Siaran Pers Hari Air 2018 Momentum Hari Air 22 Maret harusnya menjadi pengingat besarnya kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan korporasi pada ekosistem air, baik rusaknya sumber ekosistem air pada wilayah hulu, maupun pencemaran pada sektor hilir. Ditambah lagi penguasaan besar-besaran sumber air oleh korporasi, baik untuk pengusahaan air maupun untuk aktivitas industrinya juga berdampak kelangkaan air untuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat atas air, utamanya perempuan. Krisis air yang semakin nyata dirasa menambah daftar panjang krisis yang dialami masyarakat Indonesia. Momentum hari air tahun ini bertepatan juga dengan 1 tahun haul wafatnya almarhumah Yu Patmi, pejuang lingkungan perempuan dari pegunungan kendeng, yang berjuang mempertahankan ekosistem air pada kawasan karst dan cekungan air tanah Watu Putih dari ancaman industri semen (PT Semen Indonesia). Hal ini juga menunjukkan besarnya upaya komunitas berhadapan dengan ancaman industri ekstraktif pada ekosistem air. Tepat pada pekan yang sama dengan Hari Air, berbagai komunitas di berbagai wilayah masih menyuarakan haknya terhadap perlindungan Ekosistem Air. Seperti di Bengkulu Kab. kaur, warga sungai Air Padang Guci terancam atas aktivitas galian C yang mengakibatkan setidaknya 700 Ha kawasan pertanian di 3 kecamatan terganggu pengairannya. Sedangkan di gunung Talang, kab. Solok, Sumatera Barat, setidaknya 12 nagari memprotes pembangunan geothermal yang mengakibatkan ancaman pasokan air, khususnya pada wilayah pertanian. Ancaman Pencemaran & Kerusakan Ekosistem Air Berdasar Environmental Outlook WALHI, Apabila dibandingkan dengan luas wilayah daratan Indonesia, maka luas penggunaan wilayah yang secara legal dialokasikan untuk korporasi adalah 82,91%. Fakta tersebut menunjukkan besarnya kuasa korporasi, pada saat yang sama juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan hidup. Berbagai kasus yang mencuat menunjukkan hal tersebut, sebut saja rusaknya “cekungan air tanah” akibat pertambangan karst PT Semen Indonesia. Kasus Poboya, dimana sumber air tercemar oleh pertambangan emas. Kasus privatisasi air (jakarta & makassar), rusaknya ekosistem air pada ekosistem rawa gambut di berbagai perkebunan besar, khususnya sawit dan di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan. Pada tingkat hilir, pencemaran air juga terus terjadi, ironisnya perilaku masyarakat lebih sering dikambinghitamkan atas rusaknya ekosistem air, pada kasus sungai Citarum lebih dari 3000 industri yang mencemari. Pada perilaku konsumsi, konsumen juga lebih sering disalahkan atas menumpuknya sampah, tidak ada upaya tegas pemerintah terhadap produsen sebagai “penghasil” sampah plastik kemasan terbesar, baik produsen AMDK ataupun pengguna kemasan plastik lainnya.
Dalam konteks pengelolaan sampah plastik bahkan Indonesia kalah jauh dengan negara di benua Afrika, Rwanda. Yang sejak 2008 telah menetapkan larangan penuh produksi, impor, dan penggunaan kemasan plastik, jika ada produsen yang masih memaksakan diri, maka regulasi mengharuskan dengan sangat ketat kepada produsen untuk memastikan setiap kemasan harus kembali dan didaur ulang oleh produsen. Privatisasi dan Monopoli Air oleh Korporasi Terus Berlanjut Mengancam Hak Rakyat atas Air Putusan Mahkamah Konstitusi 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, menyatakan bahwa pengusahaan air di dalam UU SDA melanggar hak rakyat atas air yang dilindungi oleh UUD 1945, dan menegaskan prinsip pembatasan pengusahaan air. Namun, pasca putusan MK tersebut, Pemerintah justru merespon dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang melindungi investor dan mengingkari semangat mengembalikan norma pengelolaan air sesuai amanat konstitusi dan putusan MK. Bahkan Presiden juga menerbitkan kebijakan pengelolaan air dalam Paket Ekonomi ke VI atau Paket Deregulasi VI, yang pada intinya pemerintah masih mengijinkan pengelolaan dan pengusahaan air oleh swasta serta memperbolehkan badan usaha swasta melakukan penyediaan air minum untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Perjuangan panjang rakyat Jakarta untuk memperjuangkan hak atas airnya hingga MA memenangkan gugatan atas kontrak kerja sama privatisasi air Jakarta masih terus berlanjut sampai hari ini, akibat keengganan Negara memenuhi kewajibannya untuk mematuhi hukum. Krisis air ini semakin meningkatkan beban dan memiskinkan perempuan. Perempuan yang “diperankan” untuk memastikan kebutuhan air keluarga dan rumah tangga terpenuhi. Ketika sumber air dirusak ataupun dimonopoli, perempuan yang harus berpikir dan bekerja lebih berat dalam upaya memenuhi kebutuhan air keluarga dan rumah tangga. Pencemaran air oleh aktivitas industri juga berdampak lebih berat terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Dalam kasus PLTU Batubara dan industri ekstraktif lainnya, memberikan ancaman kesehatan langsung pada perempuan dan generasi selanjutnya, paparan merkuri (khususnya dari PLTU Batubara, industri semen, dan tambang emas) memberikan resiko paling tinggi pada perempuan dan janin yang sedang berkembang. Hasil studi International POPs Elimination Network (IPEN) bersama Biodiversity Research Institute (BRI), kadar kandungan merkuri pada responden perempuan tertinggi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di 25 negara berkembang dan negara masa ekonomi transisi, termasuk Indonesia, Sebanyak 97% merkuri pada sampel perempuan di Indonesia melebihi ambang batas aman satu ppm. Sehingga, Perempuan pun menjadi garda terdepan dalam perjuangan hak maupun perlindungan ekosistem air. Pada sisi lain, pembahasan RUU Sumber Daya Air yang telah sampai pada tingkat BALEG DPR-RI, masih menyisakan banyak persoalan, setidaknya ada 4 persoalan mendasar dalam Rancangan Undang-undang Sumberdaya Air, berdasar draft per-januari : Pertama, secara filosofis RUU SDA masih berwatak eksploitatif, penggunaan term “sumber daya”, serta pasal-pasal terkait pemberian izin menunjukkan hal tersebut (Pasal 8 ayat 5-6, pasal 11-16). Sebagai bagian dari ekosistem maka pendekatan “perlindungan” harus didahulukan, baru kemudian “pengelolaan”. Air sebagai kebutuhan harus dipandang sebagai hak, maka melekat disitu tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak terhadap warga negaranya. Hal tersebut yang juga tidak terlihat penjelasan ekosistem air secara menyeluruh pada RUU SDA, air hanya dipandang sebagai “sumber” dan “daya” (pasal 1). pada pasal 2 (Asas), juga belum memuat “tanggung jawab negara” dan “pertanggungjawaban mutlak”. Kedua, tidak adanya pasal-pasal terkait perlindungan ekosistem dan hak pengelolaan secara menyeluruh secara menyeluruh, air masih dilihat secara parsial, serta bias dan dominan pada air permukaan, bisa dilihat dalam draft RUU tersebut hanya menyebutkan kawasan “cekungan air tanah” (CAT) dalam bab perlindungan, sebagai ekosistem air yang dilindungi. Dari sisi hak pengelolaan masyarakat, tidak ada klausul khusus hak veto penolakan masyarakat terhadap izin pengusahaan air. Ketiga, tidak diadopsinya pendekatan pertanggungjawaban mutlak (strict liability), khususnya terkait kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kejahatan korporasi.
Banyak fakta kerusakan dan pencemaran ekosistem air harusnya menjadi dasar dalam penegakan hukum yang lebih kuat, bukan sebaliknya memberikan ruang bagi korporasi untuk lolos dari jeratan tanggung jawab akibat aktivitas eksploitatifnya. (pasal 66-75) Keempat, draft RUU Sumber Daya Air yang telah di BALEG DPR-RI), belum memberi ruang bagi partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan air, termasuk dalam hal pengambilan keputusannya. Tidak ada ruang untuk pengelolaan kolektif komunitas, terlebih perempuan. Bahkan tidak ada hak veto masyarakat menolak izin sebuah korporasi jika dianggap mengancam ekosistem air. berbagai kebijakan yang ada dalam pengelolaan ekosistem air masih jauh dari prespektif pengelolaan rakyat, terlebih prespektif perempuan. Seruan Hari Air (1) Kembalikan Hak Rakyat Atas Air. Air sejatinya merupakan hak, yang harusnya dikembalikan pengelolaannya pada komunitas, masyarakat adat, komunitas perempuan, dll. Yang sehari-hari bersinggungan langsung dengan perlindungan ekosistemnya air, dalam kasus swastanisasi PDAM Jakarta, putusan Mahkamah Agung pada akhir 2017 memerintahkan pemerintah menghentikan swastanisasi air, hingga hari ini belum dieksekusi. Pada sisi Hulu, tercemar dan rusaknya ekosistem air oleh industri ekstraktif, mengancam berbagai komunitas. (2) Penegakan Hukum untuk Korporasi Perusak Lingkungan Ekosistem Air. Air oleh pengambil kebijakan hingga saat ini masih dilihat secara parsial, bukan sebagai ekosistem yang menyeluruh. Akibatnya kasus-kasus kejahatan korporasi yang menyebabkan kerusakan ekosistem karst, ekosistem gambut, maupun pencemaran limbah industri jarang dikaitkan sebagai tanggung jawab korporasi terhadap kerusakan lingkungan hidup, secara khusus pada ekosistem air. Padahal pertanggungjawaban mutlak korporasi telah ada dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hari Air 2018 Narahubung Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahyu A. Perdana 082112395919)