Pada dini hari, 7 Februari 2025, Kampung Cibetus, Padarincang, Banten, berubah mencekam. Serangkaian penangkapan disertai teror dimulai. Aparat bersenjata lengkap menyerbu desa, mendobrak rumah-rumah warga, dan menangkap orang-orang, termasuk santri dan pengelola pesantren, tanpa menunjukkan surat penangkapan. Teror terjadi di tengah malam, keluarga korban hanya bisa menangis dan bertanya-tanya: "Apa salah kami?" penangkapan tidak berhenti malam itu saja, namun terus berlanjut, hingga 13 Januari, sudah 13 orang yang ditangkap.
Penangkapan ini dilakukan sebagai respons atas peristiwa pembakaran kandang ayam PT Sinar Ternak Sejahtera (STS) pada November 2024, yang dituding sebagai aksi kriminal warga. Namun, di balik insiden tersebut, terdapat perjuangan panjang warga Cibetus yang selama bertahun-tahun berusaha menuntut keadilan atas pencemaran lingkungan yang mereka alami akibat operasional PT STS, anak perusahaan Charoen Pokphand Indonesia.
Selama lebih dari satu dekade, warga Kampung Cibetus, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten, telah berjuang melawan dampak buruk yang ditimbulkan oleh PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), anak perusahaan dari Charoen Pokphand Indonesia. Sejak PT STS mulai beroperasi, lingkungan di sekitar kampung mengalami perubahan drastis akibat pencemaran yang ditimbulkan oleh usaha peternakan ayam berskala besar ini.
Warga telah berulang kali menyampaikan keluhan terkait pencemaran udara, bau menyengat dari limbah peternakan, serta meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang menyerang banyak penduduk, termasuk anak-anak dan lansia. Mereka telah berusaha mencari keadilan melalui berbagai jalur, mulai dari audiensi dengan pemerintah daerah, pengaduan ke dinas terkait, hingga aksi protes damai. Namun, respons yang diberikan sangat lamban dan tidak memadai, sementara penderitaan mereka terus berlanjut.
Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, warga justru menyaksikan bagaimana aparat penegak hukum lebih berpihak kepada kepentingan korporasi. Selama bertahun-tahun, PT STS tetap beroperasi tanpa tindakan hukum yang berarti, meskipun dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan semakin nyata. Frustrasi dan kemarahan yang terus menumpuk akhirnya memicu peristiwa pembakaran kandang ayam PT STS pada November 2024. Insiden ini bukanlah aksi kriminal tanpa sebab, tetapi puncak dari akumulasi ketidakadilan yang dirasakan warga selama bertahun-tahun.
Sayangnya, setelah insiden tersebut, sebagaian narasi yang berkembang di media arus utama cenderung menyudutkan warga, menggambarkan mereka sebagai pelaku kekerasan, tanpa melihat akar masalah yang lebih dalam—yaitu kegagalan negara dalam melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara.
Tulisan ini dibuat untuk memberikan wawasan yang lebih objektif mengenai perjuangan panjang warga Cibetus, serta bagaimana kasus ini mencerminkan konflik struktural antara masyarakat lokal dan korporasi besar yang didukung oleh kebijakan negara. Melalui uraian ini, diharapkan pembaca dapat memahami bahwa perlawanan warga bukan sekadar reaksi emosional, tetapi perjuangan untuk mempertahankan hak mereka atas lingkungan yang bersih dan sehat.
Awal Mula Konflik: Pencemaran dari Peternakan Ayam (2013-2018)
Pada tahun 2013, Djohar Setiawan mendirikan usaha pembibitan dan budidaya ayam ras di Kampung Cigadel, Desa Curuggoong, Kecamatan Padarincang. Peternakan ini dibangun di atas lahan seluas 2 hektar dengan kapasitas 30.000 ekor ayam. Seiring berjalannya waktu, warga mulai merasakan dampak negatif dari aktivitas peternakan ini. Bau busuk menyengat, populasi lalat yang tak terkendali, serta berbagai gangguan kesehatan seperti iritasi kulit, gangguan pernapasan, dan demam berkepanjangan semakin sering terjadi di lingkungan sekitar.
Pada tahun 2014, warga mulai menyampaikan keluhan mereka. Ketua RT, Babay Suhaemi, menerima laporan dari warga dan meneruskan protes mereka dengan melayangkan surat resmi kepada Djohar Setiawan. Namun, Djohar menolak tuduhan tersebut, mengklaim bahwa peternakannya telah mengikuti SOP ketat dan tidak mungkin menjadi penyebab masalah kesehatan warga.
Masalah semakin serius pada tahun 2016, ketika seorang warga bernama Muslik meninggal dunia akibat penyakit paru-paru. Keluarga Muslik meyakini bahwa pencemaran udara dari peternakan ayam adalah penyebabnya, karena sebelum adanya peternakan, almarhum tidak memiliki riwayat penyakit berat. Kematian Muslik menjadi pemicu protes besar-besaran warga, yang semakin yakin bahwa kandang ayam Djohar membawa dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Pada Februari 2018, setelah menghadapi tekanan besar dari warga, Djohar akhirnya menutup peternakannya. Selama beberapa bulan setelahnya, warga merasa lingkungan kembali lebih sehat dan nyaman. Mereka berpikir bahwa perjuangan mereka telah membuahkan hasil. Namun, situasi berubah drastis ketika lahan bekas peternakan Djohar dijual kepada PT Sinar Ternak Sejahtera (STS) pada 2019, yang kemudian membangun kandang ayam dengan skala yang jauh lebih besar—memicu konflik yang lebih luas dan berkepanjangan.
Masuknya Charoen Pokphad dan Pencemaran Semakin Memburuk (2019-2022)
Pada Juni 2019, Djohar menjual lahannya kepada PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), anak perusahaan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Sebuah perusahaan raksasa milik keluarga Chearavanont. Keluarga terkaya di Thailand dengan harta mencapai Rp522,6 triliun. Perusahaan ini mengendalikan Charoen Pokphand Foods (CPF), produsen pakan ternak, unggas, udang, dan daging babi terbesar di dunia.
Selain agribisnis, CP Group menguasai 12.000 toko 7-Eleven di Asia Tenggara, bisnis grosir Siam Makro, serta layanan telekomunikasi True Group dengan 25 juta pelanggan. Mereka juga mengendalikan 20% pasar pakan ternak di Tiongkok. Di Indonesia, Charoen Pokphand beroperasi di 22 provinsi dengan 61 anak perusahaan, salah satunya PT STS, perusahaan yang membeli lahan peternakan di kampung Cibetus.
Tanpa melakukan sosialisasi, apalagi meminta persetujuan warga, PT STS membangun tiga kandang beton bertingkat dengan kapasitas 270.000 ekor ayam, meningkat 9 kali lipat dari sebelumnya. Dampaknya pencemaran semakin memburuk.
Bau busuk yang semakin menyengat membuat warga sulit bernapas, terutama pada malam hari saat angin membawa aroma limbah dan kotoran ayam ke pemukiman. Selain itu, warga mulai mencurigai bahwa air tanah mereka telah tercemar, mengingat banyak yang mengalami mual, batuk, demam, sesak napas, dan iritasi kulit. Dampak kesehatan ini dirasakan oleh semua kelompok usia, dari balita hingga lansia, memperburuk kualitas hidup warga.
Penolakan keberadaan kandang ayam dirasa tidak lagi cukup dengan mengadukan kepada ketua RT. Masyarakat melayangkan surat protes dan meminta pemerintah segera menutup operasi PT STS. Surat-surat tersebut dikirim secara berjenjang, mulai kepada Kepala Desa, Camat hingga instansi terkait di tingkat Kabupaten, isinya sama mengadukan dampak keberadaan usaha ternak ayam, dan mendesak pemerintah segera menutup atau memindahkan kandang tersebut dari sekitar pemukiman warga.
Tidak mempan dengan surat, warga mulai mengorganisir diri dan bersama-sama, melaporkan perihal keberadaan kandang ayam kepada Kapolsek & Koramil Ciomas, hingga melaporkan langsung secara beramai-ramai ke Kapolda Banten.
Buntunya jalur mengadu lewat surat kepada instansi pemerintah dan melapor kepada penegak hukum tidak membuat warga kehabisan akal. Pada tahun 2022 warga membuat petisi yang ditandatangani lebih dari 90% warga. Petisi tersebut lalu dikirim ke instansi pemerintah dan perusahaan. Sayangnya petisi tersebut tidak mendapat tanggapan, baik dari perusahaan, maupun dari pemerintah.
Gelombang Aksi Protes yang Meningkat (2023-2024)
Setelah upaya hukum dan administratif gagal, warga Kampung Cibetus semakin aktif mengorganisir diri dalam perjuangan melawan pencemaran lingkungan akibat keberadaan peternakan ayam. Pada 6 Agustus 2023, mereka menggelar unjuk rasa di depan gerbang perusahaan, menuntut penutupan peternakan yang telah merusak kesehatan dan lingkungan mereka. Sebagai bentuk perlawanan, warga memblokir jalan masuk perusahaan dengan tumpukan batu, berharap agar aktivitas peternakan terhenti. Namun, dalam waktu singkat, pihak perusahaan segera membongkar penghalang tersebut tanpa ada mediasi atau dialog dengan warga.
Tidak menyerah, warga membangun pondasi beton sebagai blokade yang lebih permanen untuk mencegah aktivitas perusahaan. Selain itu, mereka menggelar istighosah, memohon perlindungan dan keadilan atas penderitaan yang mereka alami. Namun, perusahaan kembali membongkar pondasi tersebut, menunjukkan bahwa mereka lebih memilih konfrontasi daripada mencari solusi bagi masyarakat yang terdampak.
Melihat situasi yang semakin memanas, Bupati Serang akhirnya mengundang warga untuk mediasi pada 15 Agustus 2023. Warga diwakili oleh Ketua RT Cecep, Ust. Cecep, Ust. Gilang, Hj. Yayat, dan Mahiah. Namun, mediasi ini tidak membuahkan hasil, karena Bupati menolak mencabut izin operasional perusahaan.
Kekecewaan warga memuncak. Sehari setelah mediasi, terjadi aksi spontan yang menyebabkan robohnya pagar perusahaan. Kepolisian segera memanggil beberapa warga untuk diperiksa atas dugaan pengrusakan, tetapi tidak ada bukti yang mengarah pada tindakan kriminal.
Pada awal tahun 2024, warga mendapat kabar bahwa PT STS akan kembali beroperasi. Sebagai respons, mereka kembali menggelar istighosah. Namun, kali ini dua orang tak dikenal menyusup ke dalam aksi dan memprovokasi keributan. Polisi justru memanggil warga atas dugaan pengeroyokan, meskipun mereka akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Aksi Puncak dan Tindakan Represif Aparat (Oktober 2024-Februari 2025)
Pada 24 Oktober 2024, PT Sinar Ternak Sejahtera (STS) kembali beroperasi dengan mendatangkan ratusan DOC (Day Old Chick, anak ayam). Kabar ini membuat warga geram, karena perjuangan panjang mereka selama bertahun-tahun seolah tidak digubris oleh perusahaan maupun pemerintah.
Sebagai bentuk perlawanan, warga menggelar aksi besar di depan gerbang perusahaan, menuntut penghentian operasi peternakan yang telah mencemari lingkungan mereka. Semakin banyak warga yang berkumpul, ketegangan meningkat, hingga akhirnya terjadi insiden kebakaran kandang ayam. Api melalap sebagian fasilitas peternakan.
Beberapa hari setelah kejadian, kepolisian segera memanggil sejumlah warga untuk diperiksa. Meski demikian, tidak ada satu pun warga yang menghindar. Mereka hadir secara sukarela. Didampingi pengacara dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), warga menjalani pemeriksaan dengan tertib, dan setelahnya dipulangkan tanpa ada satu pun yang ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Kronologi Teror di Cibetus: Malam Kelam Penyerbuan Pasukan Hitam
Namun, dua bulan berselang, pada 7 Februari 2025, polisi melakukan penangkapan brutal pada dini hari pukul 00.30 WIB. Tanpa surat perintah resmi, aparat mendobrak rumah warga, menyeret mereka secara paksa, bahkan menodongkan pistol ke kepala seorang perempuan. Yang lebih mencengangkan, seorang kiai dan lima santri di bawah umur ikut ditangkap tanpa alasan yang jelas.
Padahal, sepanjang konflik ini, warga selalu kooperatif, memenuhi setiap panggilan kepolisian, dan menempuh jalur hukum yang sah. Tidak ada dasar hukum bagi aparat untuk melakukan penangkapan paksa dan brutal di tengah malam.
Tindakan ini melanggar Protap Kapolri No. 1 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa penggunaan kekerasan harus menjadi langkah terakhir, bukan tindakan utama. Selain itu, polisi juga melanggar prinsip due process of law, yang mewajibkan adanya surat perintah resmi dan transparansi dalam proses hukum.
Standar Ganda Penegakan Hukum
Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana hukum lebih berpihak kepada korporasi besar dibandingkan rakyat kecil. Warga Kampung Cibetus telah berulang kali melaporkan pencemaran lingkungan yang jelas mengancam kesehatan dan kesejahteraan mereka. Bukti-bukti dampak pencemaran telah terlihat nyata: bau busuk yang tak tertahankan, lonjakan populasi lalat, hingga meningkatnya kasus penyakit pernapasan dan kulit. Namun, pemerintah dan aparat hanya diam, seolah-olah penderitaan warga bukanlah hal yang mendesak untuk diselesaikan.
Sebaliknya, ketika perusahaan melaporkan bahwa mereka merasa dirugikan, aparat bertindak cepat dengan kekerasan. Penangkapan warga dilakukan tanpa surat perintah, rumah mereka digeledah di tengah malam, bahkan santri di bawah umur dan seorang kiai ikut ditangkap. Tindakan represif ini menunjukkan betapa hukum di Indonesia dijalankan dengan standar ganda.
Atas kejadian tersebut, WALHI menuntut Kapolri segera memeriksa Kapolda Banten dan seluruh personel yang terlibat dalam operasi represif di Kampung Cibetus. Pasalnya, Kapolres telah melakukan pemanggilan yang dilakukan secara persuasif, dan dipatuhi oleh oleh masyarakat dengan hadir ke kantor Polres dan menjalani pemeriksaan. Dua bulan berselang terjadi penangkapan brutal dan kasus kemudian ditangani oleh Polda Banten. Penindakan dan penegakan hukum semacam ini jelas tidak konsisten dan menerapkan standar ganda.
Warga Kampung Cibetus telah menunjukkan ketahanan luar biasa dalam memperjuangkan hak atas lingkungan sehat. Mereka menempuh segala jalur legal, mulai dari pengaduan ke pemerintah, petisi, hingga mediasi, namun tetap diabaikan. Ketidakadilan yang mereka alami bukan hanya peristiwa lokal, tetapi mencerminkan masalah sistemik yang lebih luas: ketimpangan dalam penegakan hukum dan keberpihakan negara kepada kepentingan bisnis besar.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa hukum seharusnya melindungi rakyat, bukan hanya korporasi. Jika keadilan terus dikendalikan oleh kepentingan pemodal besar, maka rakyat kecil akan selalu menjadi korban yang terpinggirkan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Adam Kurniawan
Kepala Divisi Publik Engangement
[email protected]
0811589856