Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta, 20 Mei 2024 -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyampaikan kritik keras terhadap pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan pada Water World Forum atau Forum Air Dunia ke-10 di Bali. Di dalam kesempatan tersebut, Jokowi menggarisbawahi bahwa dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah memperkuat infrastruktur airnya dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektar jaringan irigasi, 2.156 km pengendali banjir & pengamanan pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektar jaringan irigasi.
Selain itu, menurut Jokowi Indonesia mendorong tiga hal secara konsisten: pertama, meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas untuk mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil serta yang mengalami kelangkaan air; Kedua, memberdayakan hydro-diplomacy untuk kerja sama konkret dan inovatif, menjauhi persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas; Ketiga, memperkuat political leadership sebagai kunci sukses berbagai kerja sama menuju ketahanan air berkelanjutan.
Kritik terhadap Solusi Bias Infrastruktur
Merespon hal itu, WALHI menyatakan bahwa beragam pernyataan Jokowi dalam pidato itu adalah pidato as usual sebagaimana yang sering disampaikan dalam berbagai forum internasional. Namun, apa yang disampaikan dalam pidato tersebut faktanya berkebalikan dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Salah satu persoalan serius dari pidato Jokowi adalah satu-satunya solusi pemerintah untuk mengatasi krisis air di Indonesia hanya dengan membangun infrastruktur skala besar. Padahal, pembangunan infrastruktur, seperti bendungan dan pengaman pantai, bukan tanpa masalah. Di dalamnya banyak terjadi kekerasan, penggusuran tanah, sekaligus penghancuran lingkungan, alih-alih menyelesaikan persoalan krisis air.
Kasus Bendungan di desa Wadas, Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), menjadi bukti bahwa bendungan yang diklaim akan mengaliri 15.519 hektare lahan dan menjadi sumber pemenuhan air baku bagi masyarakat di Purworejo dan Kulonprogo. Bendungan ini juga diklaim akan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar melalui pengembangan pariwisatanya. Namun, situasi yang terjadi di lapangan justru merusak lingkungan akibat pertambangan batu andesit, penahanan 64 orang, sekaligus merusak sumber daya air.
Dengan demikian, solusi-solusi yang hanya bersifat teknis dalam bentuk infrastruktur dan betonisasi seperti klaim Jokowi di Forum Air Dunia gagal sejak awal dalam menyelesaikan krisis air.
Kritik terhadap Ajakan Solidaritas untuk Negara-negara Pulau Kecil
WALHI juga mengkritik keras pidato Jokowi yang mengajak dunia internasional untuk meningkatkan solidaritas dan inklusivitas guna mencapai solusi bersama, terutama bagi negara-negara pulau kecil serta yang mengalami kelangkaan air. Pernyataan itu tersebut merupakan bentuk pernyataan yang penuh dengan hipokrisi untuk menutupi kiamat air di pulau-pulau kecil di Indonesia yang mengalami krisis air akibat ekspansi pertambangan nikel akibat ambisi hilirisasi untuk melayani industri otomotif mobil listrik. Pada titik ini, pernyataan Jokowi tidak menggambarkan Indonesia sebagai leading by example kepada dunia internasional.
Sampai tahun 2024, tercatat sebanyak 218 izin usaha pertambangan (IUP) mengapling 34 pulau-pulau kecil di berbagai wilayah di Indonesia. Di antara pulau kecil yang mengalami kiamat air akibat pertambangan adalah Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di Pulau kecil ini terdapat 1 Penanaman Modal Asing (PMA) dan 5 Penanaman Modal Dalam Negeri dengan status izin usaha pertambangan (IUP).
Akibat pertambangan nikel, banyak mata air terancam hancur. Bahkan kualitas dan kuantitas air yang digunakan warga setiap hari hancur. Saat hujan turun, air yang mengalir ke rumah warga berubah menjadi warna coklat dan dipenuhi oleh lumpur. Dampaknya, warga harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk membeli air. Atas dasar itu, warga menempuh langkah hukum dan menggugat sampai ke Mahkamah Agung.
Pada 22 Desember 2022 lalu, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Putusan MA Nomor 57 Tahun 2022, yang mengabulkan gugatan materiil 30 warga Pulau Wawonii. Di dalam putusan tersebut, MA menyatakan putusan di antaranya bahwa secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil termasuk wilayah yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk namun tidak terbatas pada kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam teori hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan, karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya. Bahkan juga mengancam kehidupan sekitar.
Kiamat air dan kebangkrutan ekologis juga terjadi di banyak pulau kecil yang ditambang oleh perusahaan nikel, seperti di Pulau-pulau kecil di Maluku Utara.
Kritik terhadap Hydro Diplomacy
WALHI juga menyampaikan kritik terhadap pernyataan Jokowi yang mengajak untuk memperkuat hydro-diplomacy untuk kerjasama konkret dan inovasi serta menjauhi persaingan dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas. Menurut WALHI, ajakan hydro-diplomacy ini tidak lain adalah ajakan Jokowi kepada investor asing untuk terus berinvestasi di sektor air. Hal ini tentu akan semakin memperkuat swastanisasi dan privatisasi air di Indonesia.
Di tengah situasi krisis iklim yang semakin memburuk, Jokowi seharusnya melakukan diplomasi keadilan iklim (climate justice diplomacy) yang menuntut negara-negara Utara serta korporasi multinasional untuk menurunkan emisinya. Lebih dari itu, Jokowi seharusnya mendesak negara-negara Utara mengevaluasi bisnis perusahaan air di Indonesia, seperti misalnya Prancis seharusnya didesak untuk mengevaluasi perusahaan Danone dan Palyja.
Lebih jauh, saat membicarakan political leadership sebagai kunci sukses berbagai kerja sama menuju ketahanan air berkelanjutan, tidak akan terwujud jika Indonesia tetap dijadikan target investasi industri ekstraktif negara-negara lain, baik Uni Eropa, Amerika Serikat, dan China, atau perusahaan multinasional yang terus mengeruk mineral Indonesia, baik yang berada di darat maupun yang berada di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. (*)
Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil, di email: [email protected]