Siaran Pers
Temu Perempuan Pembela HAM
Jakarta, 7 Maret 2024. Lebih dari 100 perempuan pembela HAM dari 24 provinsi berkumpul dan menyampaikan fakta, bahwa Pemerintah serta aparat penegak hukum masih gagal memberikan perlindungan terhadap perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan. Berbagai kebijakan perlindungan HAM tidak dijalankan oleh negara, termasuk mengimplementasikan pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Hal ini ditunjukkan dengan sebanyak 1.054 orang yang terdiri dari 1.019 laki-laki, 28 perempuan, dan 11 anak-anak diduga mengalami kriminalisasi akibat memperjuangkan lingkungan, selama dua periode kepemimpinan presiden Jokowi (WALHI;2024). Sejumlah besar kriminalisasi terjadi di sektor-sektor agraria, pertambangan, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek energi dan proyek iklim lainnya.
Selain kriminalisasi, para perempuan pejuang lingkungan juga kerap mengalami intimidasi, serangan fisik, kekerasan verbal, bahkan kekerasan seksual, sehingga perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan adalah entitas yang paling rentan mengalami ketidakadilan dan kekerasan berlapis dan trauma kolektif. Namun celakanya, pasal 66 UUPLH tidak mampu membentengi para pejuang lingkungan, khususnya perempuan pejuang lingkungan.
Ada dua persoalan mendasar mengapa pasal 66 UUPLH tidak operasional. Pertama, secara substansi terdapat ketidakjelasan beberapa unsur, seperti kejelasan definisi, arah jangkauan, kriteria serta operasionalisasi Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) dalam sistem hukum. Bahkan hingga saat ini, tidak ada aturan pelaksana berkaitan dengan implementasi pasal 66. Kepolisian sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) yang pertama sekali bersentuhan dengan SLAPP tidak memiliki kebijakan yang menjadi payung hukum perlindungan Perempuan Pembela HAM Lingkungan.
Kedua, secara struktur hukum, tidak banyak Aparat Penegak Hukum (APH) yang memiliki perspektif lingkungan dan memahami bahwa Perempuan Pembela HAM Lingkungan memiliki hak imunitas. Selain itu, Kementerian/Lembaga tidak memiliki mekanisme koordinasi yang jelas terkait Anti-SLAPP, sehingga masih sangat sektoral.
Persoalan mendasar ini menjadi dasar Perempuan Pembela HAM Lingkungan merekomendasikan beberapa hal sebagai upaya memperkuat implementasi regulasi perlindungan perempuan pembela HAM Lingkungan, yaitu;
- Memastikan dan mendesak negara untuk menjalankan mandat pasal 66 UU PPLH, termasuk menyusun regulasi turunan implementasi pasal 66 UU PPLH yang berkeadilan bagi perempuan pejuang lingkungan dan HAM.
- Mendorong pemerintahan ke depan untuk menjadikan agenda perlindungan perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan sebagai agenda prioritas negara ke depan.
- Anti-SLAPP harus memastikan perlindungan bagi setiap orang, khususnya perempuan yang berpartisipasi dan terlibat pengambilan keputusan dalam ruang publik untuk menentukan kebijakan, hukum, politik dan model pembangunan serta perlindungan lingkungan hidup.
- Mekanisme Anti-SLAPP harus memastikan adanya pemulihan bagi para Perempuan Pembela HAM Lingkungan, seperti pemulihan psikologis, kerugian moral, sosial dan kerugian finansial yang diderita.
- Pemerintah segera menyusun mekanisme koordinasi yang jelas terkait Anti-SLAPP bagi seluruh K/L terkait.
- Kepolisian sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) yang pertama sekali bersentuhan dengan SLAPP harus memiliki kebijakan yang menjadi payung hukum perlindungan Perempuan Pembela HAM Lingkungan.
Lembaga yang terlibat dalam Temu Perempuan Pembela HAM:
- WALHI
- Kemitraan
- Greenpeace Indonesia
- Solidaritas Perempuan
- AKS!
- ICEL
- KontraS
- PBHI
- Sawit Watch
- KNTI
- JATAM
- Mama Aleta Fund
- TKPT
- Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Narahubung :
- Uli Arta Siagian, WALHI (082182619212)
- Armayanti Sanusi, SP (085758763460)
- Prilli, ICEL (081519980421)
- Belgis Habiba, Greenpeace (08970005629)
- Annisa Azzahra, PBHI (0895620923900)
- Amira, KontraS (08176453325)