Siaran Pers WALHI
15 November 2020
Stop Food Estate di Kawasan Hutan;
Batalkan Peraturan Menteri LHK P.24 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate
Penerbitan Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia. Permen ini menambah varian perizinan baru di kawasan hutan. Laju penebangan hutan alam akan menjadi konsekuensi logis dari Permen ini. Pengecualian kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau Dana Reboisasi (DR) menjadi catatan penting bahwa negara semakin memperlihatkan keberpihakannya pada investasi.
“Lahirnya Permen ini semakin menegaskan muka jahat program Food Estate. Pada prinsipnya, Food Estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, Food Estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” sebut Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI.
Nur Hidayati menambahkan Peraturan Menteri LHK 24/2020 akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia.
Saat ini, 33,45 juta hektar atau 26,57% kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis. Penerbitan Permen LHK 24/2020 akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi.
Permen ini mengatur dua skema penyediaan kawasan hutan untuk kepentingan Food Estate, yaitu melalui skema (1) perubahan peruntukan kawasan hutan; dan (2) penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan.
Paska diundangkannya Omnibus Law Cipta Kerja/CILAKA (UU 11/2020), munculnya aturan seperti P.24 tentu akan makin mempercepat eksploitasi lingkungan hidup dan deforestasi di Indonesia.
Dalam konteks ini setidaknya ada 3 alasan mendasar mengapa pelepasan kawasan hutan untuk Food Estate justru akan menambah masalah:
Pertama, justru akan mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup, dalam prakteknya dan pengalaman selama ini, pelepasan kawasan hutan seringkali berujung pada kerusakan lingkungan hidup. Praktek tersebut bisa dilihat dari pengalaman selama ini, sejak proyek PLG di Kalimantan, hingga MIFEE di Papua.
Kedua, meminggirkan rakyat dan berpotensi konflik. Pendekatan korporasi dalam skala luas, terlebih dalam konteks P.24 yang tidak memasukkan skema pengelolaan rakyat, justru memperpanjang ancaman potensi konflik. Seharusnya negara mengembalikan urusan pangan pada petani, terlebih capaian TORA dan PS selama ini tidak signifikan.
Ketiga, menambah ancaman kerugian negara. Dalam catatan kita, proyek-proyek Food Estate, justru menimbulkan banyak kerugian negara. Dari proyek PLG yang setidaknya menyedot APBN hingga 1,6 triliun tersebut gagal total untuk menjadikan lumbung pangan bahkan justru sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini. Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan. Hingga catatan BPK atas MoU Kementan-TNI dalam cetak sawah yang meninggalkan banyak catatan, dari pemborosan, ketidaksesuaian lokasi, hingga memotong Kawasan Lindung.
Dari sisi substansi P. 24 setidaknya ada 7 persoalan mendasar:
Pertama, jelas-jelas P.24 memahami bahwa Food Estate adalah usaha pangan skala luas, sehingga pasti memiliki dampak deforestasi yang signifikan, (Pasal 1)
Kedua, argumentasi yang dimasukkan dalam bagian “menimbang” yang mengaitkannya dengan pandemi Covid-19 tidak tepat. Sentralisasi pengelolaan pangan tentu akan menyisakan problem distribusi yang akan memperbesar biaya dalam rantai pasok. Harusnya persoalan pangan dikembalikan pada petani, tidak disentralisasi, dan harus berbasis diversifikasi pangan. Hal tersebut tentu tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan skala luas.
Ketiga, ”pernyataan komitmen” izin lingkungan dijadikan dasar mengeluarkan KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) tidak tepat. Menjadi tidak logis jika “pernyataan komitmen” dijadikan dasar, sementara alih fungsi Kawasan hutan langsung dilakukan. (Pasal 4 & 9)
Keempat, KLHS cepat tidak berdasar. Istilah KLHS cepat beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek Food Estate tetapi juga pada proyek IKN. Penggunaan KLHS cepat tidak memiliki dasar legal yang cukup, serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat. (Pasal 4)
Kelima, skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan, hak pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung. Khusus untuk KHKP dikedokkan dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (Pasal 20 huruf c). KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 31).
Keenam, hutan-hutan alam yang ditebang pun diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi (DR) (Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3))
Ketujuh, KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) yang disebutkan dalam P.24 ini mengancam hutan lindung (Pasal 4, 19, 25), lebih jauh lagi mengancam Wilayah Kelola Rakyat, khususnya masyarakat adat yang wilayahnya diklaim oleh Negara dalam kawasan hutan.
Salam Adil dan Lestari
ED WALHI Kalimantan Tengah (Direktur; Dhimas +62 813 5270 4704)
ED WALHI Papua (Direktur; Aiesh Rumbekwan +62 813 4452 4394)
ED WALHI Sumatera Utara (Direktur; Dana Tarigan +62 812 6344 992)
ED WALHI Sumatera Selatan (Direktur; Hairul Sobri +62 812 7834 2402)
Eksekutif Nasional WALHI (Direktur Eksekutif; Nur Hidayati +62 813 1610 1154)
Wahyu Perdana (+62 821 1239 5919)
Manajer Kampanye Pangan, Air & Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional WALHI