“Perempuan Pembela HAM dan Rapor Hitam Demokrasi”
Pengelolaan serta perlindungan sumber-sumber penghidupan yang adil, berkelanjutan dan menghormati hak asasi manusia hanya dapat terwujud jika demokratisasi pengelolaan sumber-sumber penghidupan terwujud. Demokratisasi ini juga termasuk mengakui dan melindungi pengetahuan, pengalaman serta peran perempuan dalam pengelolaan sumber-sumber penghidupan. Namun hingga saat ini, demokratisasi tersebut belum juga terwujud, bahkan cenderung mengalami penyempitan.
Tidak demokratisnya pengelolaan sumber-sumber penghidupan ditandai dengan ketimpangan penguasaan agrarian, di mana 60% daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi melalui berbagai izin-izin yang diterbitkan (WALHI; 2021). Izin-izin ini mengkapling Wilayah Kelola Rakyat, wilayah adat, ekosistem-ekosistem esensial, serta wilayah-wilayah penting lainnya yang menopang ekosistem kehidupan. Pengkapling-kaplingan ini berkonsekuensi langsung pada pengeksklusian masyarakat secara khsuus perempuan, baik perempuan adat, perempuan tani, perempuan nelayan, dari ruang kelola dan wilayah adatnya.
Perempuan harus terpisah dari tanahnya dan harus pergi ke kota menjadi buruh upah murah, atau tetap bertahan di kampung menjadi Buruh Harian Lepas (BHL) di perusahaan-perusahaan sawit yang telah merampas tanah perempuan tani. Saat menjadi buruh, baik di sektor padat karya ataupun di perusahaan sawit, perempuan sering kali harus mengalami pelecehan seksual, pelecehan verbal, serta tidak dipenuhinya hak-hak dasar perempuan, misalnya cuti menstruasi, perlengkapan kerja yang memadai, dll. BHL perempuan di perkebunan sawit juga hampir semua dipekerjakan untuk mengerjakan hal-hal yang berdampak pada kesehatan reproduksi mereka, misalnya memupuk dan menyemprotkan pestisida. Tidak sedikit juga perempuan-perempuan dengan beban kerja di publik seperti ini, juga masih dibebani sepenuhnya kerja-kerja domestik di rumah tangganya. Beban yang berlapis-lapis ini sering kali berdampak pada psikologis perempuan, bahkan tidak jarang juga terjadi kekerasan dalam rumah tangga akibat pemiskinan yang terjadi.
Perempuan juga menjadi entitas yang paling memikul beban berat ketika bencana ekologis, akibat eksploitasi sumber daya alam terjadi. Dalam kejadian banjir dan longsor misalnya, akan sulit ditemukan air bersih, maka perempuan yang tengah menstruasi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih yang memadai untuk membersihkan bagian reproduksi tubuhnya.
Situasi di atas menggambarkan kegagalan pengurus negara dalam memenuhi, menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya perempuan untuk bisa mendapatkan lingkungan yang baik, ekonomi yang baik, dan kehidupan yang baik. Hal lebih buruk lagi, ketika perempuan menemukan titik balik kesadaran kelas mereka sebagai pihak yang terlanggar hak asasinya, dan melakukan pembelaaan serta perjuangan, justru mereka harus mengalami kekerasan (verbal, fisik, bahkan seksual), intimidasi, dan kriminalisasi. Bahkan saat ini, kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dialami oleh Perempuan Pembela HAM (PPHAM)[1] dan pejuang lingkungan terus mengalami peningkatan.[2]
Hukum yang seharusnya mampu menjamin pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak asasi perempuan ini, faktanya tidak beroperasi secara maksimal, bahkan tidak mampu menjawab dampak yang berlapis-lapis tersebut. Undang-Undang yang menjamin imunitas bagi para perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan misalnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 66), Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam konteks lingkungan, Negara menjamin hak warga negara terhadap lingkungan yang baik dan sehat. Dalam pelaksanaannya, tidak boleh ada masyarakat yang dirampas haknya atas penyampaian pendapat, ekspresi atau kritik terhadap permasalahan lingkungan. Namun, upaya kriminalisasi terhadap masyarakat, termasuk perempuan yang membela kepentingan HAM dan lingkungan terus meningkat dari Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). SLAPP adalah strategi untuk menghentikan atau menghukum warga negara yang menggunakan hak politik mereka dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari isu publik menjadi ranah privat.
Kasus SLAPP di Indonesia berkembang dengan signifikan dengan tren kriminalisasi. 95% gugatan pidana dilakukan terhadap para pembela lingkungan dan 5% nya merupakan gugatan perdata. Fakta ini menunjukkan bahwa pasal 66 UUPLH sebagai pasal yang bisa digunakan untuk Anti-SLAPP, tidak dioperasionalkan untuk melindungi para pejuang lingkungan. Bahkan, pasal 66 ini juga belum mampu menjangkau ancaman kekerasan, intimidasi dan pelecehan yang dialami Perempuan Pembela HAM dan Pejuang lingkungan.
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa persoalan dan dampak yang dialami Perempuan Pembela HAM tidak berdiri sendiri, bahkan sangat interseksional. Celakanya mekanisme perlindungan yang saat ini dimiliki negara tidak mampu menjawab interseksionalitas dampak tersebut dan bahkan tidak operasional. Atas situasi inilah WALHI bersama dengan Solidaritas Perempuan, AKSI, KPA, KEMITRAAN, Sawit Watch (SW), ICEL, WALHI Jakarta, PBHI, KONTRAS, KNTI, KASBI, TKPT, PPMAN, JATAM, Greenpeace dan Mama Aleta Fund, akan melaksanakan Temu Perempuan Pembela HAM yang bertema “Perempuan Pembela HAM dan Rapor Hitam Demokrasi”.
Temu perempuan ini dimaksudkan sebagai ruang para Perempuan Pembela HAM (PPHAM) mengkonsolidasi pengalaman-pengalaman pembelaan dan perjuangannya diberbagai konteks dan merumuskan gagasan-gagasan dalam mendorong perlindungan perempuan pembela HAM. Secara umum kegiatan ini ditujukan untuk:
- Perempuan Pembela HAM mengkonsolidasikan pengalaman-pengalaman dalam melakukan pembelaan atas Hak Asasi perempuan dan memperjuangkan demokratisasi pengelolaan dan perlindungan sumber-sumber penghidupannya.
- Menemukenali peluang dan tantangan perlindungan Perempuan Pembela HAM Lingkungan dalam mekanisme anti SLAPP, dan Undang-Undang lainnya.
- Menggagas dan merumuskan mekanisme perlindungan terhadap perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan, berdasarkan pengalaman perempuan pejuang HAM dan Lingkungan serta mekanisme negara.
- Menyampaikan kepada publik bahwa perempuan memiliki hak atas lingkungan dan sumber-sumber penghidupannya serta tanggung jawab negara untuk melindungi hak-haknya dan perlindungan atas perjuangan haknya.
Temu perempuan ini diharapkan dapat menghasilkan: (1) Gambaran dan peta ragam perjuangan perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan, serta tantangan dan strategi perempuan dalam memperjuangkan keadilan ekologis. (2) Adanya peta peluang dan tantangan perlindungan Perempuan Pembela HAM Lingkungan dalam mekanisme anti SLAPP, dan Undang-Undang lainnya. (3) Adanya rekomendasi mekanisme perlindungan terhadap perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan, berdasarkan pengalaman perempuan pejuang HAM dan Lingkungan serta mekanisme Negara. (4) Terbentuknya jaringan perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan sebagai wadah berbagai strategi, jaringan pengaman dan solidaritas antar perempuan pembela HAM Lingkungan di seluruh Indonesia. (5) Rumusan agenda perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan yang akan disampaikan pada pengambil kebijakan dan pemimpin ke depan.
Rangkaian Agenda Temu Perempuan Pembela HAM
Temu Perempuan Pembela HAM dan pejuang Lingkungan ini akan dilakukan dengan beberapa rangkaian agenda yaitu;
Konsolidasi Perempuan Pembela HAM di Region
Konsolidasi Perempuan Pembela HAM (PPHAM) di region ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi, informasi, dan data terkait dengan ancaman yang dihadapi para Perempuan Pembela HAM dalam skala yang lebih luas dan lebih banyak lagi gambaran situasi, informasi, dan data yang didokumentasikan dalam konsolidasi region ini akan menjadi bahan utama dalam Temu Perempuan.
Kegiatan ini akan dilakukan selama 3 hari, 26-28 Februari 2024 yang melibatkan perempuan di grassroot. Secara metode, perempuan Pembela HAM di berbagai wilayah di Indonesia akan berbagi cerita situasi yang dihadapi dan pengalaman perlawanan di tingkat tapak, respon negara atau korporasi terhadap perlawanan mereka serta upaya yang telah dilakukan untuk menghadapinya.
Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan
Agenda ini akan dilakukan selama 2 hari, 6-7 Maret 2024 dengan melibatkan lebih dari 100 perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan dari setidaknya 30 provinsi di seluruh Indonesia. Selama 2 hari, perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan akan berbagi pengalaman dan gagasan dalam memperkuat perlindungan perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan di Indonesia, serta adanya informasi dari pengambil kebijakan di antaranya Komnas Perempuan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai mekanisme perlindungan perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan di Indonesia. Pada pertemuan ini juga akan ada peluncuran buku saku sebagai pegangan untuk perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan. Berdasarkan pengalaman perempuan, akan dirumuskan menjadi sebuah gagasan dan agenda yang akan didorong kepada pengambil kebijakan untuk membangun dan memperkuat perlindungan perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan.
Konferensi Pers “PPHAM dan Rapor Hitam Demokrasi: Urgensi Implementasi Pasal 66 UUPLH Bagi Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan
Kasus SLAPP di Indonesia berkembang dengan signifikan dengan tren kriminalisasi. 95% gugatan pidana dilakukan terhadap para pembela lingkungan dan 5% nya merupakan gugatan perdata. Fakta ini menunjukkan bahwa pasal 66 UUPLH tidak dioperasionalkan untuk melindungi para pejuang lingkungan.
Menurut Lawrence M. Friedman, bekerjanya suatu hukum dapat ditentukan oleh tiga hal, yaitu Struktur hukum (Legal Structure) yaitu institusi-institusi pembuat dan penegakan hukum; Substansi Hukum (Legal Subtance) yaitu apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh legislator, yang berupa putusan dan ketetapan, peraturan perundang-undangan, dan juga mencakup aturan yang diluar kitab undang undang; Budaya Hukum (Legal Culture) yaitu hubungan antara perilaku sosial dan kaitannya dengan hukum. Dalam konteks Anti-SLAPP persoalan besar terdapat pada struktur hukum dan substansi hukum. Di mana, masih banyak para penegak hukum yang tidak memiliki perspektif dan keberpihakan terhadap perlindungan para pejuang lingkungan, serta belum adanya peraturan turunan dari pasal 66 UUPLH.
Sehingga, konferensi ini ditujukan untuk mengangkat narasi urgensi implementasi pasal 66 UUPLH baik melalui penerbitan peraturan turunannya ataupun pelaksanaan peraturan yang telah ada saat ini. Urgensitas implementasi ini tentunya akan mengangkat narasi pengalaman perempuan yang pernah/tengah mengalami kriminalisasi akibat memperjuangkan ruang hidup.
Narasumber dalam konferensi pers ini antara lain: WALHI Nasional, KontraS, Solidaritas Perempuan, PBHI, AMAN/PPMAN, KPA, akan menjadi narasumber dalam konferensi pers ini.
Aksi Perempuan Pembela HAM dan Rapor Hitam Demokrasi
Bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret, seluruh peserta temu perempuan pembela HAM dan pejuang Lingkungan akan mengikuti aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia. Pada aksi tersebut, perempuan pembela HAM Lingkungan dapat menyuarakan persoalan dan situasi yang dialaminya karena memperjuangkan keadilan ekologis. Peserta akan membawa pesan-pesan yang berisikan situasi maupun tuntutan untuk perlindungan perempuan pembela HAM Lingkungan.
----- -----
[1] Perempuan Pembela HAM (PPHAM) adalah semua perempuan, termasuk perempuan muda, yang bekerja pada isu hak asasi manusia sehubungan dengan keberlanjutan kehidupannya dan keadilan gender yang dirampas oleh kepentingan modal dan investasi, maupun perlawanan terhadap patriarki dan fundamentalisme yang terus mengancam kedaulatan atas tubuh. Perjuangan yang dilakukan atas hak hak diri mereka, hak hak perempuan lainnya, keluarga dan komunitas.
[2] Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN), menyebutkan bahwa dalam rentang waktu tahun 2015-2021 terdapat 87 kasus kekerasan terhadap PPHAM yang diadukan secara langsung. Data ini menunjukkan kenaikan kasus yang signifikan sejak dua tahun ke belakang, pada 2022 terdapat 36 kasus kekerasan dan 2021 tercatat 23 kasus sedangkan 2019 terdapat 5 kasus. WALHI sendiri mencatat bahwa rentang 2014-2023 sekitar 827 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi.