagai pembukaan lahan yang dilakukan secara besar-besaran oleh kelompok korporasi dari tahun-tahun sebelumnya.
Data dan fakta di atas menunjukkan degradasi demokrasi yang menjadi spirit utama reformasi dua dekade yang lalu. Satu dekade terakhir merupakan masa-masa kelam bagi agenda kerakyatan.
Mengembalikan Kedaulatan Rakyat
Rezim Pemerintahan Jokowi telah berkhianat terhadap UUD 1945, telah ingkar pada janji-janji politiknya serta gagal melindungi rakyat. Kami mendesak hal-hal ini segera dihentikan untuk mencapai Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat.
Sebab itu, kami menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak pemerintahan Joko Widodo untuk menghentikan arah politik dan kebijakan nasional yang liberal dan kapitalistik, serta mengembalikannya sesuai amanat konstitusi, sehingga keadilan, kedaulatan dan kesejahteraan kembali berpusat pada rakyat.
- Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memposisikan proses pergantian kekuasaan tahun 2024 tidak semata-mata memilih pemimpin dan wakil rakyat, tapi harus menjadi proses reorientasi sistem pembangunan yang sesuai dengan mandat konstitusi: pemenuhan hak Masyarakat Adat, Reforma Agraria Sejati, pemulihan alam, dan penguatan negara demokrasi.
- Menyerukan kepada para Calon Presiden/Wakil Presiden dan Calon Anggota Legislatif, serta Calon Kepala Daerah yang akan berkontestasi dalam Pemilu dan Pilkada 2024, harus berkomitmen untuk:
a) Menjalankan secara benar dan serius agenda reforma agraria, keadilan iklim dan pemenuhan Hak Masyarakat Adat, sebagaimana yang telah dimandatkan oleh konstitusi.
b) Mengesahkan RUU Masyarakat Adat, RUU Reforma Agraria, RUU Keadilan iklim, dan RUU lainnya yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
c) Mencabut UU 6/2023 tentang Penetapan PERPPU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, UU 3/2022 tentang IKN dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.
d) Meninjau kembali dan merevisi seluruh peraturan perundangan-undangan terkait Perkebunan, Pertanahan, Pertanian, Pangan, Pertambangan dan Energi, serta Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdampak buruk terhadap Masyarakat Adat, petani, nelayan dan rakyat lainnya, untuk dikembalikan kepada mandat UUD 1945, TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, putusan MK 3/2010, dan Putusan MK 35/2012.
e) Menghentikan model pembangunan dan perjanjian internasional yang liberal yang berjalan dengan cara-cara menggusur hak-hak rakyat; melakukan monopoli dan perampasan tanah; melakukan kejahatan lingkungan hidup, serta menjalankan politik pertanian dan pangan yang mengamputasi posisi petani, nelayan, petambak, peternak dan Masyarakat Adat sebagai produsen pangan utama;
f) Mengeksekusi usulan-usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) dari organisasi rakyat dan serikat untuk menuntaskan masalah ketimpangan dan konflik agraria struktural yang berkaitan dengan hak atas tanah/izin/konsesi bermasalah seperti HGU PTPN/klaim aset pemerintah, HGU swasta, HGU/HGB terlantar, Perhutani/Inhutani, HTI, bisnis konservasi, PSN dan desa transmigrasi;
g) Pemerintahan ke depan harus menerbitkan keputusan politik untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, membebaskan yang sedang di penjara, dan memulihkan nama baik Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Pejuang Lingkungan dan Agraria yang telah menjadi korban kriminalisasi, termasuk yang sudah menjalani hukuman di masa lalu.
h) Pemerintahan baru harus mencabut hak atas tanah dan perizinan usaha yang didapatkan dengan cara merampas tanah rakyat dan menghancurkan lingkungan. - Mendesak reformasi sistem politik dan partai politik secara fundamental, sehingga sistem politik nasional dan penyelenggaraan kekuasaan benar-benar merepresentasikan kepentingan dan aspirasi rakyat, menciptakan pemerintahan yang demokratis, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, serta bebas dari praktek-praktek korupsi dan oligarki politik. Di antaranya dengan mendorong revisi UU Pemilu dan UU Partai Politik, yang membuka pintu bagi korporasi untuk menyusup ke dalam Partai Politik.
- Mendesak Penyelenggara Pemilu untuk menempatkan kepentingan Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, masalah lingkungan hidup, pengurusan sumber-sumber agraria dan reforma agraria dalam debat publik yang konstruktif pada kontestasi politik elektoral baik di nasional maupun daerah.
- Rakyat harus bersikap kritis dalam memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah, yakni memastikan calon yang memiliki rekam jejak bersih, mempunyai visi dan keberpihakan yang kuat pada pengakuan wilayah adat, pelaksanaan Reforma Agraria Sejati dan pemulihan ekologis.
Jakarta, 18 Agustus 2023
Rukka Sombolinggi Dewi Kartika Zenzi Suhadi
Sekretaris Jendral AMAN Sekretaris Jendral KPA Direktur Eksekutif WALHI