Oleh: Parid Ridwanuddin
Manajer kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI
Dalam satu dekade terakhir, bencana hidrometeorologi, yang ditandai oleh cuaca ekstrem terus menyerang Indonesia. Badan Meteologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut bencana ini terjadi di atmosfer (meteorologi), air (hidrologi), dan lautan (oseanografi). semuanya berhulu pada satu penyebab, yaitu krisis iklim. Dengan demikian, bencana hidrometeorologi ini disebut juga sebagai bencana iklim.
Bentuk dari bencana iklim sangat beragam, tapi yang paling banyak dijumpai di antaranya adalah curah hujan ekstrem, gelombang pasang, dan abrasi. Semuanya terbukti telah menyebabkan kematian, cedera, hilangnya harta benda, hancurnya mata pencaharian, dan kerusakan lingkungan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat pada 2022 telah terjadi 1.057 cuaca ekstrem serta 26 kali gelombang pasang dan abrasi di pesisir dan laut. Akibatnya, banyak tangkap tradisional tak bisa melaut. Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sejumlah nelayan sudah tidak bisa melaut selama tiga pekan sejak Desember 2022 lalu. Akibat cuaca buruk, hasil tangkapan ikan sebanyak tiga ton juga harus hilang di laut karena perahu nelayan di kota Kupang dihantam gelombang.
Apa yang dialami oleh nelayan di Kupang dan Jakarta menggambarkan betapa bencana iklim sangat berbahaya bagi kehidupan lebih dari dua juta nelayan tradisional di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah nelayan yang meninggal akibat cuaca buruk sebanyak 87 orang, dan pada 2020 naik menjadi 251 orang. Tentu hal ini tak dapat dibiarkan, karena mereka adalah aktor utama sektor kelautan dan perikanan.
Perlindungan Nelayan
Pemerintah Indonesia harus segera melihat meninggalnya nelayan akibat bencana iklim sebagai situasi urgen. Untuk itu, mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam wajib segera dijalankan. Undang-undang ini mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan nelayan, yang menghadapi risiko penangkapan ikan, di antaranya yang terkena dampak krisis iklim. Skema perlindungan yang dimandatkan oleh Undang-undang ini adalah menyediakan prasarana Usaha Perikanan dan kemudahan, memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan risiko penangkapan ikan dalam bentuk asuransi nelayan, menghapus praktik ekonomi biaya tinggi, mengendalikan impor komoditas perikanan, serta jaminan keamanan dan keselamatan. Mandat Undang-undang tersebut, selain wajib dijalankan oleh Pemerintah Pusat, menjadi tugas setiap Pemerintah Daerah.
Lebih jauh dari itu, Indonesia sangat membutuhkan Undang-Undang Perubahan Iklim. Tujuannya, untuk menegakkan keadilan iklim bagi masyarakat, termasuk nelayan. Keadilan Iklim mensyaratkan beberapa sikap. pertama, menuntut pergeseran dari wacana tentang gas rumah kaca dan pencairan es menjadi gerakan hak-hak sipil dengan orang-orang dan komunitas yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim, terutama masyarakat yang berada di pusat permasalahan.
Kedua, mengakui dampak yang tidak adil dari krisis iklim pada komunitas berpenghasilan rendah di seluruh dunia, terutama orang-orang dan tempat-tempat yang paling tidak bertanggung jawab atas timbulnya krisis iklim.
Ketiga, menyerukan keadilan dalam pengambilan keputusan. Prinsip ini mendukung pemusatan populasi yang paling tidak bertanggung jawab, dan paling rentan terhadap krisis iklim sebagai pengambil keputusan dalam rencana pembangunan.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo
https://koran.tempo.co/read/opini/479531/dampak-cuaca-ekstrem-dan-bencana-iklim-terhadap-nelayan-sektor-kelautan-dan-perikanan