Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Siaga Darurat Kabut Asap, WALHI Desak Upaya Penanggulangan Asap dan Penegakan Hukum bagi Korporasi
Jakarta-Harapan kebakaran hutan dan lahan gambut tidak terjadi lagi paska peristiwa hebat pada tahun 2015, pupus. Meski angkanya sempat menurun di tahun 2016 dan 2017, kebakaran di tahun 2018 ini dikhawatirkan akan meluas. Data WALHI yang diolah dari berbagai sumber mencatat dari tanggal 1 Januari – 14 Agustus 2018, terdapat 2.173 titik api, diantaranya tertinggi di Kalimantan Barat mencapai 779 dan Riau sebanyak 368 titik. Yang disayangkan, dari data titik api yang kami overlay dengan peta perizinan, ditemukan sebagian titik api berada di konsesi 230 di IUPHHK-HT, 85 di IUPHHK-HA, 122 di HGU. Selain di dalam konsesi, kami juga mencatat sebaran titik api berada di wilayah kesatuan hidrologi gambut (KHG), yang menjadi wilayah prioritas pemulihan restorasi gambut dan pencegahan dari kebakaran. Data di atas menunjukkan bahwa belum ada perubahan yang signifikan dari krisis sebelumnya, kebijakan korektif terhadap salah urus tata kelola hutan dan ekosistem rawa gambut belum terjadi, meski pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan restorasi gambut salah satunya dengan menerbitkan Perpres No. 1/2016 dan PP 57/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi tahun ini mengingatkan akan sejumlah pekerjaan rumah yang begitu besar, buah dari salah urus tata kelola hutan dan ekosistem rawa gambut di masa lalu. Sayangnya pekerjaan rumah tersebut tersendat-sendat dijalankan, jauh dari harapan pembenahan tata kelola dan penegakan hukum. Anton P Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat, menyatakan “fakta dimana tahun ini titik api sangat tinggi di Kalimantan Barat, menjelaskan bahwa klaim perbaikan tata kelola gambut yang selama ini dilakukan di Kalimantan Barat telah gagal. Realitas ini sekali lagi menjelaskan bahwa restorasi gambut, tanpa penegakan hukum bagi korporasi adalah kesia-siaan”. Direktur WALHI Kalimantan Tengah, Dimas Hartono menambahkan fakta bahwa “di Kalimantan Tengah pengeringan gambut masih terjadi di beberapa konsesi untuk penanaman sawit, aktivitas ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah bertindak tegas terhadap korporasi”. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa “tantangan terbesar persoalan kebakaran hutan dan gambut dan penanganannya adalah kuatnya aktor korporasi yang selama ini berada di balik peristiwa kebakaran hutan dan gambut. Komitmen penegakan hukum yang sempat dilontarkan oleh Presiden di tahun 2015 dan awal tahun 2016, semakin melemah dengan mengatasnamakan keterlanjuran, sehingga korporasi semakin merasa mendapatkan angin, dan bahkan terus melakukan upaya pembangkangan hukum”. Penegakan hukum lebih banyak bersifat pemberian sanksi administratif yang tidak memberikan efek jera sedikitpun bagi korporasi. Ironinya, penegakan hukum yang seharusnya ditujukan bagi korporasi yang telah melakukan pelanggaran hukum, justru berbelok menyasar masyarakat adat, masyarakat lokal dan petani. Berbagai pernyataan dari aparat keamanan seperti “tembak di tempat bagi pelaku pembakaran”, menunjukkan bahwa aparat keamanan gagal melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut adalah problem struktural yang disebabkan oleh pelanggaran hukum oleh aktor yang memilki kekuatan ekonomi. “Mengingat karhutla merupakan kejahatan lingkungan hidup yang luar biasa dari praktik buruk korporasi, dan tumpulnya penegakan hukum untuk kejahatan korporasi, maka Presiden diharapkan menyiapkan pengadilan lingkungan hidup”, tambah Kisworo Dwi Cahyono, Direktur WALHI Kalimantan Selatan. Kita tentu tidak berharap karhutla seperti tahun 2015 terjadi lagi, dengan korban yang begitu banyak dan bahkan hingga mengakibatkan kematian, karena pemerintah tidak siap menghadapi karhutla dan dampak turunannya, khususnya terhadap kesehatan masyarakat. Karenanya, WALHI mendesak pemerintah untuk segera melakukan langkah-langkah penting dan mendesak. Dalam jangka pendek, pemerintah harus memastikan titik api tidak semakin meluas, dan segera menerapkan upaya kesiapsiagaan guna menghindari jatuhnya korban. “Harapan kita, penanganan karhutla bukan hanya karena ada event Asian Games semata dan demi nama baik bangsa, namun melampui itu, ini menyangkut soal keselamatan masyarakat yang selama belasan tahun terpapar asap karhutla”, terang Direktur WALHI Sumatera Selatan, Muhammad Hairul Sobri. Akhirnya, kami mendorong agar pemerintah melihat kebakaran hutan dan lahan gambut yang kembali terjadi pada tahun 2018 ini sebagai momentum untuk mengeluarkan kebijakan perlindungan hutan dan ekosistem rawa gambut yang lebih komprehensif dan bersifat jangka panjang dari berbagai ancaman investasi skala besar antara lain sawit dan kebun kayu . “Kami mendesak Presiden segera mengeluarkan kebijakan moratorium sawit dan investasi monokultur skala besar lainnya. Jika tidak, kami khawatir target pembenahan tata kelola hutan dan ekosistem rawa gambut tidak akan tercapai dan kebakaran hutan dan gambut, akan terus terjadi, karena kerusakannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya pemulihannya”, tegas Khalisah dalam penutup siaran pers ini. Jakarta, 19 Agustus 2018 Narahubung: Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi WALHI, di 081808131090 Untuk informasi selengkapnya dari berbagai daerah, dapat menghubungi: 1. Direktur WALHI Kalimantan Barat, Anton P Widjaya di 0811574476 2. Direktur WALHI Kalimantan Tengah, Dimas Hartono di 081352704704 3. Direktur WALHI Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, di 081348551100 4. Direktur WALHI Riau, Riko Kurniawan di 081371302269 5. Direktur WALHI Jambi, Rudiansyah, di 081366699091 6. Direktur WALHI Sumatera Selatan, Hairul Sobri, di 081278342402