Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Jakarta, 21 Juli 2024 – Setelah menyelesaikan perhelatan ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) ke-27 yang diselenggarakan di Bogor, Indonesia–melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK)–akan dipercaya melanjutkan keketuaan ASOF, yang sebelumnya dipegang oleh Kamboja.
Sebelumnya, di dalam perhelatan ASOF ke-27 tersebut, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen untuk mengawal isu mangrove selama memimpin ASOF. Di dalam forum tersebut, KLHK menyampaikan sejumlah strategi pengelolaan mangrove untuk ASEAN sebagai berikut:
Pertama, melakukan pemetaan (mapping) dan penilaian (assessment) guna mengetahui dengan pasti situasi sekaligus kualitas sebaran mangrove yang ada di pesisir Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, yang menjadi rumah bagi 34 persen mangrove dunia. Dalam hal ini, KLHK mengusulkan profil mangrove ASEAN untuk memastikan baik tidaknya status ekosistem Mangrove.
Kedua, meningkatkan kapasitas kesadaran (enhancing awareness capacity) untuk semua pemangku kepentingan yang relevan dengan pengelolaan mangrove. Ketiga, membangun tata kelola (governance) yang baik, mulai dari tingkat tapak sampai ke tingkat yang paling tinggi.
Keempat, intervensi teknis (technical intervension) dengan cara belajar dari pengalaman antar negara sekaligus dari para ahli dan lintas komunitas. dan Kelima, dialog kebijakan (policy dialogue) di antara negara di ASEAN untuk saling mendukung dan saling mendukung serta memperkuat kebijakan antar negara.
Kritik WALHI terhadap Tata Kelola Mangrove Indonesia
Merespon pertemuan ASOF ke-27 sekaligus keketuaan Indonesia setelah Kamboja, WALHI menegaskan bahwa strategi pengelolaan mangrove Indonesia yang disampaikan KHLK kepada para delegasi negara ASEAN sepenuhnya tidak dijalankan dengan baik di Indonesia. “Dalam pengelolaan mangrove, Indonesia tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi.
Ketidakmampuan Indonesia memimpin dengan contoh, lanjut Parid, dapat dilihat dalam sejumlah bukti sebagai berikut:
Pertama, dalam hal data mengenai mangrove di Indonesia, Pemerintah tidak konsisten. Merujuk pada data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sebagaimana tercantum dalam dokumen Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut, tahun 2022, total luasan hutan mangrove tercatat seluas 2.320.609,89 hektar. Dari angka tersebut, hanya 30,32 persen hutan mangrove yang berada dalam kondisi baik. Sisanya, 10,75 persen berada dalam kondisi sedang, dan 12,36 dalam kondisi rusak. Anehnya, pemerintah Indonesia menerbitkan Peta Mangrove Nasional (PMN) pada tahun 2021 yang mengklaim luasan mangrove lebih dari 3,364,080 hektar, di mana 92.78 persen tutupannya dinilai lebat, 5,60 tutupan sedang, 1,62 tutupan jarang. Selain itu, pemerintah mengklaim ada wilayah potensi mangrove seluas 756,183 hektar.
Kedua, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2020 lalu dan merevisi kembali pada tahun 2023. Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7 pada PP 27 Tahun 2021 tersebut menyatakan zona inti pada ekosistem mangrove boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.
Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa agenda rehabilitasi mangrove yang disebutkan oleh Presiden Jokowi itu sangat mudah diubah untuk beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif.
Ketiga, Kawasan mangrove juga tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Walhi dalam dokumen berjudul Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia, disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2040 setidaknya seluas 3.527.120,17 hektar proyek reklamasi yang sedang dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah. Di dalam pada itu, pengakuan dan perlindungan mangrove hanya diberikan seluas 52.455,91 hektar. Perbandingan yang sangat ironis jika dibandingkan dengan luasam proyek reklamasi.[1]
Ketiga bukti tersebut, kata Parid, menujukkan absennya keseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi mangrove yang selalu dikampanyekan dalam setiap forum internasional. “Inilah mengapa Walhi menyebut tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example. Apa yang disampaikan di forum internasional, secara diametral bertentangan dengan kebijakan dalam negeri,” tegasnya.
Kemunduran Tata Kelola Rancangan Peratuan Pemerintah Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Tak hanya itu, Parid menggarisbawahi bahwa sejak sejak tahun 2022 lalu, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah melakukan diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Sampai sejauh ini, pembahasan RPP ini masih belum begitu masif dilakukan dan mengundang berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat pesisir baik laki-laki maupun perempuan.
Foto (pada cover) dan di atas: Kelompok Perempuan Pulau Pari yang terus menanam ribuan mangrove setiap pekan serta
melindunginya secara serius dan berkelanjutan. Namun mereka tak mendapatkan perlindungan dari negara. (sumber foto: istimewa)
Berdasarkan kajian Walhi sebagaimana tercantum dalam dokumen Kertas Posisi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia, RPP Mangrove, memiliki sejumlah catatan serius, sebagai berikut[2]:
Pertama, RPP ini belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Dengan kata lain, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun oleh masyarakat belum terlihat dalam RPP ini. Lebih jauh, tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara.
Kedua, RPP ini tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif. Terdapat sejumlah pasal yang jelas-jelas melegalkan perusakan ekosistem mangrove, khususnya Pasal 16 dan 18. Kedua pasal ini melegalkan konversi ekosistem mangrove.
Ketiga, RPP ini sangat terlambat jika melihat UU induknya, yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan kata lain, setelah UU itu disahkan pada 2009, baru 14 tahun kemudian ada aturan turunan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Keempat, RPP ini memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. RPP ini seharusnya menggunakan sanksi pidana jika merujuk kepada UU 32 Tahun 2009. Namun sayangnya, RPP malah menggunakan sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove. Dari sini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU 32 Tahun 2009, tetapi merujuk kepada UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi.
Kelima, RPP ini tidak menempatkan mangrove dalam konteks mitigasi bencana yang melibatkan masyarakat lokal. Hal ini penting ditegaskan mengingat masyarakat lokal–baik laki-laki maupun perempuan–memiliki pengetahuan dan pengalaman lapangan karena mereka bersentuhan setiap hari dengan ekosistem mangrove. Pada titik ini, pendekatannya semestinya bukan hanya bersifat akademis dan teknokratis yang dilakukan di belakang meja, melainkan juga pendekatan berbasis pengetahuan lokal.
Keenam, pada tahun-tahun politik elektoral seperti saat ini, RPP Perlindungan dan Pemberdayaan Ekosistem Mangrove disusun tidak benar-benar untuk melindungi keberadaan mangrove dan masyarakat pesisir. Sebaliknya, RPP ini memperlihatkan pemerintah Indonesia ingin melakukan kampanye ke dunia internasional, dengan tujuan untuk mendapatkan pendanaan iklim.
Dari berbagai catatan tersebut, Parid menjelaskan bahwa tata kelola mangrove setelah tahun 2020 di Indonesia mengalami kemunduran serius dibandingkan dengan sebelum tahun 2010. “Pada Tahun 2007 dan 2009, Indonesia punya undang-undang yang melindungi mangrove dan menetapkan sanksi pidana lingkungan kepada pelaku perusakannya. Kedua undang-undang itu adalah UU No. 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014 dan UU No. 32 Tahun 2009,” katanya.
Namun, saat ini setelah tahun 2020, tambah Parid, sanksinya hanya berupa sanksi administrasi bagi perusak mangrove. Lahirnya UU Cipta Kerja, termasuk UU Minerba merupakan gerak mundur perlindungan mangrove di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa kampanye perlindungan dan pengelolaan mangrove yang dilakukan oleh pemeritah Indonesia di berbagai forum internasional, termasuk penyusunan peta mangrove, takkan memperbaiki ekosistem mangrove dalam jangka menengah maupun jangka panjang.
“Apalagi jika mangrove dijadikan objek perdagangan karbon. Ini merupakan kemunduran yang sangat besar,” pungkas Parid Ridwanuddin. (*)
Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil, Eksekutif Nasional WALHI, di email: [email protected]
[1] Selengkapnya, silakan akses: Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia dalam https://www.walhi.or.id/negara-melayani-siapa-potret-ocean-grabbing-di-pesisir-laut-dan-pulau-pulau-kecil-dalam-28-rzwp3k-di-indonesia
[2] Selengkapnya, silakan akses: https://www.walhi.or.id/index.php/kertas-posisi-perlindungan-dan-pengelolaan-ekosistem-mangrove-di-indonesia