Indonesia Harus Mengusut Kematian Dua Petani Lahat, Sumatera Selatan!

Indonesia Harus Mengusut Kematian Dua Petani Lahat, Sumatera Selatan!

 

AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA DAN WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)
KUTIPAN MEDIA
9 APRIL 2020

Amnesty International Indonesia dan WALHI menyesalkan tidak adanya kemajuan yang signifikan dalam pengusutan kematian dua petani Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada 21 Maret 2020. Setelah hampir tiga pekan, Kepolisian Resort Lahat hanya menetapkan seorang tersangka, padahal pelaku yang terlibat kejadian tersebut berjumlah banyak. Pemerintah pusat dan daerah harus serius melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat kaum tani yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari tanah yang berkonflik dengan PT. Artha Prigel.
 
“Kematian dua petani Lahat yaitu Putera Bakti dan Suryadi disebabkan pengeroyokan puluhan sekuriti perusahaan. Ini bisa menjadi cermin polisi gagal melindungi hak-hak asasi petani. Di masa wabah COVID-19, perlindungan masyarakat petani seharusnya lebih diperhatikan oleh aparat keamanan, baik akses atas tanah maupun hak hidup mereka. Konflik tanah yang terjadi sejak Orde Baru ini tak bisa dibiarkan terus.”
 
“Telah banyak petani desa yang kehilangan hak atas mata pencaharian hidup mereka. Eksploitasi kekayaan alam, pengalihan fungsi lahan, dan penggusuran paksa selama ini dibiarkan terjadi. Tidak ada yang berubah dengan nasib petani selama pemerintah tidak melindungi hak-hak asasi petani,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
 
“Perampasan tanah petani dengan kedok jual beli di Kabupaten Lahat adalah satu contoh praktik investasi kotor perkebunan kelapa sawit skala besar. Melalui kuasa modal diterbitkan izin perkebunan kelapa sawit dari indikasi praktik melawan hukum. Petani yang menggantungkan hidup dari tanah jatuh dalam lubang kemiskinan. Mereka diusir dari tanahnya, jadi tamu di kampung sendiri dan sekedar melihat kemegahan korporasi kelapa sawit,” sebut Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati.
 
“Ekspansi perkebunan kelapa sawit besar tidak sekedar merampas tanah petani, ia juga menghilangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sumber air bersih mengalami penurunan kualitas, polusi udara juga memburuk karena karhutla dan lainnya,” tambah Nur Hidayati.
 
“Pemerintah dan aparat di Indonesia harus paham bahwa tanah adalah sumber hidup masyarakat desa untuk memenuhi hak-hak sosial dan ekonomi, termasuk pangan, air, pekerjaan dan tempat tinggal. Banyak dari hak ini tak bisa dinikmati tanpa akses atas tanah. Ingat, petani adalah jantung produksi kebutuhan pangan sehari-hari. Di masa COVID-19, mereka mutlak harus dilindungi,” tambah Usman.
 
Nur Hidayati menambahkan, Pemerintah Pusat dan Daerah harus mengambil langkah tegas menyelesaikan konflik antara masyarakat Desa Pagar Batu dengan PT. Artha Prigel. “Dari tanah seluas 180,36 hektar yang berkonflik, 14 hektar diantaranya berada di luar HGU. Seluruh lokasi berkonflik harus dikembalikan ke masyarakat. Evaluasi izin menyeluruh terhadap HGU dan IUP Kelapa Sawit Artha Prigel juga harus dilakukan. Ada indikasi korporasi ini tidak hanya berkonflik dengan  masyarakat Desa Pagar Batu, tapi juga dengan beberapa desa lain yang berada di lokasi izinnya,” tutup Nur Hidayati.
 
Narahubung:
⁻ Nurina Savitri (Amnesty International Indonesia/ 085888888510)
⁻ Even Sembiring (WALHI/ 085271897255)