Menyikapi Lemahnya penegakan Hukum terhadap Kejahatan Lingkungan Hidup dan COP 22 di Maroko Aksi Aktifis Lingkungan Walhi dan Sahabat Walhi Sumsel : PT. BMH Penjahat Iklim ! Palembang, 18 November 2016. Meningkatnya krisis lingkungan hidup yang berdampak pada maraknya bencana ekologis dan menurunnya kualitas kesejahteraan masyarakat, membutuhkan komitmen yang serius dari seluruh pihak untuk menghentikannya. WALHI Sumsel melihat komitmen tersebut belum serius dan lamban. Sebagaimana kita ketahui, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan telah menjadi “musim” langganan selain musim penghujan dan kemarau. Karhutla juga merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar yang berasal dari industri berbasiskan lahan(land base industry), selain industry-indutri yang menggunakan energi fosil (batubara). Pada pertemuan Conference of Parties (COP) tentang perubahan iklim ke 21 di Paris tahun 2015 lalu, kasus Karhutla di Indonesia cukup menjadi perhatian.
Namun korporasi (pelaku kejahatan pembakaran) mampu mengintervensi pertemuan tersebut, sehingga tidak ada langkah signifikan dan nyata untuk menyelesaikan persoalan. Hingga pada hari ini, dimana sedang berlangsungya COP 22 di Maroko, penegakan hukum juga tidak menjadi agenda utama oleh pemerintah Indonesia. Belum lepas dalam ingatan masyarakat, Pengadilan Tinggi Palembang pada 12 Agustus 2016 memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT. Bumi Mekar Hijau di tingkat banding . Meskipun memenangkan KLHK, namun putusan tersebut jauh dari tuntutan kementerian (Negara) terkait jumlah ganti rugi untuk pemulihan lingkungan dan rasa keadilan untuk masyarakat. Paska putusan tersebut, KLHK mengatakan akan mengajukan kasasi di sejumlah pemberitaan media massa. Namun, hingga kini,rencana dan upaya tersebut belum juga dilakukan. Tentunya sikap ini menjadi pertanyaan besar bagijutaan masyarakat korban baik di sumsel maupun di Indonesia pada umumnya. Apakah ini sebuah kelambanan atau menerima begitu saja dengan keputusan Pengadilan Tinggi Palembang. Hadi Jatmiko, Direktur Eskekutif WALHI Sumatera Selatan mendesak KLHK untuk segera melakukan kasasi, untuk membuktikan bahwa komitmen Indonesia sungguh-sungguh dalam melawan kejahatan lingkungan hidup.
Sebagaimana kita tahu, di Indonesia kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu sumber emisi rumah kaca terbesar. Dimana pelakunya adalah Industri Kehutanan (HTI) dan Perkebunan kelapa sawit. Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper (HTI) tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana kita ketahui mereka tidak berdiri sendiri. Melainkan didukung oleh banyak hal, seperti paket kebijakan yang tidak berpihak pada masa depan lingkungan hidup dan manusia didalamnya, lembaga-lembaga keuangan, dan politik internasional yang tidak adil dalam melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam. Di sektor energi, komitmen Inondesia juga sangat lemah. Kebijakan Jokowi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan masih jauh dari harapan. Sumatera Selatan misalnya, proses pembangunan PLTU mulut tambang terus dalam proses pembangunan. Dengan demikian, pola pembangunan industry ekstraktif melalui batubara masih menjadi pilihan politik kebijakan rezim saat ini.
Dapat dipastikan Nawacita Jokowi-JK dalam kedaulatan energi akan mengalami kegagalan, karena masih ketergantungan dengan penggunaan energy fosil kotor (batubara) yang merusak Lingkungan hidup dan mengancam keselamatan Rakyat . Selain menjadi korban, rakyat hanya dijadikan penonton yang tidak memiliki kewenangan apapun. Tentunya ini disebabkan oleh system politik nasional dan daerah yang juga melanggengkan penindasan secara turun menurun. Padahal, banyak komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki praktik yang arif dalam pengelolaan ligkungan hidup. Meskpiun sama sekali tidak tersentuh oleh kehadiran Negara (mandiri) dan terus mengalami keterancaman terhadap ruang hidup, pangan, sosial dan budaya. Penurunan emisi adalah salah satu bentuk penyelamatan lingkungan hidup, namun tidak akan berhasil jika penegakan hukum tidak dilakukan dan didahulukan kepada industry perkebunan dan kehutanan serta Industri ekstratif pertambangan. Karena itu merupakan hal yang mendasar dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan lingkungan hidup, juga dapat memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku kejahatan tersebut. Pemerintah juga harus segara berhenti melakukan pembangunan energy kotor dan beralih ke energy bersih.