slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Indonesia Berdagang Krisis Iklim Pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) | WALHI

Indonesia Berdagang Krisis Iklim Pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29)

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Tanggapan Atas Pidato Pemerintah RI pada COP29

Jakarta, 13 November 2024 - Hashim Djojohadikusumo, Utusan khusus Presiden untuk Iklim dan Energi sekaligus Kepala Delegasi Republik Indonesia (Delri) pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of Parties (COP) ke-29 menyampaikan pidato pada World Leaders Climate Action Summit. Pidato Hashim pada forum tingkat tinggi tersebut mewakili Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Alih-alih menyampaikan situasi krisis iklim, komitmen pemerintah dan aksi iklim konkrit dalam rangkai mencapai tujuan Perjanjian Paris, Hashim justru terlihat seperti pedagang yang lebih banyak bicara soal bagaimana krisis iklim diatasi dengan skema dagang seperti potensi kredit karbon, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan urgensi pendanaan untuk proyek reforestasi. Dalam pidato di hadapan pemimpin dunia tersebut, hampir tak ada pernyataan terkait upaya serius-ambisius pemerintah dalam penurunan emisi dan perlindungan rakyat dari dampak krisis iklim. 

Pernyataan Kepala Delri yang mewakili presiden tersebut memperlihatkan secara gamblang bahwa kepentingan bisnis korporasi lebih diutamakan dibanding kepentingan lingkungan dan keselamatan rakyat dari dampak krisis iklim. Nampak konflik kepentingan (conflict of interest) dari upaya pemerintah memperdagangan krisis iklim demi menutupi jejak kejahatan ekologis dari korporasi besar yang dimiliki oleh pengusaha cum politisi. Alih-alih mendorong pengurangan emisi dari sektor ekstraktif seperti perkebunan, kehutanan dan pertambangan, pemerintah justru berfokus pada usaha bisnis karbon. 

Pada praktiknya, bisnis karbon dalam wujud konsesi dan perdagangan karbon serta dekarbonisasi melalui teknologi CCS/CCUS dimiliki oleh grup-grup perusahaan besar yang selama ini telah melakukan pengrusakan hutan untuk perkebunan monokultur, ekstraksi mineral batubara dan gas alam, serta pembangkitan listrik yang bersumber dari fosil. Misalnya saja dalam konteks nasional, korporasi besar seperti Saratoga, Adaro, dan Harita Group memiliki konsesi karbon dan bisnis dekarbonisasi. Adaro sebagai grup besar dengan energi dan pertambangan sebagai bisnis utamanya saat ini memiliki konsesi restorasi ekosistem dan penyimpanan karbon melalui anak perusahaannya PT Hutan Amanah Lestari, PT Alam Sukses Lestari.[1] 

Hashim dan Prabowo sendiri tidak lepas dari konflik kepentingan saat mempromosikan potensi karbon. Dugaan keterkaitan mereka dalam bisnis karbon melalui beberapa Perusahaan PT Bumi Carbon Nusantara, PT Karbonesia Global Artha, PT Infinite Earth Indonesia dan PT Carbon Vebra Gemilang. Bukan hanya itu satu nama seperti Glory Harimas Sihombing yang menjadi salah satu pemegang saham di PT Karbonesia Global Artha juga merupakan direktur konservasi di PT Agrinas. Dia (Glory) juga menjadi ketua Dewan Pembina Indonesia Food Security Review–organisasi yang mengkampanyekan program makan siang bergizi pasangan Prabowo Gibran.[2] 

Pidato Hasyim juga penuh dengan kontradiksi. Dia menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menuju nol bersih pada 2060 namun tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi lebih dari delapan puluh persen per tahun. Corak ekonomi pertumbuhan yang diimplementasikan sudah pasti akan menghasilkan emisi karbon yang sangat besar. Misalnya saja hilirisasi nikel yang tetap akan digenjot akan menghancurkan hutan-hutan di Sulawesi dan Maluku, Pembangunan food estate untuk pangan dan kebun tebu di Papua yang akan menghancurkan 1 juta hektar hutan, atau meningkatkan hingga 100 persen biodiesel yang bersumber dari CPO sawit dan PLTU baik on-grid, captive ataupun co-firing yang tetap terus dipertahankan. Apalagi percepatan energi terbarukan yang tetap disandarkan pada kerangka bisnis energi yang akan terus menjadi mesin perampasan tanah dan sumber-sumber penghidupan milik rakyat. Sepuluh tahun rezim Jokowi saja, dengan semua kecepatan dan keluasan ekspansi industri ekstraktif yang mengorbankan lingkungan dan keselamatan rakyat, ekonomi hanya bertumbuh hanya sekitar 5%. Bisakah kita bayangkan akan secepat dan semasif apa eksploitasi dan penghancuran lingkungan jika target ini menjadi hal yang utama bagi rezim ke depan.  

Poin lainnya adalah inisiatif baru presiden Prabowo yaitu reforestasi 12,7 juta hektar lahan kritis yang akan dihutankan kembali. Pertanyaannya adalah di mana saja 12,7 juta hektar lahan yang akan di-reforestasi tersebut. Pertama, apakah wilayah yang akan diklaim adalah wilayah Perhutanan Sosial yang terdistribusi ke rakyat saat ini? Jika iya, inisiatif ini hanya menambah ketidakadilan bagi rakyat. Rakyat akan dibebani tanggung jawab reforestasi atas kondisi yang asalnya dari negara dan Perusahaan. Lalu apa kontribusi dan tanggung jawab negara?. Kedua, apakah reforestasi lahan kritis ini akan dijawab dengan penunjukkan Wilayah Kelola Rakyat menjadi wilayah konservasi, atau seperti terminologi yang dikenal yaitu areal preservasi, sebagaimana yang diatur dalam UU KSDAHE. Jika tidak didudukkan tanggung jawab reforestasi pada aktor perusak hutan (korporasi) selama ini, maka inisiatif reforestasi ini hanya akan menjadi varian baru perampasan Wilayah Kelola Rakyat.  

Dalam pidatonya, Hashim menutup dengan kebutuhan tiga pendorong untuk menjalankan komitmen, yaitu kerangka kebijakan pertumbuhan hijau yang komprehensif, investasi sebesar 2035 miliar USD dan kolaborasi internasional. Pernyataan penutup dalam proposal penjualan krisis ini semakin memperkuat tujuan pemerintah Indonesia untuk dapat menemukan jalan berkongsi dengan para pebisnis iklim lainnya secara global.  

Atas kondisi tersebut, WALHI memandang bahwa pemerintah Indonesia telah gagal memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup di Indonesia di tengah situasi krisis iklim. Hal mendesak yang harus dilakukan adalah:

Pertama, Menurunkan emisi karbon secara signifikan dari sektor industri ekstraktif dengan cara menghentikan penerbitan izin baru; Mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang bermasalah dan berada di wilayah ekosistem esensial seperti hutan, gambut, pesisir, pulau kecil, karst, dan lainnya; Mempercepat penghentian operasi PLTU batubara dan menghentikan proyek solusi palsu di sektor energi seperti biomassa; menghentikan proyek food estate yang merusak ekosistem esensial seperti gambut. 

Kedua, mempercepat dan memperluas pengakuan serta perlindungan hak rakyat atas wilayah kelola dan ruang hidupnya. 

Ketiga, melakukan pemulihan atas fungsi ekologis yang rusak dan meletakkan tanggung jawab tersebut pada pengurus negara dan korporasi yang selama ini merusak lingkungan. 

Keempat, meningkatkan kemampuan adaptif rakyat dengan cara melindungi wilayah penting yang menjadi penyanggah kehidupan, dan rekognisi pengetahuan serta cara tradisional rakyat dalam aksi-aksi konservasi, adaptasi dan mitigasi iklim. (selesai)

 

[1] Dapat dibaca di https://investasi.kontan.co.id/news/grup-adaro-ikut-ramaikan-bursa-perdagangan-karbon

[2] Hasil investigasi dipublikasikan di Koran Tempo Edisi 24-30 Juni 2024.