Siaran Pers
Jakarta - Bern, 17 Mei 2024 -- Keprihatinan dan keresahan empat orang penggugat ikim dari Pulau Pari di Jakarta sudah sangat jelas. Di dalam gugatan, mereka mendesak Holcim untuk segera mengurangi emisi CO2 sebesar 69 persen sampai tahun 2040; membayar kompensasi atas kerusakan dan kehilangan (loss and damage) yang telah mereka alami; serta berkontribusi pada berbagai upaya adaptasi yang diperlukan.
Bobby, Arif, Edi dan Asmania, warga Pulau Pari Penggugat Holcim
Para penggugat yang berasal dari Pulau Pari berpandangan bahwa pihak manapun, termasuk Holcim yang merupakan perusahaan raksasa penghasil karbon, telah terbukti memberikan kontribusi besar terhadap krisis iklim, serta pada saat yang sama terus meraup keuntungan miliaran dolar. Holcim wajib bertanggung jawab atas dampak krisis iklim yang sudah tidak terkendali. Sejauh ini, inilah tuntutan para penggugat. Poin-poin tersebut sangat sederhana dan sangat mudah dipahami.
Namun, alih-alih mempertanggungjawabkan kontribusi emisinya, Holcim malah memilih untuk membahas masalah prosedural di Pengadilan Zug Swiss. Atas permintaan perusahaan, proses pengadilan sekarang harus tunduk pada “prosedur terbatas” dan berfokus pada dua pertanyaan sebagai berikut: Pertama, Apakah hukum perdata merupakan jalur hukum yang tepat? lalu kedua, apakah ada kepentingan yang layak dilindungi dalam gugatan yang diajukan oleh penggugat?
Bagi para penggugat, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah sangat jelas, yaitu hanya jalur hukum pertanggungjawaban perdata yang dapat menjawab pertanyaan apakah perusahaan swasta dapat dimintai pertanggungjawaban atas krisis iklim yang disebabkan oleh kegiatan bisnisnya. Sebagai penduduk Pulau kecil, di mana banjir semakin sering terjadi, para penggugat juga menghadapi ancaman eksistensial dari krisis iklim yang sebagian disebabkan oleh Holcim dan hal ini sudah terjadi sekarang. Inilah kepentingan pengggugat yang sangat sah atau legitimate serta sangat kuat.
Foto udara Pulau Pari
Dalam pandangan para penggugat, sudah saatnya bagi Pengadilan Zug di Swiss untuk memeriksa pokok perkara yang bersifat substantif yang menjadi keprihatinan mereka, terutama, memperjelas kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh Holcim sebagai perusahaan penghasil karbon. Sebaliknya, Holcim berusaha untuk menunda klarifikasi masalah hukum yang sebenarnya. Sangat terlihat, perusahaan yang berbasis di Zug ini menempuh strategi memutar waktu sekaligus ingin menghindar dari pemeriksaan hukum substantif atas kegiatan bisnis dan dampak krisis iklim terhadap para penggugat.
Dengan taktiknya saat ini, Holcim menilai dapat menunda keputusan hukum yang bersifat substantif untuk beberapa tahun. Namun dampak buruk krisis iklim tidak dapat dihentikan oleh siapapun. Krisis iklim terus berlangsung setiap tahun, di mana permukaan air laut terus meningkat. Dalam situasi itu, Pulau Pari yang merupakan tempat para penggugat semakin terdampak krisis iklim dan semakin sering dilanda banjir.
informasi lebih lanjut:
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI di email: [email protected]
Yvan Maillard Ardenti, Climate Justice Policy Advisor HEKS/EPER, di email: [email protected]